Teks Putu Kusuma Wijaya, Ilustrasi Internet
Mulanya, di Singaraja ada bioskop Sampoerna. Letaknya di ujung perempatan jalan Ahmad Yani-Pramuka-Diponegoro.
Kemudian baru muncul Muda Ria milik sastrawan AA Panji Tisna, terletak di jalan Ngurah Rai, depan markas Polisi Militer. Dia juga sempat membuat film independen pertama berdasarkan novel terkenalnya, Sukreni Gadis Bali (1954). Itulah masa-masa awal perkembangan perbioskopan dan perfilman di Buleleng.
Sampoerna seiring zaman berubah menjadi Karya Dharma dan Muda Ria. Dia tetap menyandang nama itu hingga akhirnya tutup. Tahun 70-an, bagi kalangan “movie-goer” kala itu, kehadiran dua bioskop ini menyemarakkan suasana. Anak-anak tak sabar menunggu dua mobil milik bioskop yang berkeliling dengan mikroponnya untuk memberitahu penduduk film apa yang akan diputar. Mereka akan melemparkan pamflet (kita sebut koran) dan menjadi rebutan.
Di beberapa persimpangan jalan utama kota ada papan dinding reklame. Setiap hari papan-pana ini ditempeli film-film yang diputar. Orang yang bertugas menempel ini dari masing-masing bioskop. Mereka sama-sama tuna rungu dan tuna wicara (kolok). Jadi, di seluruh kota orang mengenal, si kolok Karya Dharma dan kolok Muda Ria. Dua orang ini mencerminkan bagaimana serunya persaingan di antara kedua bioskop ini.
Anak-anak nakal penerobos bioskop telah hafal berbagai macam cara untuk bisa menonton film dengan gratis. Celah-celah tembok mana yang bisa dipanjat dan pintu mana yang bisa dibuka, sudah menjadi rahasia umum bagi anak-anak nekat pengemar bioskop tanpa tiket. Anak-anak perlu hiburan dan televisi belum menyerang kota.
Karya Dharma biasanya memutar film-film silat Hongkong. Nama-nama, seperti Ti Lung, David Chiang, Chen Kuang Thai, Fu Shen dan sebagainya sangat dekat bagi pengemar film. Anak-anak kala itu, sering melontarkan pertanyaan bagi yang telah menyaksikan film: Anak mudane idup atau mati?
Tokoh utama disebuat Anak Muda. Kalau tokoh utama diakhir cerita mati, artinya film jelek.
Ya, begitulah paket “Happy ending” dari dulu selalu jadi formula yang jitu menarik penonton. Film koboi juga mendapat tempat khusus bagi para penggemar film Singaraja. Nama-nama seperti Franco Nero, Anthony Steven dan karya-karya Koboi Spagethi-nya sutradara Sergio Leone selalu jadi bahan apresiasi penduduk dari kampung mana pun mereka berasal.
Duel klasik Clint Eastwood dengan Lee Van Clift dalam Few Dollar More, banyak ditiru oleh anak muda kota jika berkelahi. Perkelahian satu lawan satu di kuburan china jadi trend. Setiap ada konflik individu tak pernah melibatkan perkumpulan macam sekarang. Film Koboi mendidik mereka untuk bertanggung jawab terhadap konflik individu masing-masing.
Pinggul sensual
Film-film Holywood tentu juga menjadi pilihan utama para penggemarnya. Alfred Hitchcock sang maestro suspence menjadi pilihan penggemar film serius. Pernah, saya diajak menonton BIRDS oleh ayah dan ibu dan sampai sekarang adegan burung-burung camar menyerang kota tetap teringat. Setelah di Amsterdam, saya menyaksikan kembali film hitam-putih itu dan langsung teringat dengan bioskop Karya Dharma.
Film India biasanya digemari oleh penduduk kampung Bugis, Kajanan dan sebagian orang-orang desa. Bioskop Muda Ria Ria jadi tempatnya. Film yang panjang hingga sampai tiga jam, banyak digunakan untuk berpacaran. Amitha Batchan, Sashi Kapoor dan Hema Malini jadi pujaan orang-orang desa. Nonton film India memang ada kenikmatan sendiri, karena ada tarian-tarian panjang dan goyangan pinggul yang sensual.
Film-film Indonesia yang kala itu sangat gencar berproduksi menjadi rebutan kedua bioskop. Kadang-kadang Muda Ria mendapatkan film bagus dan seluruh dokar-pun akan berkonvoi ’ke atas/beduwuran” sehingga jalan Ngurah Rai menjadi ramai. Muda Ria terletak di bagian atas kota, diistilahkan beduwuran.
Tukang Catut karcis bioskop pada hari-hari tertentu, Galungan-Kuningan, PagerWesi, Lebaran, di mana film Indonesia pastilah yang diputar, menjadi orang yang paling penting dan banyak dicari. Mereka bekerja berkelompok, punya taktik tersendiri dengan memblokir loket karcis dan dengan sendirinya para penonton lebih baik membeli karcis di pasar gelap. Saya kenal dengan beberapa tukang catut yang menceritakan prestasinya memeras penonton dan ketika bioskop di Singaraja punah, hidupnya jadi kurang bergairah.
Akhirnya sesuatu yang cukup menggemparkan terjadi. Sebuah proyektor 70 mm tiba di Singaraja. Sebuah gedung bioskop baru berdiri di jalan Surapati, Kampung Tinggi. Dua tingkat gedung dengan kapasitas penonton yang cukup banyak menjadi kebanggaan kota. Singaraja Theatre dibuka. Film 70 mm, macam Towering Inferno, Possedion Adventure dengan tata suara yang sudah megah di zamannya, bahkan sanggup mengundang para pecandu film dari Badung datang ke Singaraja.
Film Leak sanggup dua minggu bertahan di Singaraja theater dan menjadikan rekor tersendiri. Waktu itu para penonton selama dua minggu, tujuh kali main (mulai pukul 9 pagi sampai jam 12 mlm) berduyun-duyun menyerbu gedung bioskop. Karcis hingga bisa lima kali lipat di tangan tukang catut dan karena tidak adanya budaya antre di Singaraja pada waktu itu, membuat para penonton harus pasrah mengeluarkan uangnya demi berada di ruang gelap.
Era Singaraja Theater puncak dari perkembangan perbioskopan di kota Singaraja. Sudah berapa cinta yang bersemi di ruang gelap ini? Sudah berapa tangan yang berpegangan mesra di ruang gelap ini? Tentu tak terhitung.
Di kota dengan bioskop, manusianya penuh apresiasi massal. Pembicaraan tentang film ada di mana-mana. Penyembelih Sapi membicarakan Charles Bronson. Ibu-ibu pedagang Semangka membicarakan Tiga Dara. Penjaga toko membicarakan Yastaki Kurata. Irama emosi kota sangat tergantung dari film-film yang diputar. Film Cinta akan membuat rasa cinta penduduknya. Film Silat mengajarkan bagaimana sebuah “Pahlawan” sesungguhnya.
Pengalaman berada dalam satu ruang gelap bersama orang lain, adalah pengalaman sosialisasi penting dalam bermasyarakat. Dalam ruang gelap, hati jadi terbuka. Kita bisa tahu suara ketawa tetangga kita. Kita bisa tahu bagaimana harunya, gadis yang kita taksir kala menyaksikan adegan itu.
Ruang bioskop adalah ruang demokrasi, di mana tukang parkir bisa duduk di depan dan pak Bupati bisa di belakang. Mereka boleh tertawa, menangis, di bagian mana saja.
Air liur mahal
Kemudian datanglah masa-masa yang suram. Konflik distribusi film terjadi. Singaraja Theater tidak mendapatkan film-film baru. Seluruh film hanya berhenti hingga di Denpasar. Kursi-kursi empuk bioskop dirobek-robek oleh pentonton yang tak bertanggungjawab, ditaburi permen karet saat film yang berputar terputus. Penonton tak lagi mau datang menyaksikan film-film lama. Akhirnya untuk menghemat biaya produksi, dibuatlah pengumuman, “Kurang dari 20 penonton film tidak jadi diputar”
Kemudian datanglah era pasar Monopoli. Bioskop termonopoli. Distribusi film termonopoli. Film-film Hong Kong, India, Taiwan hilang dan kita hanya disuguhi oleh Hollywood. Banyak bioskop tutup karena tak mendapat pasokan film. Hanya ada satu kekuasaan. Hanya ada satu simbol bioskop. Akhirnya Karya Dharma menjadi Wijaya di tahun 80an, Muda Ria dan Singaraja Theater tutup. Bagi orang yang pernah menyakikan film di gedung-gedung itu, sekarang yang tinggal hanya kenangan semata.
Kemudian datanglah walet dan merekalah sekarang yang memenuhi gedung-gedung ini. Air liurnya yang mahal telah mematikan cahaya proyektor dan membekukan seluloid. Walet-walet itu meliuk seperti burung camar dalam film BIRDS nya HITCHCOCK. Mereka beranak pinak dalam gedung bioskop itu. Mereka tak mungkin lagi terusir, dan biarlah lagi pula, siapa yang perlu bioskop di kota Singaraja? [b]
Penulis sutradara, pengunjung bioskop dan penikmat film. Tulisan dikirim oleh Gayatri Mantra.