”Dengan musik, menjadi lebih mudah menyampaikan pesan langsung.
Ini cerita lama yang datang dari masa dua tahun silam. Kerinduan terhadap kampung halaman sedikit terobati saat menyaksikan bagian dari Nosstress manggung di selatan Jakarta. Di lokasi diskusi yang disisipi resital kecil itu saya bukan satu-satunya orang Bali. Sebagian dari pengunjung ternyata muda-mudi Bali yang tengah mengadu nasib di Ibu Kota.
Kedatangan band-band indie Bali selalu bisa mempersatukan “nak Bali” di rantauan. Tanpa disadari ada semacam kohesi sosial yang terjalin dalam perjalanan sebuah band indie.
Malam itu, Senin (16/7/2018), muda-mudi berusia 18-30 tahun mendominasi barisan pengunjung di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Hampir tak ada ruang tersisa. Kursi-kursi penuh terisi. Malam itu, agenda kafe akan diisi diskusi lingkungan dan konser musik.
Keramaian makin membuncah saat waktu menunjukkan pukul 19.00. Diskusi belum tampak akan segera dimulai, tetapi gelombang kedatangan pengunjung tak bisa dibendung. Malam itu, lembaga swadaya masyarakat, Greenpeace Indonesia, akan mengadakan diskusi mengenai bahaya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di utara Bali.
Dalam diskusi kali ini, Greenpeace Indonesia secara khusus turut mengundang tiga musisi dari Bali. Mereka adalah Sandrayati Fay, Fendy, dan Gunawarma dari grup musik folk, Nosstress. Ketiga musisi itu punya rekam jejak memiliki kepedulian terhadap isu-isu lingkungan.
Setelah diskusi selesai, mereka akan tampil untuk menghibur pengunjung. Ketiganya juga pernah mengunjungi dan merasakan langsung dampak dari beroperasinya PLTU terhadap lingkungan. Pengalaman itulah yang hendak dibagi kepada hadirin.
Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, menyampaikan, pendekatan kampanye yang mengombinasikan musik dan diskusi relatif baru diterapkan Greenpeace Indonesia. Alasannya, musik mempunyai magnet tersendiri bagi kaum milenial.
Dengan menggandeng musisi dari Bali yang mengetahui langsung persoalan lingkungan di daerah mereka, diharapkan pengaruh musisi tersebut akan menular kepada warga Jakarta yang cenderung belum mengetahui isu lingkungan di daerah.
”Sebenarnya yang kami ingin dapatkan itu adalah dukungan publik akan isu ini (PLTU batubara),” ujarnya.
Musik, lanjutnya, dapat menjadi medium penyampai pesan. Terlebih untuk isu-isu lingkungan yang kadang kalah menarik dibandingkan dengan isu politik. Menurut Hindun, kecenderungan yang terjadi selama ini, masyarakat di sekitar proyek belum banyak tahu soal dampaknya terhadap lingkungan sekitar mereka.
Hindun mengakui, terkadang informasi mengenai lingkungan selama ini disampaikan terlalu teknis. Akibatnya, publik kurang dapat menangkap apa isu penting yang tengah dibahas.
Untuk itu, ia memandang musik dapat menjadi medium yang dapat ”membuka mata” khalayak terhadap isu-isu lingkungan. Melalui musik, kampanye dirasa lebih efektif. Kampanye dan diskusi didesain sesantai mungkin dan tak terlalu formal. Dengan begitu, pesan yang ingin disampaikan terserap oleh hadirin.
”Padahal, kalau informasi mengenai dampak proyek diketahui masyarakat, mereka akan skeptis, tak membiarkan jika ada proyek yang berpotensi merusak alam sekitar mereka,” katanya.
Dampak PLTU
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya diskusi dimulai. Pertama-tama yang memberikan pemaparan adalah peneliti polusi udara Greenpeace, Lauri Myllyvirta.
Myllyvirta memaparkan, masyarakat di utara Bali tengah menghadapi ancaman besar dengan beroperasinya PLTU Celukan Bawang di Singaraja. PLTU Celukan Bawang dibangun oleh China Huadian Engineering Co, Ltd.
Lokasi proyek terletak kurang lebih 115 kilometer di sebelah barat laut Kota Denpasar. Total investasi untuk PLTU ini diperkirakan mencapai 700 juta dollar AS.
Dalam sehari, PLTU Celukan Bawang menggunakan batubara sebanyak 5.200 ton. PLTU Celukan Bawang telah menghasilkan emisi nitrogen dioksida (NO2) dan sejumlah partikel beracun lainnya dengan kadar yang tinggi. Polutan ini dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan jantung pada orang dewasa.
Ekspansi PLTU Celukan Bawang II yang saat ini sedang direncanakan memiliki kapasitas 2 x 330 megawatt atau hampir dua kali lipat dari PLTU Celukan Bawang I. Dengan demikian, ancaman yang dihadapi masyarakat Pulau Dewata kian besar.
Ancaman lingkungan ini tak hanya akan dirasakan masyarakat di utara Bali. Polusi yang ditimbulkan PLTU batubara akan menyebar di udara, terbawa oleh embusan angin, serta dapat menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman dan tanah. Kandungan logam berat, seperti arsenik, timbal, nikel, krom, dan merkuri, membahayakan tumbuh-tumbuhan serta hewan.
”Selain itu, lumba-lumba di Lovina dan jalak bali di Taman Nasional Bali Barat terancam. Karena lokasi habitat mereka yang sangat dekat dengan PLTU Celukan Bawang,” kata Myllyvirta.
Greenpeace memperkirakan, emisi dari PLTU Celukan Bawang akan menyebabkan 190 kematian dini dan 70 kelahiran bayi dengan berat badan rendah. Kematian dini yang disebabkan PLTU Celukan Bawang I dapat meningkat menjadi 290 jiwa per tahun pada 2030.
Mudah Dicerna
Gunawarma dari grup musik Nosstress menyampaikan, musik dengan sendirinya dapat membuka kesadaran publik terhadap isu-isu lingkungan. Bagi Gunawarma, musik lebih mudah dicerna telinga dibandingkan jejalan teori-teori lingkungan. Gunawarma aktif menulis lirik lagu yang bertemakan lingkungan.
Simak saja penggalan lagu ”Tanam Saja” yang dibawakan Nosstress. Liriknya dihiasi suasana kekacauan hati menyaksikan lingkungan hijau makin sulit ditemukan. Semua tumbuh-tumbuhan dibabat habis karena ketamakan manusia.
Dalam konteks Bali, Nosstress menyoroti makin masifnya pembangunan di selatan Bali atas dalih pariwisata. Padahal, daya tampung lingkungan di selatan Bali sudah tak mungkin lagi mengakomodasi pembangunan hotel-hotel yang tak pernah habis.
Wilayah selatan Bali masih dinilai seksi dibandingkan belahan daerah lain di Bali. Akibatnya, pembangunan menjadi timpang. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat, rasio gini di Bali meningkat dari 0,37 pada 2016 menjadi 0,38 pada 2017.
Menyadari ada setumpuk hal yang tak beres di Pulau Dewata, Nosstress yang digawangi Gunawarma, Tjokorda Bagus, dan Man Angga kerap mengampanyekan isu-isu sosial melalui nada-nada ciptaan mereka.
Mengusung genre musik folk, nada-nada yang mereka nyanyikan menyentil urusan sentimentil, mulai dari persoalan pangan di meja makan, polusi udara di Kota Denpasar, keengganan masyarakat menggunakan transportasi publik, serta permasalahan sampah yang terus menggunung.
Melalui musik, Gunawarma meyakini masyarakat yang mendengarkan karya-karyanya akan mengerti bahwa Bali yang selama ini diklaim baik-baik saja demi stabilitas industri pariwisata sesungguhnya tengah menghadapi persoalan besar.
”Dengan musik, menjadi lebih mudah menyampaikan pesan langsung. Apalagi generasi muda banyak yang suka mendengarkan musik,” ujarnya.
Ahmad Marwaji (20) mengaku tertarik mengikuti diskusi karena ingin lebih serius mendalami isu-isu lingkungan di daerah. Menurut dia, rekan-rekan di kampusnya jarang yang tertarik memahami persoalan lingkungan. Hal itu karena ada anggapan diskusi mengenai lingkungan cenderung berjalan membosankan.
Dengan disisipi hiburan musik, bagi Ahmad, diskusi lingkungan menjadi lebih variatif dan tidak menjemukan.
”Saya baru tahu di Bali ada pembangunan PLTU batubara. Dampaknya ternyata besar sekali untuk kesehatan,” ujar Ahmad.
Sementara itu, Tuti Herawati (30) tertarik mengikuti diskusi lingkungan lantaran ingin menyaksikan langsung petikan gitar Sandrayati Fay. Bagi Tuti, sekarang segalanya dapat disampaikan melalui musik. Kampanye dengan menghadirkan musisi yang memiliki perhatian pada isu lingkungan dampaknya bagi khalayak akan jauh lebih besar dibandingkan hanya diisi ceramah.
Pelataran utama kafe malam itu temaram. Peserta diskusi kemudian terbius menyaksikan jemari Sandrayati Fay memetik senar gitar. Diskusi dilanjutkan dengan konser mini.
Dari diskusi itu, pengunjung yang mayoritas warga Jakarta mendapat pemahaman baru. Investasi di daerah, terlebih yang berpotensi mengoyak-ngoyak keberlangsungan lingkungan, patut dipertanyakan. Kesadaran mereka telah dibangunkan oleh nada-nada.
Di paragraf kedua isinya “nak Bali ngumpul” setelah itu yg bicara nggak ada nak Bali nya
Karena memang saya ingin memotret bagaimana orang pusat memaknai isu-isu lingkungan di daerah. Isu utama yang saya angkat bukan pada kehidupan nak bali di rantuan. Tapi lebih ke isu lingkungan, perspektif warga Jakarta terhadap isu lingkungan di daerah, dan bagaimana musik menjadi perantara pesan yang efektif.