Oleh Anton Muhajir
Jawa dan Bali itu memiliki karakter yang tidak jauh beda. Misalnya soal feodalisme. Menurut saya keduanya memiliki budaya yang bertingkat-tingkat dalam interaksi, termasuk soal bahasa. Kalau di Jawa, terutama Mataraman alias Jawa Timur bagian barat daya dan Jawa Tengah bagian selatan serta Yogyakarta, masyarakatnya mengenal tingkatan dalam bahasa, maka begitu pula Bali. Berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan tingkat bahasa lebih halus dibanding dengan bahasa untuk orang yang sepantaran.
Setahu saya ini berbeda dengan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang tidak ada tingkatan bahasanya. Jadi kita bisa menggunakan bahasa yang sama untuk siapa saja dengan bahasa Melayu.
Selain soal tingkatan, bahasa Jawa dan Bali juga memiliki banyak kata yang sama. Lucunya kadang-kadang tingkatan bahasa ini bisa bertolak belakang. Di Jawa adalah bahasa halus, di Bali justru bahasa kasar. Atau di Bali bahasa halus, padahal di Jawa itu bahasa kasar. Ada beberapa contoh. Tapi kok saya lupa ya sekarang. Hehehe..
Lalu balik ke topik awal. Kesamaan bahasa Bali dan Jawa itu yang memudahkan saya, sebagai nak (orang) Jawa, untuk belajar bahasa Bali. Kata-kata yang sama artinya itu seperti mulih (pulang), sugih (kaya), dan lain-lain. Ada pula kata yang mirip di pengucapan dan bermakna sama meski beda tingkatan. Misalnya medahar (kasar di Bali) yang sama dengan dahar (halus di Jawa). Arti kata ini sama yaitu makan, namun beda di tingkatan bahasanya.
Nglantur dari topik sedikit. Soal tingkat bahasa itu, menurut saya, memang hal paling lucu dari feodalisme Jawa dan Bali. Kadang-kadang ada orang yang merasa direndahkan hanya gara-gara penggunaan bahasa untuk tingkat lebih rendah, padahal artinya sama.
Ada contoh lucu yang pernah ditulis almarhum Made Kembar Karepun, salah satu intelektual di Bali soal bahasa ini. Kalau tidak salah begini. Seorang dari kasta lebih tinggi (Ksatria) pernah menuntut seorang yang berkasta lebih rendah (Sudra) gara-gara orang Sudra itu menggunakan kata ngamah (artinya makan) untuk orang Ksatria. Kasus ini benar-benar terjadi pada tahun 1940an.
Oleh hakim, yang kebetulan orang Batak, si Ksatria itu ditanya kenapa kok keberatan. Dijawab olehnya bahwa kata ngamah itu sangat kasar. Menurut si Ksatria, seharusnya si Sudra menggunakan kata ngajeng, bukan ngamah, untuknya.
“Apa artinya ngajeng?” tanya hakim.
“Makan,” jawab si Ksatria.
“Lalu artinya ngamah?”
“Makan juga.”
“Lha kalau artinya sama-sama makan, kenapa Anda mesti marah,” kata si hakim. Lalu Sudra itu pun divonis bebas.
Ilustrasi ini hanya menggambarkan bahwa tingkat bahasa Bali, seperti halnya bahasa Jawa, seringkali memang jadi masalah. Begitu pula bagi saya yang belajar bahasa Bali.
Dari pertama tinggal di Bali, sejak Juni 1997, saya tinggal di Denpasar. Bahasa gaul di Denpasar cenderung singkat, tidak lengkap. Mungkin ini erat kaitannya dengan budaya kota yang serba cepat. Maka pengucapan bahasa pun demikian. Contohnya pengucapan kata pipis yang artinya uang. Oleh orang Denpasar hanya jadi pis, hilang pi-nya. Jadi yang semula mirip orang kencing (pipis) jadi orang yang cinta damai (pis). Hehe..
Contoh lain adalah lakar (akan). Orang Denpasar cuek bebek menyebut kal. Artinya sama saja yaitu akan atau mau. Contoh kalimatnya begini, “Lakar kija?” atau “Mau ke mana?” bisa jadi hanya, “Kal kija?”. Dan masih banyak lagi contoh lain. Intinya bahasa di Denpasar cenderung singkat dari kata asli dan lebih kasar dibanding, misalnya, Gianyar dan Bangli.
Bagi saya, ini kadang jadi masalah. Kalau bicara dengan orang Bali yang kira-kira sepantaran sih tidak jadi soal. Saya bisa dengan cuek pakai bahasa Bali ala Denpasar ini. Tapi saya tidak cukup PD kalau ngomong Bali ala Denpasar ini dengan orang yang lebih tua. Misalnya dengan mertua atau kaken nenek saya, yang orang Bali. Dengan mereka, saya lebih sering pakai bahasa Indonesia. Takut saja sih dipikir, “Dasar mantu kurang ajar. Sudah dikasih anak, masak masih saja pakai bahasa kasar?” Hehehe..
Cara paling mudah untuk belajar bahasa Bali, menurut saya, adalah dengan praktik langsung. Kalau ketemu sama teman yang asli Bali, saya pakai bahasa Bali. Bahasa adalah soal kebiasaan.
Masalahnya, tidak sedikit juga teman orang Bali yang malas pakai bahasa Bali. Entah kenapa orang Bali sendiri, terutama sesama cewek muda, lebih suka berbicara dengan temannya dalam bahasa Indonesia meski sama-sama orang Bali, apalagi sama nak Jawa.
Ada yang lebih lucu lagi. Beberapa teman saya yang orang Bali dan pernah tinggal di Jawa, justru lebih suka ngomong pakai bahasa Jawa dengan saya. Mereka sih rata-rata kuliah di Yogyakarta, Malang, atau Surabaya. Meski saya sudah ajak ngomong pakai bahasa Bali, tetap saja mereka pakai bahasa Jawa. Alhasil, bahasa Bali saya pun makin tidak berkembang.
Jadinya ya, sori gen nah. Hahaha..
cakcak cang ci di kasur. hehe…
sante gen ton, mani cang ngomong basa bali ajak ci….
Dahar dalam bahasa Jawa dan Medaar dalam bahasa Bali memiliki kadar nilai sopan-santun yang sama. Medaar bukan bahasa kasar, tapi bahasa umum seperti halnya makan dalam bahasa Indonesia.
Dereng dan durung dalam bahasa Bali memiliki tingkat kesopanan yang terbalik dengan dhereng dan dhurung dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, dhurung lebih kasar dibanding dhereng.
Bahasa Bali banyak berakar dari bahasa Jawa, baik kromo maupun inggil. Namun dalam perjalanannya banyak tercampur dengan bahasa lokal penduduk “asli”. Dalam beberapa hal, bahasa Kawi dan sansekerta juga turut memperkaya kosakatanya.
Saya sendiri pernah ditertawai oleh teman-teman kuliah saya ketika menyatakan hendak belajar bahasa Jawa alus karena malu dengan bahasa Jawa kasar ala Suroboyo-an.
Seandainya kita sadar fakta bahwa Belanda bisa menaklukkan Aceh dengan cara mengirim Snouk Hugronje untuk belajar budaya dan bahasa Aceh.