Oleh: I Gede Guntur Juniarta
Apa yang kamu temukan ketika mencari Desa Tigawasa di internet? Beberapa sumber menyebut sebagai daerah yang sering terjadi kecelakaan karena curamnya jalanan. Namun, di balik bentuk geografisnya yang berliku, ada komoditas bambu yang memiliki cerita erat dengan warga setempat.
Masuk lebih jauh ke Desa Tigawasa, maka penganyam dan bambu menjadi pemandangan yang kompak. Tak sulit menemukan beberapa sudut tempat yang menjadi saksi masyarakat sangat dekat dengan bambu.
Hampir semua rumah ada bambu yang siap dianyam atau yang baru dipanen. Para ibu-ibu di rumah membuat anyaman sokasi. Sedangkan warga laki-laki membuat bedeg (gedek). Setiap hari menganyam menjadi pekerjaan utama atau hanya untuk mengisi waktu luang. Menganyam juga dilakukan anak-anak secara lihai.
Pagi hari adalah waktunya untuk memanen bambu. Bambu yang baru dipanen akan disandarkan di pinggir jalan menunggu untuk diangkut ke rumah masing-masing. Ada juga yang menggotong dan berjalan membawa ke masing-masing rumah. Ada juga yang menggunakan sepeda motor untuk mengangkut hasil panen bambu, sebab lokasi kebun bambu kebanyakan berada di dekat sungai.
Tak jarang menganyam menjadi alasan para ibu di Tigawasa untuk bertemu dan berkumpul menganyam bersama. Seperti Ibu Pirgo yang sudah menganyam sejak kelas 4 SD. Ia belajar dari orang tuanya dan juga karena sering melihat masyarakat yang sedang menganyam, jadinya proses belajar bisa dilakukan dengan cepat.
“Biasanya saya dengan pengrajin lain saling bantu menyelesaikan orderan, kami di sini nyebutnya saling anjan (saling bantu). Kadang kami juga menganyam bareng sambil kumpul, kebetulan kami di sini masih ada hubungan saudara semua. Sehingga sudah menjadi hal biasa saling lalinin sambil menganyam,” cerita Pirgodianawati.
Sesekali Ibu Pirgo dibantu anak-anaknya pada saat libur sekolah. Menganyam jadi keseharian Pirgo. Hasil kerajinan sokasi biasa dijual ke seluruh Bali.
Berbeda halnya dengan Putu Indrayana, yang memilih menganyam karena tidak ada lagi pilihan pekerjaan lain pada saat mulai menekuni dunia pengrajin.
“Awalnya saya tidak tertarik dengan bambu karena saya rasa berat, karena kondisi harus punya penghasilan, awalnya saya kerja dengan orang lain. Turun-temurun kebanyakan menganyam dilakukan oleh ibu-ibu, laki-laki kebanyakan memodifikasi hasil kerajinan yang dihasilkan ibu-ibu, bagi saya kita perlu belajar dimodifikasi”.
Berkembang di lingkungan penganyam akhirnya membuat Man Bimbo, panggilan akrabnya, merasa perlu ada banyak modifikasi jenis anyaman. Jika selama ini para ibu-ibu di Desa Tigawasa membuat sokasi dan laki-laki membuat bedeg, Man Bimbo mengembangkan menjadi produk yang multifungsi. Di tangan generasi muda dan para penekunnya, anyaman bambu dipadupadankan menjadi beberapa jenis.
Bimbo menjelaskan untuk jenis kerajinan sangat banyak. Contohnya tas set 4, keben bulat, keben kotak, bokor, tempat tissue, tempat sampah, tas, dan lain- lain. Setidaknya ada 10 jenis yang sudah pernah dibuat. Namun, dalam pikiran sangat banyak.
“Asal bikin sampel pasti laku. Saya belum sempat merealisasikan karena saya kewalahan,” cetusnya.
Untuk pemasaran kebanyakan online, karena kewalahan diproduksi jadinya ia tidak terlalu fokus dalam hal promosi. Ia lebih banyak memproduksi untuk memenuhi orderan pelanggannya.
Untuk daerah tujuan penjualan paling banyak Denpasar dan Gianyar. Di nasional sebenarnya kerajinan Tigawasa mampu bersaing dan sudah pernah dipamerkan di Jakarta dan Surabaya. Untuk lembaga/instansi yang pernah berkunjung sudah banyak. Museum Nasional sudah pernah berkunjung. Ada Duta dari Kanada sudah berkunjung. Kita harus pertahankan dan promosikan terus, jangan pernah mengecewakan orang yang berkunjung. “Kita kadang kurang kerja sama,” singkatnya.
Bagi Man Bimbo, saat ini kesulitan pengrajin adalah kekurangan bahan baku. Ia merasakan karena dampak alih fungsi lahan. Ada kebiasaan masyarakat desa yang bergeser. Kini jarang ada yang menanam bambu, justru berlomba-lomba mengganti dengan jenis tanaman lain seperti cengkeh dan durian. Padahal sebagai warga dengan mayoritas penganyam bambu, ia merasa sangat membutuhkan Tiing Tali (bambu tali) dan Bambu Buluh.
Padahal dari sisi ekonomi, menurut Man Bimbo bambu mampu bersaing. Tapi tergantung kita menekuni atau tidak. Baginya bambu itu geles dawa (kecil tapi panjang). Meski nilai ekonominya kecil dan berputar pelan, tapi bisa menjadi pekerjaan yang berkelanjutan. Namun, peredaran ekonomi yang cepat, komoditas Cengkeh dianggap lebih menjanjikan. Sebab harganya jauh lebih mahal daripada bambu.
Selain sisi ekonomi, bambu juga kita butuhkan dalam aspek upacara. Suka-duka kegiatan adat menggunakan bambu. Seperti katikan sate ngagen bambu (tusuk sate menggunakan bambu). Meskipun ada alat lain, belum tentu juga kita berani ganti.
“Upacara kematian juga kita pakai bambu, bambunya pun kita pilih, biasanya kita menggunakan Bambu Bali. Pada proses pembuatannya pun kita tidak asal asalan. Ada hitungannya, tidak lepas dari bambu. Mampu tidak mampu tiing ane meragateng (Mampu tidak mampu, bambu yang menyelesaikan),” jelas Bimbo.
Tradisi ini menandakan warga Tigawasa tidak bisa tanpa bambu. Peran-peran bambu masuk dalam setiap kegiatan desa yang terjadi secara turun temurun. Tiada hari tanpa bambu, karena kita menekuni bambu.
Seperti penjelasan salah satu tetua adat di Desa Tigawasa, I Putu Suryasa yang lebih dikenal sebagai Man Klaceng, khususnya untuk masyarakat Tigawasa bambu sangat diperlukan. Sama seperti yang sering saya ceritakan, nafas Tigawasa adalah bambu. Sebab sebagai sumber pencaharian dan keberlangsungan upacara adat, oleh karena itu bambu harus dilestarikan untuk selamanya.
Untuk jenis bambu yang sering kita gunakan adalah Bambu Buluh dan Bambu Tali untuk bingkai/frame. Khusus untuk yadnya menggunakan Bambu Bali. Bambu Bali biasanya digunakan untuk membuat sanggah. Semua jenis bambu penting, banyak jenis bambu yang harus ada karena sangat diperlukan.
Dalam perhitungan Man Klaceng, perbedaan luas lahan bambu sekarang dengan 10 tahun yang lalu sudah jauh berbeda. Hal ini dikarenakan alih fungsi lahan, dan jenis anyaman yang dibuat. Kalau dulu kita membuat jenis anyaman bedeg (gedek) yang jauh lebih banyak memerlukan bambu daripada anyaman jenis sokasi. Sedangkan saat ini bedeg sudah jarang digunakan sehingga permintaan menurun. Itu berpengaruh pada kebutuhan bambu.
Perubahan lahan
Masalah bambu terhadap air memberi pengaruh sangat besar. Biasanya bambu yang tumbuh dekat air pertumbuhannya lebih cepat, dan bambu bisa meresap air lebih banyak. Sehingga air tidak langsung mengalir ke sungai tapi disimpan oleh bambu.
Melihat kondisi saat ini sumber air yang ada di Tigawasa mulai mengecil. Salah satu penyebabnya karena berkurangnya bambu sebagai daerah resapan air. Bambu perannya sangat penting.
Man Klaceng menyimpulkan, hampir semua masyarakat Tigawasa paham dengan fungsi bambu sebagai sumber ekonomi, tetapi tidak dengan fungsi yang lain. Seperti sebagai pencegah erosi di pinggiran sungai. Alhasil banyak yang sembarangan memotong bambu. Kadang di tempat penutup jurang ada yang menghilangkan bambu. Begitu pun di tempat yang curam seharusnya bambu lebih layak tetapi karena tidak paham jadinya banyak juga yang menebang. Sehingga yang dilakukan masyarakat Tigawasa kebanyakan melakukan sistem menebang bambu sembarangan.
“Kalo di keluarga saya generasi pengrajin, untuk keluarga saya tetap lanjut (menjadi pengrajin). Sambil anak sekolah, saya tetap menanamkan pentingnya bambu dan kemampuan keterampilan anak-anak, untuk belajar mandiri,” jawab Man Klaceng.
Man Klaceng juga memprediksi, kemungkinan ke depan anak-anak tidak akan dekat dengan bambu. Oleh karena itu ia berinisiatif dari sekarang menanamkan kemampuan kreativitas mengolah bambu. Sebetulnya pemahaman tentang bagaimana perlunya kita dengan bambu, ikatan kita dengan bambu menjadi penting untuk anak-anak.
“Kalaupun nantinya kita tidak keluar desa, kita bisa memanfaatkan bambu pasti bisa menghidupi. Semestinya anak-anak paham ya dengan menganyam, meskipun sekarang kita merantau, ujung- ujungnya kita akan balik ke desa, di saat inilah kita harus persiapkan keterampilan menganyam,” kata Klaceng.
Ia mengusulkan ide, misalnya pengrajin desa tigawasa difasilitasi dibuatkan tempat, misalnya dibuatkan rumah bambu, didukung dengan kerajinan yang berkualitas. “Ini lo desa kita. Yang terpenting adalah menyatukan pengrajin, agar harga satu pintu, agar tidak rancu,” lanjutnya.
Terlebih generasi muda penerus bambu makin berkurang. “Untuk generasi mau tidak mau pasti turun, karena sekarang banyak generasi muda sekolah keluar, jadi waktu untuk menganyam itu berkurang. Walaupun mereka bisa tapi tidak ditekuni. Kekurangan tenaga karena banyak yang sekolah dan keluar desa.”
Di desa juga dinilai ada belum usaha untuk memperlihatkan/menonjolkan identitas terkait bambu. “Kita berharap ada usaha untuk menyatukan pengrajin bambu di Desa Tigawasa. Lokasi bambu mempengaruhi kualitas bambu. Kalo bisa, di rumah-rumah kita menggunakan bambu untuk home decor, kita wajib menggunakan plafon bambu. Bambu harus rutin panen, kalo jarang panen bambu bisa rusak,” lanjutnya.
Bambu juga penyelamat saat pandemi. “Meskipun murah kita masih bisa bertahan. Sedangkan cengkeh 3 tahun off.”
Bambu diaykini harus dibudidayakan dan dijaga, bambu harus selalu ada, karena kebutuhan adat. Contohnya saat yadnya ayu, untuk sanggah, untuk nunas tirta, untuk paga. Namun, kini sanggah dari bambu, mulai diganti dengan yang baru pada saat mau upacara.
Pak Klaceng sebagai salah satu yang berperan dalam menginisiasi ruang untuk para pengrajin berkolaborasi mengembangkan karya. Pada saat masa pandemi Covid 19 pengrajin sangat terdampak, harga kerajinan jauh merosot karena karena terganggunya akses distribusi dan berkurangnya orderan. Penurunan harga bisa sampai 75% dari harga normalnya. Saat itu bisa mengadakan kegiatan menganyam bareng yang diinisiasi oleh MaiKubu.
Gerakan ini menjadi semangat baru sebagai pengrajiin karena melalui MaiKubu juga tersampaikan nilai-nilai bambu dan budaya desa. “Dengan MaiKubu saya pernah mengadakan acara menganyam di Denpasar dan juga kadang mengisi acara di sekolah. Selain itu, melalui MaiKubu juga banyak teman-teman dari luar desa yang datang berkunjung untuk menganyam bareng dengan kami, mencoba makanan ala desa, dan melihat kebiasaan kami sehari-hari di desa,” tuturnya.
Sekarang yang menjadi tantangan adalah bagaimana meningkatkan kualitas produk agar layak di tempat yang lebih berkelas, belum terbiasa dengan prosedur yang lebih disiplin. Sekarang MaiKubu fokus dalam pengembangan produk bambu yang berkualitas, sebagai bonusnya berharap banyak wisatawan datang karena bambu, apalagi desa sangat dekat dengan kawasan wisata Lovina.
situs mahjong