Masyarakat Bukit Sari, Sumberklampok upayakan kedaulatan pangan melalui rancangan Hutan Pangan atau food forest yang lebih berorientasi alam. Di tengah besarnya narasi pemerintah tentang food estate yg digadang-gadang akan wujudkan ketahanan pangan dengan mengabiskan sekitar 3,69 juta hektare hutan. Masyarakat lokal Bukit Sari bersama IDEP dan KPA Bali hadir dengan rencana food forest yang akan dibangun di tanah ayahan subak. Lahan kolektif ini masuk dalam objek reforma agraria yang dikelola oleh masyarakat eks-Timor Timur dengan luas 136,96 Hektare.
Kehadiran masyarakat pengungsi eks-Timor Timur ke Banjar Bukit Sari, Desa Sumberklampok bukanlah tanpa alasan. Mereka merupakan penduduk dari Bali yang mengikuti program transmigrasi oleh pemerintah sekitar 1984-1985. Setelah beberapa perwakilan dari Bali memperoleh pelatihan pertanian di Yogyakarta, mereka bersama warga lainnya langsung dibawa ke Timor Timur. “Disana diberikan tanah dan sertifikatnya, kemudian mulai bertani dan mengajak warga lokal untuk bertani juga,” ungkap Agus Mahadipa, pemuda dari Banjar Bukit Sari.
Namun pada 1999, setelah referendum, Timor Timur lepas dari Indonesia dan merdeka menjadi Timor Leste. Masyarakat yang bertransmigrasi pun dibawa kembali pulang ke daerah asalnya, termasuk penduduk dari Bali. Pada 10 September 1999, mereka dijemput oleh pemerintah Indonesia, dan sempat mengungsi di beberapa tempat, dimulai dari Betun, Kupang, Tamboa, hingga sampai di Bali. Para pengungsi pun berasal dari berbagai kabupaten di Bali, seperti Buleleng, Gianyar, Karangasem, hingga Badung. “Beberapa keluarga ada yang tidak pulang kampung, karena memang tidak ada rumah lagi disana dan akhirnya bertahan di pengungsian yang sekarang sudah menjadi kantor imigrasi,” ucap Nengah Kisid, Ketua Tim Kerja (Kelompok Tani).
Setelah berbagai koordinasi hingga aksi dilakukan, akhirnya tahun 2000, para pengungsi dibawa ke Desa Sumberklampok dan menetap di sana. “Tapi sampai sekarang masalah legalitas lahan yang kita tempati belum juga memperoleh kejelasan,” tambah Nengah Kisid.
Keluhan serupa juga disampaikan Made Putradana, petani yang dulu terlibat dalam program transmigrasi dari pemerintah. “Kita juga punya batas kesabaran, pemerintah harus bertanggung jawab, karena ini [transmigrasi & penempatan] juga program pemerintah.”
Selama lebih dari 20 tahun, masyarakat eks-Tim Tim menetap dan mengelola lahan yang dulunya juga diberikan pemerintah sebagai pertanggungjawaban atas program transmigrasi. Namun selama itu pula, masyarakat belum menerima legalitas hak atas tanahnya. “Kami baru dapat Hak Guna, bukan Hak Milik, padahal KTP sudah disini, di Sumberklampok, sudah beranak pinak disini, KK juga sudah ada,” tutur Agus Mahadipa yang saat ini memimpin GM KPA (Generasi Muda Konsorsium Pembaruan Agraria) Bali.
Pemuda Ambil Bagian dalam Perjuangan Agraria
Sekitar tahun 2000, masyarakat eks-Timor Timur yang telah menjadi warga Banjar Bukit Sari menerima pendampingan dari KPA Bali untuk memperjuangkan hak atas tanahnya. Perjuangan ini terus berlanjut hingga ke generasi kedua, para pemuda Bukit Sari, Sumberklampok.
Tepat dua bulan yang lalu, GM KPA Bali terbentuk berawal dari ‘celetukan’ Indrawati (Perwakilan KPA Bali) yang disambut baik oleh lima pemuda Bukit Sari. “Ketika Bu Indra bilang gimana kalo kita buat GM KPA Bali, kami serentak langsung bilang setuju,” kata Mahadipa sambil tertawa.
Pemuda yang kerap disapa Dipa ini juga menyadari bahwa perjuangan ini harus terus berlanjut, terlebih melihat orang tua mereka yang kesulitan untuk mengurus pendataan. Bersama keempat kawannya, Dipa mulai melakukan kerja-kerja administratif, seperti membuat surat penguasaan fisik bidang tanah yang hampir 500 halaman hingga mengumpulkan data-data terkait yang akan diserahkan ke pemerintah.
Lima pemuda ini juga berniat untuk mengajak pemuda dan pemudi lainnya untuk terlibat dalam gerakan demi keadilan dan masa depan mereka. “Rencana kami ingin ajak lagi teman-teman disini untuk sama-sama berjuang,” ungkap Dipa.
Mereka sering melakukan pertemuan, baik membahas tentang pendataan maupun arah perjuangannya. Terlebih setelah nantinya sertifikat tanah diberikan dan warga memperoleh haknya. “Ini [tanah] jadi bukti perjuangan kita, harapannya agar warga tidak menjual tanahnya. Kok udah dapet tanah, malah dijual. Sama dengan mendukung investor. Kami maunya warga itu makmur, tidak jual tanahnya,” ungkap pemuda berusia 22 tahun ini.
Membangun Masyarakat yang Berdaulat
Legalitas hak atas tanah kepada warga Banjar Bukit Sari diupayakan dapat tercapai tahun ini. Namun selain sertifikat, ada upaya-upaya lain yang perlu dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang mandiri. Untuk itu, selama kurang lebih dua puluh tahun, KPA telah menyusun konsep Damara (Desa Maju Reforma Agraria) agar petani mampu sejahtera dan mandiri. “Salah satu alasan terbentuknya konsep ini agar dapat mengantisipasi penjualan tanah yang telah diredis oleh pemerintah kepada masyarakat,” jelas Indrawati.
Indrawati pun menjelaskan pondasi dalam konsep damara, yaitu: 1) Tata Kuasa, masyarakat memiliki tanah secara fakta dan secara yuridis tingkat desa; 2) Tata Guna Lahan, lahan yang sudah digunakan sebagai pertanian, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan pemukiman; 3) Tata Produksi, lahan yang digarap untuk kebutuhan produksi; 4) Tata Konsumsi, ketersediaan sumber daya untuk keperluan produksi, seperti air; dan 5) Tata Produksi, hasil produksi yang dapat dipasarkan dengan harga yang stabil.
Namun dalam mewujudkan Damara ini, menurut Indrawati, KPA memerlukan mitra dengan visi yang selaras. “Kami perlu IDEP yang nantinya mengambil peran dalam mewujudkan tata produksi dan tata konsumsi,” jelasnya.
Kedua organisasi ini pun akan berbagi peran untuk mewujudkan masyarakat Bukit Sari yang berdaulat. KPA Bali akan fokus dalam advokasi hukum dan kebijakan. Sedangkan IDEP akan meningkatkan kapasitas masyarakat baik dalam hal pertanian, ekonomi, maupun mitigasi bencana. “Kehadiran kami disini ingin mencoba mewujudkan cita-cita kita bersama melalui kehidupan yang berkelanjutan yaitu permakultur,” ungkap Putu Bawa dari Yayasan IDEP Selaras Alam.
IDEP bersama masyarakat lokal akan menyusun dan menetapkan 5 zona dalam food forest. Kemudian mengembangan tempat pembenihan, pembibitan, kebun pekarangan, pengelolaan sampah, pengomposan, penyaring air, dan produksi pasca panen. Pengembangan ini pun dibarengi dengan berbagai pelatihan terkait pertanian berkelanjutan. “Mudah-mudahan selanjutnya kita bisa memaksimalkan potensi yang melimpah disini. Kami juga dari IDEP akan belajar banyak dari masyarakat lokal. Kita akan saling melengkapi,” tambah Putu Bawa.
Hutan Pangan yang Selaras dengan Alam
Rencana pengembangan Hutan Pangan mendapat sambutan baik oleh masyarakat. Terlebih rencana ini disosialisasikan bertepatan dengan Hari Pangan Internasional dan Hari Suci Tumpek Pengatag (Hari pemuliaan terhadap tanaman) bagi masyarakat lokal. Acara pun diawali dengan persembahyangan di Pura Subak Merta Sari, Banjar Bukit Sari.
Sosialisasi dirasa sebagai bentuk penyelarasan antara Sekala dan Niskala dengan kaitannya terhadap Tri Hita Karana. “Hutan Pangan ini erat kaitannya dengan Tri Hita Karana, bagaimana kita menjalin hubungan yang harmonis dengan tuhan, alam, dan sesama,” ungkap Kelian Adat Desa Sumberklampok.
Tanggapan baik juga hadir dari kelompok pemuda Banjar Bukit Sari yang mengerti pentingnya kedaulatan pangan, terlebih di masa pandemi seperti saat ini. Hari Pangan Internasional pun tidak hanya sebagai seremonial, melainkan langkah awal petani Sumberklampok untuk menjadi berdaulat secara pangan dan sosial. “Hutan pangan ini sangat penting, karena pangan itu sangat diperlukan, jadi nantinya kita tidak selalu bergantung dengan membeli pangan, tapi bisa menghasilkan disini,” jelas Dipa.