![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2021/10/photo1634883691-480x360.jpeg)
Jika Bali memiliki hari Raya Nyepi yang jatuh pada sasih Kesanga, maka pesisir Kusamba-Klungkung memiliki Nyepi Segara untuk lautnya. Sehari setelah Purnama sasih kelima (perhitungan kalender Bali) tiba, masyarakat pesisir Kusamba menyepikan lautnya. Segala aktivitas laut berhenti. Ini berkaitan dengan dilaksanakannya Ngusaba Segara di Desa Kusamba-Klungkung.
Penjor dengan kain putih dan kuning berjajar rapi menghiasi tepi jalan memasuki depan Pura Puseh Desa Kusamba hingga depan Polsek Kusamba. Menjadi penanda bahwa penduduk Kusamba sedang menyambut Ngusaba Segara. Masyarakat dari 8 dusun Kusamba pun bergotong royong mempersiapkan salah satu upacara tahunan di wilayah pesisir itu.
Rentetan upacara Ngusaba Segara diikuti dengan dilaksanakannya Nyepi Segara. Nyepi Segara artinya Nyepi Laut. Tak ada aktivitas apapun di areal laut kusamba selama satu hari. Menghentikan sehari kegiatan melaut untuk memancing, prosesi penggaraman untuk petani garam, begitu pula aktivitas penyeberangan di Pelabuhan Tribuana dan Pelabuhan Banjar Bias, Kusamba.
Hal ini karena semua masyarakat desa tengah sibuk mempersiapkan prosesi Ngusaba Segara. Sejak 10 hari sebelum Ngusaba Segara yang jatuh pada Rabu, Purnama warga Kusamba, masyarakat adat Kusamba mengumpulkan urunan piranti upacara hingga mendirikan penjor.
Dulu ketika belum terbentuk masyarakat adat di Kusamba, upacara Ngusaba Nini dibiayai oleh nelayan, petani garam, termasuk nelayan yang berada di luar Desa Kusamba. Begitu pula tak lepas dari kehadiran nelayan Bugis sering bersandar di pelabuhan rakyat yang berada di Desa Kusamba. Para nelayan ini membantu prosesi upacara di Pura Segara sebagai bentuk ucapan terima kasih pada laut sebagai mata pencahariannya. Keberadaan nelayan umat nonhindu ini juga berdampak pada jenis daging yang digunakan dalam upacara Ngusaba. Ada 2 jenis daging yang dipersembahkan dalam upacara, yaitu babi dan bebek.
“Kontribusi itu tidak hanya dari umat hindu, tapi ada juga kontribusi masyarakat muslim yang juga punya kegiatan di laut. Sehingga bentuk sumbangsih mereka melalui daging bebek,” cerita Bendesa adat Kusamba, Anak Agung Gede Swastika.
Meski keberadaan nelayan Bugis saat ini sudah tidak ada di Kusamba, tapi 2 jenis persembahan daging ini masih dilakukan. Mulai tahun 1992, masyarakat adat terbentuk di Desa Kusamba. Pelaksanaan upacara ini diambilalih para nelayan.
“Kalau dulu Pura Segara diempon oleh kelompok nelayan, istilahnya, pengurus pura itu nunas punia ke nelayan-nelayan. Sekarang diambilalih sama masyarakat adat di sini. Tidak hanya nelayan saja,” katanya.
Prosesi lain yang menjadi ciri khas masyarakat pesisir dalam upacara ini adalah melarung 320 jenis hewan dan ragam jenis buah-buahan, kacang-kacangan sebagai hasil bumi ke laut.
Jenis hewan yang berasal dari tanah, udara dan air ini dikumpulkan dan dibangun dalam sebuah tempat yang diberi nama “Jero Gede”. Semua hasil bumi itu berupa pala bungkah, pala gantung, pala wija. Seperti semua jenis mangga, mangga harum manis, mangga pakel, mangga gedang dan jenis lainnya. Ada juga buah duren, wani, kendondong, sentul.
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2021/10/photo1634883789-270x360.jpeg)
Sedangkan jenis-jenis hewan yang digunakan, semua yang berasal dari tanah, udara dan air. Contohnya yang dari tanah yaitu ulat pohon (gayas) atau ulat sagu. Kalau yang berasal dari udara semua jenis tawon dan lebah. Kalau yang dari air, semua jenis daging sungai. Seperti kakul, yuyu, kipi, balang timah, nyalian, semua binatang kecil itu.
Tak mudah menemukan jenis-jenis hasil bumi itu saat ini. Mensiasati jenis buah dan hewan yang sudah mulai langka Jero Bendesa mengumumkan ke para prajuru adat dari jauh-jauh hari.
Salah satu yang sulit ditemukan saat ini adalah buah sentul dan kendondong. Apabila sampai hari ngadegang “Jero Gede” buah atau hewan itu tidak ditemukan maka akan diganti berupa daun atau tumbuhan lain sebagai penukarnya.
“Beberapa bisa didapatkan dari Griya. Misalnya darah badak. Tapi darahnya tidak berbentuk darah lagi karena sudah dicampur tepung dan telur. Sehingga ketika mau menggunakan, diambil sedikit lalu direndam air,” ujar Agung.
Strategi lain yang diturunkan para leluhurnya dalam mempersiapkan upacara ini yaitu dengan menyimpan buah atau daun dalam keadaan kering. Sehingga bisa disiapkan sejak setahun sebelumnya.
“Jero Gede itu kita bangun, pada hari yang sudah ditentukan. Biasanya 3 hari sebelum hari H Ngusaba sudah ngadegang,” kata Agung.
Jero Gede kemudian dilarung ke laut pada malam hari tepat di Bulan Purnama kelima pukul 10 malam.
Sehari setelah Ngusaba ini, masyarakat adat Kusamba melakukan Paruman Agung (Musyawarah besar). Sehingga tak ada nelayan atau yang bermatapencaharian di laut ke bekerja. Maka sepilah laut ketika hari itu.
“Semua masyarakat di Kusamba mata pencahariannya kan di laut, seperti nelayan, petani garam, sehingga pada hari itu terhentilah kegiatannya. Semua tidak melakukan aktivitas, karena semua melakukan paruman. Pada hari itu pula, kami meyakini sebagai bentuk penghargaan untuk laut agar istirahat sejenak,” papar Jero Bendesa.
Selama 4 hari berturut-turut sejak Ngusaba Segara dilaksanakan, masyarakat Kusamba juga melakukan mapeed (iring-iringan) membawa semua piranti persembahan dari Pura Puseh ke Pura Segara.
“Kenapa 4 hari? Karena dari hari H Ngusaba namanya pengenteg. Sehari setelahnya ada umanis rahinan, selanjutnya paing, dan terakhir panglemek, kan jadi 4 hari. Mapeed itu membawa banten dan semua sarana persembahan dari pura Puseh dibawa ke pura segara. Setelah hari 4, baru masing-masing krama sembahyang.”
Sejak pandemi, Jero bendesa menyesuaikan tradisi ini. Mapeed biasanya dilakukan pada sore hari. Namun, kali ini dilakukan pagi hari agar memiliki waktu yang panjang. Sehingga tidak semua masyarakat terkonsentrasi di kegiatan itu.
“Pandemi mengajarkan kita agar upacara bisa tetap berjalan tradisi tidak hilang, kita mensiasti itu. Kami percaya, kalau perjalanannya upacara ini bagus, esok harinya hasil laut melimpah ruah,” tutupnya.
situs mahjong