• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Tuesday, June 24, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Gaya Hidup Agenda

Menyimak Kritik-kritik Suklu

Wayan Sunarta by Wayan Sunarta
27 August 2008
in Agenda, Budaya, Opini
0 0
0

Oleh Wayan Sunarta

Wayan Sujana Suklu merupakan salah satu perupa yang sedang tekun-tekunnya menjelajahi ranah seni rupa kontemporer. Karya-karya kontemporernya telah mengantarnya mengikuti berbagai ajang seni rupa tingkat nasional dan internasional. Namun sebelum melangkah ke pergulatan seni rupa kontemporer yang akhir-akhir ini semakin marak dan digemari para perupa, Suklu telah merambah seni rupa corak tradisi dan ragam corak modern.

Pada awal karirnya sebagai pelukis, Suklu sangat terpikat dengan berbagai ragam patra dan banyak mengusung simbol serta ikon seni lukis tradisi Bali dengan teknik sigar mangsi. Seiring bertambahnya pengetahuan seni rupanya, memicu Suklu merambah seni rupa modern dengan objek-objek figuratif yang distortif bertemakan wanita, khususnya ibu. Kemudian Suklu menjelajahi wilayah abstrak dengan teknik repetitif. Dosen seni rupa ISI Denpasar ini termasuk seniman yang selalu gelisah untuk menjajaki berbagai kemungkinan yang ditawarkan dunia seni rupa.

Pada pameran tunggalnya kali ini yang bertajuk ”Reading Objects” di Gaya Fusion Art Space, Ubud, sejak 26 Juli sampai 26 Agustus 2008, Suklu menampilkan beberapa seni instalasi dan lukisan. Selain itu Suklu juga menyuguhkan sejumlah coretan ala kaligrafi yang dibuatnya ketika berada di Beijing. Mungkin Suklu ingin menyerap saripati seni kaligrafi China atau sekadar corat-coret pengisi waktu luang di sela-sela acara Beijing International Art Biennale yang diikutinya baru-baru ini.

Namun karya-karya seni instalasi yang ditampilkan Suklu menarik untuk disimak sebab berhubungan dengan kritik-kritiknya terhadap berbagai persoalan modernisasi yang merambah Bali. Seni instalasi Suklu merepresentasikan ironi tarik menarik lokal-global yang kini sedang terjadi hampir di semua lini kehidupan di Bali. Perupa kelahiran Klungkung, Bali, 6 Februari 1967 ini, telah mengalami dan merasakan betapa modernisasi yang mengatasnamakan pariwisata secara perlahan telah menggerus kehidupan agraris dan tradisi Bali.

Persawahan dan tepian pantai dikavling dan disulap menjadi hotel, restauran, villa, bungalow, seiring menjamurnya perumahan penduduk yang cenderung tidak tertata. Pembukaan jalan raya dan bypass telah menghancurkan sistem irigasi subak yang telah diwarisi sejak beratus tahun lampau.  Para petani tidak berdaya. Sementara itu para pejabat, penguasa dan pengusaha berkolaborasi membangun kerakusan menggerogoti sejengkal demi sejengkal tanah Bali.

Melalui seni instalasinya yang mengambil konsep pepatah lama, “kacang lupa kulitnya”, Suklu melancarkan protes dan kritik terhadap kenyataan tersebut. Suklu merancang dan memajang sedemikian rupa sejumlah kacang ukuran raksasa yang dibuat dari logam. Beberapa kulit kacang dibuat terbuka dan isinya terlontar menjauh dari kulitnya. Sedangkan isi kacang yang lain nampak masih semayam dalam kulitnya yang terbuka, seakan enggan meninggalkan kenyamanan itu.

Namun di sisi yang lain beberapa kulit kacang yang kusam nampak kosong melompong dan merana telah ditinggalkan isinya yang durhaka.

Penggunaan metafora “kacang lupa kulitnya” sungguh sangat mengena di tengah kondisi paradoks sekarang ini. Kacang merupakan salah satu hasil pertanian dan merupakan bagian dari kebudayaan agraris. Suklu ingin mengatakan betapa pun gigihnya orang mengejar laju modernisasi, hendaknya janganlah melupakan tradisi yang melahirkan dan membesarkannya. Sebab tanpa tradisi tidak akan ada yang namanya modernisasi.

Pada karya instalasi “The Singing Leaves”, Suklu menggunakan buluh-buluh bambu yang dipajang secara acak dengan posisi berdiri dan membentuk semacam struktur gubug tanpa dinding. Perpaduan antara buluh-buluh bambu menciptakan ruang yang mampu mengeluarkan bunyi-bunyian indah ketika dipajang di udara terbuka. Dahulu bambu sangat dekat dengan kehidupan agraris. Bambu menjadi alat musik rindik, tingklik, tek-tekan, pindekan (kincir) dan sunari yang mampu menghibur para petani ketika lelah mengolah sawah. Bambu juga biasa dipakai untuk membuat bangunan tradisional yang bernuansa ekologis.

Bagi kebudayaan agraris manfaat bambu sungguh sangat banyak. Namun seiring laju modernisasi, bambu merupakan salah satu lambang tradisi yang mulai ditinggalkan. Melalui seni instalasinya itu, Suklu ingin mengingatkan betapa bambu pernah memberi nuansa dan kehidupan pada kebudayaan agraris.

Fenomena kehancuran ekologi mencuat pada karya instalasi berjudul “Once Upon a Chance”. Suklu menampilkan daun raksasa yang dirancang dan dirakit dari lempengan logam. Suklu mengerjakan semua itu dengan berbagai perkakas tukang las. Daun raksasa yang menyerupai kayonan dalam pagelaran wayang kulit itu nampak mengalami pembusukan dan mengering sehingga urat dan seratnya terlihat begitu menyedihkan.

Karya ini merupakan kritik Suklu terhadap berbagai bentuk kerusakan ekologi akibat dampak buruk modernisasi. Suatu saat manusia akan menciptakan hutan-hutan tiruan dari robot karena pohon-pohon habis ditebang. Mungkin itu yang ingin disampaikan Suklu lewat karyanya ini.

Karya instalasi “Tearing Piercing” yang digubah dari perpaduan lempengan logam yang keras dan dingin dengan anyaman serat alam yang repetitif dan penuh warna hangat, lebih merepresentasikan kegalauan Suklu menghadapi modernisasi dan globalisasi. Peradaban logam dan robot berhadapan dengan peradaban agraris yang tradisional. Sungguh mengerikan, merobek dan menembus, saling mencacah.

Kritik Suklu terhadap pembukaan jalan bypass yang membelah persawahan sehingga berdampak pada kerusakan ekologis, lalu lintas yang padat dan macet serta tragedi kecelakaan lalu lintas, terepresentasikan pada karya instalasi berjudul “A Helmet for Affandi”. Sejumlah helm cerobong dilukis dengan corak abstrak repetitif dan diberi aksen anyaman yang menyerupai rambut pendukung aliran musik punk.

Tapi mengapa helm-helm ini ditujukan untuk Affandi? Apakah karena nama besar maestro seni lukis itu? Atau Suklu hendak berkeluh kesah kepada arwah Affandi tentang berbagai bentuk kehancuran alam di Bali? Mungkin ini sebuah karya parodi, bahwa para pelukis mesti hati-hati ketika bersepeda motor di jalan raya agar kelak bisa mengikuti jejak kemaestroan Affandi. Agar tidak mati sia-sia di jalan raya sebelum karya hebat tercipta. [b]

Wayan Sunarta, bergiat di Yayasan Metropoli Indonesia.

Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Wayan Sunarta

Wayan Sunarta

Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mulai menulis puisi sejak awal 1990-an. Kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, di antaranya Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Jawa Post, Pikiran Rakyat, Bali Post, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Visual Arts, Majalah Arti. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit adalah Cakra Punarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Perempuan yang Mengawini Keris (Jalasutra, 2011). Buku kumpulan puisinya adalah Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana Bandung, Juni 2010). Buku novelnya: Magening (Kakilangit Kencana, Jakarta, 2015).

Related Posts

Sampah tak Terpilah, Subsidi Pupuk Organik bikin Jengah

Bali dan Aroma Asap Pembakaran Sampah

24 June 2025
Nikmat Suasana Ngopi di Teba Tengah Kota

Nikmat Suasana Ngopi di Teba Tengah Kota

23 June 2025
Feral Stripes – “Silicon Opera” Distopia dalam Tujuh Babak

Feral Stripes – “Silicon Opera” Distopia dalam Tujuh Babak

22 June 2025
Aksi Bali Mengkritisi Kebijakan Bias Gender dan Tolak RUU TNI

Gerakan Kesadaran Neurodiversitas untuk Keberagaman dan Melawan Stigma

21 June 2025
Inilah Tema Terbanyak di BaleBengong 2024: Alih Fungsi Lahan, Sampah, dan Pilkada

Kampanye Krisis Sampah dengan LUKIS: “Let Us Keep It Sustainable” Festival 2025

20 June 2025
Reuni Pecinta Sepeda Tua Sedunia

Bisakah Denpasar Menjadi Kota Ramah Sepeda?

19 June 2025
Next Post

Politik Budaya Peribadahan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Sampah tak Terpilah, Subsidi Pupuk Organik bikin Jengah

Bali dan Aroma Asap Pembakaran Sampah

24 June 2025
Nikmat Suasana Ngopi di Teba Tengah Kota

Nikmat Suasana Ngopi di Teba Tengah Kota

23 June 2025
Feral Stripes – “Silicon Opera” Distopia dalam Tujuh Babak

Feral Stripes – “Silicon Opera” Distopia dalam Tujuh Babak

22 June 2025
Aksi Bali Mengkritisi Kebijakan Bias Gender dan Tolak RUU TNI

Gerakan Kesadaran Neurodiversitas untuk Keberagaman dan Melawan Stigma

21 June 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia