• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Monday, May 12, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Budaya

Politik Budaya Peribadahan

Ibed Surgana Yuga by Ibed Surgana Yuga
28 August 2008
in Budaya, Opini, Teknologi
0 0
1

Oleh Ibed Surgana Yuga

“Kos di sini lumayan tenang. Enggak bising seperti tempat lain di Denpasar. Walaupun dekat masjid, tapi jarang ada suara azan,” kata seorang teman menjelaskan suasana kos-kosannya di bilangan Dalung, Badung. Teman ini juga bilang kalau masjid itu tidak lagi mengumandangkan azan subuh semenjak ditegur oleh masyarakat desa karena dianggap mengganggu tidur. Satu malam saya sempat begadang di kos teman saya ini, benar saja tidak ada suara azan subuh dari masjid yang cukup besar itu.

Satu hari sebelumnya, sekitar jam enam sore, saya jalan kaki menyusuri salah satu ruas trotoar jalanan Denpasar, melewati balé banjar demi balé banjar, pura demi pura yang ada di pinggir jalan. Saya agak terperangah ketika telinga saya dihinggapi kumandang Puja Tri Sandya dari loud speaker yang terpasang di balé kulkul pada sebuah balé banjar. Sejak kapan mantra persembahyangan ini dikumandangkan dari balé banjar?

Kemudian saya menerka, pasti hal ini terjadi pada jam-jam kapan persembahyangan Tri Sandya mesti dilakukan menurut ajaran agama Hindu Bali. Dari seorang teman yang sudah beberapa tahun tinggal di Denpasar saya kemudian tahu kalau hal ini sudah sejak lama berlangsung. Tiba-tiba saya teringat siaran TVRI Denpasar atau RRI Denpasar yang dulu sering saya simak, yang selalu menyiarkan Puja Tri Sandya pada jam enam pagi, dua belas siang dan enam sore.

Saya yang jarang ke Denpasar dan beberapa tahun terakhir lebih banyak hidup di lingkungan masyarakat mayoritas Muslim di Jawa barangkali dengan agak gegabah menduga peristiwa kumandang Puja Tri Sandya dari balé banjar itu sebagai adopsi tradisi azan dari masjid pada kebudayaan Islam. Penggunaan loud speaker dalam tradisi Hindu Bali – tentunya setelah teknologi modern ini masuk ke dalam ranah budaya Bali – untuk penyebarluasan suatu informasi atau pertanda tertentu, sepanjang pengetahuan saya, biasanya terjadi dalam suatu upacara adat dan agama, baik di rumah-rumah, pura, balé desa atau balé banjar, yaitu untuk pengeras suara rekaman atau live karawitan, kakawin, pemangku atau pedanda yang memimpin upacara, serta pengumuman-pengumuman tertentu menyangkut pelaksanaan upacara tersebut.

Belum pernah saya temui pemutaran rekaman suatu puja atau mantra tertentu sebagai suatu pengingat bagi umat untuk melaksanakan ibadah dimaksud dalam waktu hampir bersamaan – semacam Puja Tri Sandya. Kasus di sebuah balé banjar di Denpasar itu adalah yang pertama saya temui.

Syukurlah, ternyata pola pikir manusia Hindu Bali punya ruang yang cukup untuk menerima hasil pola pikir manusia dari ranah budaya lain, sehingga sistem budaya Hindu Bali membuka pintu-pintunya untuk “men-durus-kan” anasir-anasir budaya lain memasukinya. Sejarah kebudayaan Bali memang telah menunjukkan hal ini sejak zaman dahulu sehingga apa yang dinamakan “evolusi kebudayaan” Bali mungkin terjadi dan menghasilkan bentuk mutakhir seperti yang menghidupi dan dihidupi oleh orang Bali sekarang. Nasihat konvensional bilang: semasih kebudayaan luar itu baik dan cocok dengan budaya kita, adalah baik untuk mengadopsinya demi perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik.

Suatu perubahan kebudayaan, sekecil apa pun ia, hampir tak bisa lepas dari yang namanya politik, baik dilakukan secara kolektif maupun individual. Inilah politik kebudayaan yang di dalamnya terkandung strategi, kebijakan, pertimbangan, perlawanan serta kepentingan terhadap suatu anasir kebudayaan tertentu yang nantinya bermuara pada suatu tujuan atau harapan tertentu yang bisa teralami oleh penggerak politik kebudayaan itu. Dengan demikian, politik kebudayaan tidak terlepas dari predikat serta praktik “bersih” dan juga “kotor” ukuran-ukuran kehidupan tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam dunia politik praktis.

Rekaman Puja Tri Sandya yang dipancarkan melalui loud speaker di beberapa balé banjar di Denpasar adalah sebuah bentuk perubahan kebudayaan. Jika dugaan saya benar, bahwa kasus ini merupakan adopsi tradisi azan dalam kebudayaan Muslim, serta melihat kecenderungan perjalanan pemikiran serta praktik kebudayaan Hindu Bali mutakhir, maka dapat dibaca politik kebudayaan yang beroperasi di baliknya.

Dari mana orang Hindu Bali mengenal tradisi azan kebudayaan Muslim? Televisi? Atau mobilitas orang Hindu Bali ke luar wilayah budaya Bali yang memiliki tradisi itu – Jawa misalnya? Keduanya bisa jadi. Namun yang lebih dulu pasti dari masyarakat Muslim Bali (nyama Slam) yang jauh sebelumnya sudah menjadi bagian dari konstelasi sosiokultural Bali.

Tujuan dari pemutaran Puja Tri Sandya ini agaknya juga tidak jauh dari tujuan azan dari masjid: mengingatkan umat akan suatu tempo untuk melakukan ibadah. Kebudayaan Hindu Bali tradisional, dalam hal menilik waktu untuk suatu ibadah tertentu, sebelumnya tidak menggunakan pengingat auditif semacam itu. Orang Hindu Bali tradisi mengidentifikasi waktu-waktu demikian, termasuk dewasa ayu dan sebagainya, melalui kalender Bali baik dalam arti sebenarnya maupun melalui tanda-tanda alam semesta.

Sebelum fenomena Puja Tri Sandya ini, ranah budaya Hindu Bali telah banyak mengadopsi budaya luar, termasuk budaya Muslim, untuk melalukan suatu gerakan perubahan kebudayaan. Sebutlah di antaranya penggunaan seragam putih-putih untuk ke pura, hitam-hitam untuk upacara kematian, pesantian kilat, dharma wacana, bahkan ada beberapa umat Hindu yang sembahyang ke pura dengan membawa tikar kecil yang cukup untuk diduduki sendiri sebagaimana umat Muslim membawa sajadah.

Sekali lagi, nasihat konvensional bilang: semasih kebudayaan luar itu baik dan cocok dengan budaya kita, adalah baik untuk mengadopsinya demi perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Bahkan, peradaban tradisi Jepang yang demikian besar itu konon merupakan adopsi dari budaya Cina, dan orang Jepang mampu menghidupinya sehingga mencapai bentuknya yang sublim.

Namun, yang namanya politik kebudayaan tetap saja berjalan. Di satu sisi kehidupan mutakhir kebudayaan Hindu Bali ada sebuah wacana dan gerakan besar yang kelihatannya rada fundamentalis yang gencar men-sweeping berbagai individu-individu dari luar wilayah budaya Hindu Bali beserta anasir-anasir budaya yang dibawanya. Alasan-alasan yang melatarbelakangi gerakan ini adalah penertiban penduduk, termasuk di dalamnya identitas, yang konon untuk menjaga keamanan, keajegan budaya, serta berbagai pretensi yang lumayan kuat. Hal ini melahirkan sentimen kesukuan – bahkan SARA – dalam sikap serta pemikiran orang Hindu Bali terhadap orang luar Bali, terutama nak Jawa yang mayoritas Muslim.

Menilik kasus di atas ditambah ilustrasi yang membuka tulisan ini, dihadapkan dengan fenomena Puja Tri Sandya yang di-loud-speaker-kan di balé banjar, kita dapat membaca secuil karakter gerakan politik kebudayaan Bali mutakhir. Silakan pembaca sendiri yang memberi penilaian. [b]

Jogja, Januari 2008

Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Ibed Surgana Yuga

Ibed Surgana Yuga

Related Posts

matan AI

Intelektual Blangko

11 May 2025
Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

10 May 2025
Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

9 May 2025
KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

9 May 2025
Kesetaraan Perempuan Bali ala Banjar Kekeran

Menjadi Perempuan Versiku

8 May 2025
José: Realita Suram Kaum Marginal di Amerika Latin

José: Realita Suram Kaum Marginal di Amerika Latin

7 May 2025
Next Post

Ubud Writers & Readers Festival Newsletter Agustus

Comments 1

  1. Luh De Suriyani says:
    17 years ago

    hai ibed. ini ibed yang dulu pernah ikut gema jurnalistik akademika unud di buleleng atu jembrana dulu ya?? saya lihat masyarakat hindu bali memang mulai jengah dan ingin menunjukkan eksistensinya. sayang sekali sebagian besar masih instan dan bersifat material.

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

matan AI

Intelektual Blangko

11 May 2025
Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

10 May 2025
Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

9 May 2025
KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

9 May 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia