Teks Supardi Asmorobangun, Foto Ilustrasi Internet
Sebelum berkembang menjadi industri elit dan digandrungi masyarakat modern negara-negara maju dekade belakangan ini, tari perut tak ubahnya sebagai goyang musik dangdut Indoneisa. Goyang dan suara musik kampungan, murahan dan hanya berkembang di kalangan masyarakat kelas bawah. Kalaupun masuk kota, tetap identik dengan komunitas kelas pinggiran, komunitas marginal. Terlebih lagi, musik ini selalu popular di lalu lintas pelacuran kelas teri masyarakat urban.
Demikian juga sejarah tari perut. Kalaupun berkembang di kalangan masyarakat perkotaan seperti di Kairo, Ankara, Algiers, Casabalanka dan beberapa kota besar di wilayah Timur Tengah, tetap saja dicap milik kaum rendahan dan anehnya cenderung popular di kalangan prostitusi. Pokoknya tak jauh dengan industri esek-esek, mungkin karena goyangan tari yang sejak kelahirannya memang untuk menguatkan “daerah pribadi” laum hawa.
Namun, Hollywood mengubah segalanya. Semenjak “diimpor” ke daratan Eropa dan Amerika hingga akhirnya diterima dan menjadi ikon baru industri musik dan film Hollywood, citra tari perut berubah bak seorang gadis desa yang diendus bakat dan kemampuan aktingnya. Tiba-tiba dia menjelma menjadi bintang pujaan layar lebar dan segera merambah menjadi idola baru masyarakat kota.
Terlebih semenjak bintang bintang muda semacam Shakira ikut gandrung dengan tari perut dan menjadikannya sebagai kampanye pembentukan tubuh seksi dan perut rata, tarian tribal daratan Timur Tengah ini segera menjadi ujung lidah dimana-mana.
Di luar industri musik, orang orang kantoran pun jadi doyan berlatih belly dance dan sanggar-sanggar tari perut bermunculan di mana mana. Masyarakat di ujung dunia yang lain pun ikut kecipratan auranya. Menurut maestro tari perut Indonesia, Susanna Tibble, misalnya di Hongkong dan Tokyo, tiap 100 meter pasti ditemukan sanggar tari perut.
Demikian popular tari perut hingga satu media Jepang, Japan Belly Dance, mengirim tim peliput khusus dalam acara Asian Belly Dance Festival yang digelar di Ayodya Resort, 25 – 18 Februari 2010 ini.
Apakah musik dangdut punya potensi yang sama?
Tidak sedikit orang yang mempercayainya. Melihat lakon dan nasip tari perut yang cenderung erotis namun dinamis, dengan dominasi gerakan berpusat dari pusar ke bawah, rasanya tidak beda dengan goyang ngebor atau ngecor yang dipopulerkan Inul, Dewi Persik dan lusinan pemusik dangdut tanah air, atau lenggak lenggok khas tradisi goyang Karawang. Erotis dan murah meriah, sangat dangdut.
Goyang dangdut juga memiliki populasi penikmat khas bak tari perut di masa lalu. Digandruni masyarakat desa dan hanya popular di kota pada komunitas menengah ke bawah. Musik favorit di kalangan pelacuran kelas teri, jamak diputar keras-keras di industri esek-esek rumah bordil pinggiran jalan.
Nah, barangkali menunggu ikon-ikon Hollywood mengendus potensi dangdut menjelma menjadi ikon baru goyang khas sebagaimana tari perut menikmati nasipnya saat ini.
Toh goyang samba, tango, flamenggo, salsa juga tari Bollywood yang kini merambah dunia hiburan di seluruh penjuru dunia pada masa lalu adalah tarian rakyat jelata, tak jauh beda dengan dangdut. Kalau yang disebutkan terdahulu bisa menembus teras atas masyarakat Amerika dan dunia, siapa tahu dangdut bernasip kurang lebih sama dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Dominasi Inul terbukti merobohkan Ikon Amerika. Diadu one-to-one dengan tari perut, goyang Inul pernah menang, setidaknya sekali. Ini terjadi dalam anugrah music untuk perdamaian dunia, World Peace Music Concert, sebuah acara kelas dunia yang digelar di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Park di Jimbaran, tahun 2003.
Konser musik damai untuk mengenang korban bom 12 Oktober di Kuta in disemarakkan oleh beberapa musisi tersohor seperti INXS, Gloria Gaynor, Kinky and Maxi Priest. Dua di antara pemusik yang manggung dan tengah naik daun adalah Inul Daratista dan Jillina. Yang disebut pertama mewakili musik dangdut, yang belakangan adalah superstar tari perut, dari Hollywood.
Bagaimana reaksi penonton?
Deman Inul yang lagi panas-panasnya membuat publik menunggu bagaimana aksi goyang ngebor si penyanyi Pasuruan ini menghipnotis puluhan ribu penonton. Dan yang terjadi memang demikian. Jillina dan grup kenamaannya Sahlala Dancers (sekarang bernama Jillina & Bellydance Evolution), dengan tarian perut yang menyihir dunia, dianggap biasa-biasa saja. Ketika Inul muncul, sontak gemuruh penonton menyambut dengan histeris.
Sayang goyang Inul, saking populernya, menuai protest kalayak luas, sang mega bintang pun memilih merendahkan hati, menurunkan bendera goyang mesin bor yang saat itu tengah berkibar tinggi dan menjadi ikon baru musik tanah air. Padahal saat itulah kesempatan terbaik mengampanyekan goyang asli Indonesia, dangdut. Puluhan pengikut Inul pun harus rela merumahkan senjata maut mereka.
Padahal kalau ditinjau dari sudut kesehatan, goyang dangdut jelas lebih menyehatkan, lebih bernilai olahraga dan membentuk tubuh lebih seksi dan berotot. Kaya akan aksi berani. Setidaknya dibanding gerakan statis dan cenderung monoton musisi pop tanah air saat ini. Yah, kecuali zaman Ikang Fawzy dan Harry Mukti muda dulu. Dua musisi atraktif inipun masih mendominasi gerakannya sendiri, sulit diikuti penonton. Beda dengan Inul yang menciptakan revolusi yang tampak mudah diikuti siapa saja. Mengajak pemirsa bergoyang serentak. Sebagai sebuah seni, tidak haram jika itu juga sebuah olahraga. Untuk Indonesia, rasanya hanya dangdut yang gerakan penarinya bisa diikuti penonton. Mirip tari perut, salsa, samba atau tango, yang terbukti punya gerak khas dan enak diikuti oleh semua khalayak.
Dangdut menuju Hollywood? Barangkali memang belum saatnya. Siapa tahu nanti akan datang waktunya. [b]
Foto diambil dari sini.