Warga mengolah limbah babi menjadi sumber energi. Pengolahan limbah berbasis komunitas juga membuat lingkungan asri.
Bau sampah tercium menyengat di kandang Ketut Teji, di kawasan Jalan Kresek, Sesetan, Denpasar Selatan. Jumat pagi ini, tiga pekerja laki-laki sedang mencacah sampah-sampah basah. Bekas makanan, potongan buah, dan aneka sampah basah lain dipotong-potong kecil untuk kemudian diolah menjadi kompos.
Bau sampah itu bercampur dengan bau pesing kotoran babi di samping tiga pekerja itu. Di kandang seluas 800 meter persegi tersebut, Teji memelihara antara 100–150 ekor babi. Sama halnya dengan sampah basah, oleh Teji, kotoran babi itu pun diubah menjadi sesuatu yang lebih berguna, biogas.
Di kandang Teji itu ratusan babi tersebut diternak mulai dari kecil hingga siap dipotong pada umur 7 bulan. Sebelum tahun 2003, Teji membuang langsung kotoran babi, padat dan cair, ke sungai persis di belakang kandang. Sungai yang mengalir ke daerah Suwung, Denpasar itu pun tercemar. Tetangganya juga protes karena baunya.
Sejak Oktober 2003, Teji mulai mengolah kotoran babi tersebut. Dia didukung Bali Fokus, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan di Bali, dan Bremen Overseas Research and Development Association (BORDA), organisasi nirlaba berbasis di Bremen, Jerman, untuk proses instalasi pengolahan limbah tersebut.
Dengan modal Rp 20 juta, dia membangun tiga bagian utama untuk mengolah kotoran babi menjadi gas, yaitu bio-digester, tangki, serta pengering lumpur.
Secara sederhana, sistem pengolahan kotoran babi itu begini. Kotoran babi, yang dipisah di puluhan kandang berukuran sekitar 2×3 meter persegi, dialirkan melalui selokan kecil ke satu tangki besar berdiameter 3,5 meter. Di dalam tangki ini, kotoran baru akan berada di paling bawah dan paling lama akan berada di atas. Kotoran ini menghasilkan gas dan residu kotoran padat kering.
Kotoran kering akan diolah lebih lanjut menjadi pupuk kompos. Adapun gas yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui pipa-pipa kecil menjadi sumber panas. Oleh Teji, biogas ini digunakan untuk menyalakan kompor air dan lampu.
Tiap hari, Teji menyalakan kompor yang menggunakan gas sebagai bahan bakar tersebut. “Kami biasa masak air pakai kompor ini. Satu liter air cukup dimasak sekitar lima menit,” katanya.
Teji juga menggunakan gas itu untuk sumber energi lampu gantung, mirip lampu petromaks, tiap hari. “Sangat membantu apalagi sekarang PLN seringkali mati,” tambah Teji. Dia lalu menyalakan lampu gantung di samping kompor biogas miliknya. Cahaya lampu lumayan terang bersaing dengan cahaya matahari pagi itu.
Pengolahan limbah secara mandiri juga dilakukan warga di lingkungan Segina Asri, Banjar Pekandelan, Desa Pemecutan Kelod, Denpasar Barat. Warga di lingkungan ini membuat sistem sanitasi masyarakat (Sanimas) yang mengolah limbah dalam bentuk cair maupun padat.
Andi Maryono, warga setempat, mengatakan, sebelum tahun 2006, warga di sini membuat septic tank sendiri-sendiri yang tak memenuhi standar. Sebagian warga juga membuang limbahnya ke saluran drainase. Akibatnya, ketika musim hujan, air meluap. Tak sedikit limbah yang balik ke rumah-rumah.
“Lingkungan kami jadi kotor dan kumuh,” ujar Koordinator Asosiasi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sanimas Seluruh Indonesia wilayah Bali ini.
Dengan dukungan Bali Fokus, BORDA, dan Pemerintah Kota Denpasar, warga Lingkungan Segina Asri membangun sistem sanitasi berbasis komunitas sejak Januari 2006. Kalau sebelumnya warga membuat sanitasi sendiri-sendiri, kini mereka membuat sanitasi bersama.
Tiap limbah dari dapur, kamar mandi, dan toilet warga disalurkan ke septic tank komunitas. Tangki pembuangan ini berada di ujung gang masuk lingkungan ini. Karena semua limbah cair itu masuk di tangki pembuangan, maka saluran air (got) di sepanjang gang itu pun tak lagi berisi air, layaknya got-got lain di perkotaan.
“Got hanya dipakai untuk membuang air hujan,” tambah Andi yang juga bertugas mengurusi pemeliharaan operasional pengolahan limbah tersebut. Dia menunjuk got di sisi jalan yang terlihat tanpa air sama sekali tersebut.
Sanimas ini dikelola oleh KSM Segina Asri. Ada 198 kepala keluarga atau sekitar 700 jiwa yang masuk dalamnya. Untuk bisa menggunakan Sanimas ini, warga membayar Rp 3.000 per bulan.
Dari 40 rumah warga, yang menjadi semacam simpul pembuangan limbah, ada saluran ke pipa utama sepanjang 120 meter. Melalui pipa utama ini, limbah dialirkan ke tangki akhir. Tangki akhir ini terdiri dari delapan bagian yang satu sama lain mirip saringan.
Limbah yang disaring termasuk di dalamnya kotoran manusia dan sisa makanan berlemak. “Kalau (limbah berlemak) dibiarkan masuk, lama-lama dia akan mengeras sehingga merusak sanitasi,” kata Surur Wahyudi, Koordinator Porgram BORDA.
Salah satu bak penampungan akhir berfungsi untuk menyeragamkan limbah dan sebagai bak pengendap. Kapasitas bak pengolahan ini sekitar 40 meter kubik per hari. Menurut Surur lumpur yang mengendap hanya sekitar 5 meter per tahun. Dengan cara itu, warga tak perlu lagi membuang limbah tiap tahun.
Dengan sanitasi berbasis komunitas, warga kini bisa membuat lingkungan lebih asri. Mereka juga tak perlu jasa penguras toilet yang, ujung-ujungnya, menambah pengeluaran juga. [b]
wah ini patut ditiru sama orang yang mau sukses. good info