Baru pukul 10.00 pagi, tetapi terik matahari terasa begitu menyengat.
Jalanan di Nusa Penida tak seramai ketika pandemi belum melanda. Restoran yang menjamur di kanan-kiri jalan tampak masih belum beroperasi. Wisatawan asing yang biasanya bisa dijumpai dengan mudah hilir mudik di jalan juga tak tampak.
Di antara jalan yang lengang, rumput yang menguning, seorang lelaki tengah duduk di ladang. Di sebelahnya kepingan-kepingan karang menumpuk. Usia lelaki itu mungkin sudah melewati setengah abad. Tubuhnya begitu liat. Keringat yang keluar membuat bagian tubuh tak berbungkus baju terlihat mengkilap. Lelaki itu membiarkan terik menyengat kulitnya yang telah gelap.
“Ade batu ngandang,” lelaki itu berkata, sambil menunjuk sebuah batu yang ada di dasar lubang. Artinya, ada batu melintang.
Kepingan-kepingan batu karang yang menumpuk di permukaan ladang merupakan hasil dari usahanya membuat lubang. Menggunkaan peralatan sederhana, panyong, martil, sekop, dan sebuah pahat besi, dan tentu saja linggis dia telah menggali tanah bersama putranya selama lebih dari seminggu lalu.
Menggali lubang di daratan Nusa Penida, pulau yang terkenal kering dan berbatu, tentu tidak semudah ketika membuatnya di sebagian besar tanah di Bali. Tekstur batuan yang mendominasi pulau Nusa Penida bisa dilihat dengan mudah. Hal tersebut tentu saja menjadi kendala tersendiri jika berbicara tentang gali-menggali.
Penggalian dilakukan pada petak ladang yang berada satu tingkat lebih rendah dari lokasi kandang sapi yang telah menghasilkan berkilo-kilo kotoran. Sapi yang selama ini dirawat di tengah pendeknya musim hujan dan panjangnya musim kering. Di tengah susahnya mencari pakan ternak sapi. Ternak yang dijaga dan dirawat setiap hari. Ternak yang menjadi tabungan bagi kebutuhan direncanakan seperti kebutuhan anak sekolah dan atau kebutuhan yang tiba-tiba hadir tanpa diduga seperti kebutuhan pengobatan.
Penggalian kali ini tentu bukan tanpa alasan. Para petani-ternak ini sedang mengusahakan sesuatu, memenuhi energi dari potensi yang ternyata mereka miliki. Sapi yang dirawat setiap hari, yang kotorannya selama ini hanya untuk pupuk bagi tanaman ternyata memiliki potensi lain, potensi energi.
Potensi energi yang tersimpan dari tiap tetes kotoran sisa pencernaan seekor sapi. Potensi yang butuh dikelola dan diproses sehingga bisa berubah dan menghasilkan energi. Energi yang bisa dimanfaatkan petani-ternak yang ingin memanfaatan kotoran.
“Harus dibakar dulu, siapa tahu bisa lebih gampang dipecah,” kata Pan Wayan Wayan Kajeng, panggilan akrabnya, sambil membawa keluar perabotannya dari lubang galian.
Bersama istrinya, dia membawa dahan-dahan kering dan pelepah kelapa ke bibir lubang galian.
Batu melintang di dasar lubang menghambat proses penggalian. Besarnya batu yang seolah tak ada ujungnya membuat proses penghancurannya menjadi lebih sulit.
“Padahal tinggal 20 cm lagi,” Wayan Wayan Kajeng menjelasakan.
Lubang yang ingin dia gali memiliki diameter kurang lebih 2 meter dengan kedalaman sekitar 160 cm. ukuran tersebut berkaitan dengan jumlah energi yang diharapkan bisa dihasilkan serta efektivitas dalam proses menghasilkan energi.
Suara Trisandya sayup-sayup terdengar.
Potongan-potongan dahan dan pelepah kelapa dimasukkan ke dalam lubang. Beberapa ranting kering dibawa serta turun ke dalam lubang, lalu kembali naik ke permukaan. “Pak, nyelaang korek abosbos,” kata Wayan Wayan Kajeng meminjam korek.
Lelaki tua dengan jejak batu kapur dari tanah yang digalinya di celana mengambil korek gas. Dia melangkah turun, kembali masuk ke dalam lubang. Jongkok di hadapan ranting dan rumput kering yang akan menjadi pengumpan (pemancing) nyala api. Lalu, dia menyalakan korek api. Membakar ranting kering yang sebelumnya telah dikumpulkan dan ditempatkan di bawah dahan dan pelepah kering.
Api menjalar dari rumput menggerogoti ranting melalap dahan. Wayan Wayan Kajeng berdiri di bibir lubang, memandang api sementara sang istri melangkah mendekat dengan dahan pohon yang yang ditarik mengikuti langkahnya.
“Jika sebelum-sebelumnya setelah dipakar lebih mudah dipecah. Dibakar sehari atau dua hari lalu disiram air. Biar ada retakan-retakan sehingga lebih mudah dipecah,” dia bercerita. “Seperti proses ketika membuat pamor (kapur halus yang bisa untuk melapisi dan menghaluskan dinding bangunan),” lanjutnya.
Pengalaman yang diterapkan ketika membuat lubang bukan ilmu baru bagi Wayan Wayan Kajeng. Hal tersebut didapatkan dari orang tuanya ketika harus membuat lubang untuk membuat penampungan air hujan. Lubang penampungan air hujan yang dibangun tidak saja di pekarangan rumah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi juga dibangun di ladang untuk memenuhi kebutuhan ternak yang dipelihara di ladang.
Pengalaman sekian tahun harus kembali digunakan untuk kebutuhan berbeda. Bukan demi air, tetapi demi memenuhi kebutuhan lain. “Kalau pindah lagi nanggung, tinggal sedikit lagi,” katanya sambil melihat api yang semakin besar setelah melahap batang-batang pohon kering yang dilempar ke dalam lubang.
Tri sandya berkumandang.
Beralih
Kami beralih dari ladang Wayan Wayan Kajeng ke ladang Made Arta.
Lelaki berperawakan kecil tersebut tengan duduk bersama istrinya di bawah bayangan rindang pohon bunut. Ketel aluminium dan gelas berada di dekatnya. Martil, panyong, linggis dan sebuah ember berada di dasar lubang.
“Niki benjang,” kata Made Arta menunjuk kotak kecil yang ditandai dengat patok dan benang. Artinya, dia akan mengerjakan besok.
Made Arta juga salah satu petani-ternak yang hendak membangun biogas. Dia akan memanfaatkan untuk penerangan. Selama ini penerangan tempat tinggalnya di ladang bersumber dari minyak tanah. Sementara untuk kebutuhan memasak dan nagdag (memasak pakan ternak) dia dan istrinya biasa menggunakan kayu bakar.
“Ten mresidayang tepat 165. Harus lebih. Jika tanah bisa tepat. Ini karena batu, jadi harus membongkar. Jadi lebih,” kata Made Arta sambil melangkah mengambil meteran. Dengan jemari senjanya dia menarik ujung meteran, kemudian mengukur. Bibir lubang menujuk di angka 170 cm.
Tak ada batu keras yang melintang dan menghambat proses pembuatan lubang, tetapi tetap saja batu-batu yang menjadi daratan pulau perlu dipecah.
Meletakkan meteran, Arta turun melalui tangga menuju dasar lubang. “Niki sengaja tiang sisakan, biar bisa menek-tuun,” dia menjelasakan kenapa masih ada gundukan yang disisakan di sisi selatan lubang. Tujuannya biar bisa dipakai untuk naik turun.
Panyong yang sudah menunggu di dasar lubang kembali diambilnya. “Dug. Dug. Dug” Suara panyong beradu dengan batuan yang menjadi dinding lubang. Panyong yang diayunkan perlahan.
Sesaat kemudian istrinya menyusul menyusuri gundukan batu kapur yang sengaja disisakan, menuju dasar lubang. Dia bersimpuh, perlahan memasukkan serpihan kapur ke dalam ember. Arta mengangkat kapur itu ke atas.
“Setelah ini selesai, saya tak perlu lagi pakai kayu bakar,” kata Arta tersenyum sambil menuang serpihan kapur dalam ember. Pasangan sepuh ini sebelumnya hanya menggunkan kayu bakar untuk pemenuhan kebutuhan energinya.
Hanya tinggal berdua di ladang, kayu bakar yang digunakan pasangan ini lebih banyak habis untuk nagdag dibandingkan untuk memasak. “Kayu bakarnya pilihan,” kata Arta, menjelaskan bahwa kayu bakar yang digunakan bukanlah kayu bakar sembarangan. Dia memilih dari dahan pohon gamal yang memang tumbuh di sekitarnya. Hal itu membuat memreka harus menyisihkan waktu untuk menyiapkan kayu bakar.
Mengingat bagaimana usia mereka dan hubungannya dengan kemampuan yang tentu saja tidak lagi sekuat ketika muda dahulu, Arta dan istrinya tentu harus lebih bijak dalam mengalokasikan tenaganya. Mengingat mereka hanya tinggal berdua ditambah kebutuhan untuk nagdag, biogas dengan kapasitas 4 m kubik tentu cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Setidaknya biogas dengan kapasitas digester 4 meter kubik hanya membutuhkan kotoran 20-40 kg per hari yang akan terpenuhi tiga sapi yang dipeliharanya. Biogas dengan ukuran tersebut akan memproduksi gas sekitar 0,8-1,6 m3 per hari dan bisa menghemat pembakaran kayu bakar sebanyak 20-40 kg per hari.
Kehadiran gas tersebut juga akan menghemat waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan Arta untuk mencari kayu bakar. Selain itu, kehadiran gas bisa memebuhi kebutuhan Arta akan penerangan yang selama ini diusahakannya dengan mengonsumsi minyak tanah.
Arta di antara usia tak muda lagi dan tenaga tak sekuat dulu, mengali lubang untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal yang bisa saja tidak perlu repot-repot dilakukan jika dia memutuskan untuk mengonsumsi energi yang disediakan secara instan. Hal yang bisa dilihat dengan mudah terjadi di tengah-tengah masyarakat.
“Mangkin nak jaman baru nike pak, lakar jukut mewadah kulkas, nyakan ngecukang, ngoreng megorengan nganggo kompor gas (sekarang zaman baru pak, sayuran dalam kulkas, memasak nasi tinggal colok (listrik), menggoreng pakai kompor gas (elpiji),” kata istri Arta sambil tertawa.
Dia menggambarkan realita hari ini yang membuat wajah saya memerah karena juga terjerembab dalam pusaran itu. [b]