Ide pertanyaan datang dari Twitter. Di sana pula jawabannya kami temukan.
Pancingan tersebut berasal dari twit salah satu pengguna Twitter di Bali Minggu malam lalu. “Termehek-mehek mengambil lokasi di Bali.” Begitu kurang lebih kicauannya.
Kata kuncinya, Bali. Dia menjadi magnet untuk segera memindahkan saluran ke TV pemutar tayangan nyata (reality show) tersebut.
Tak jelas apa cerita di layar kaca itu karena kami menontonnya ketika sudah di tengah-tengah cerita. Namun, di sana ada keluarga Bali di rumah. Lengkap. Bapak, ibu, anak perempuan, anak laki-laki, plus pembawa acara. Kecuali pembawa acaranya, semua berpakaian adat Bali.
Seperti juga Film TV (FTV) yang sering mengambil tempat shooting di Bali, kisah nyata ala Termehek-mehek ini pun banyak kejanggalan. Kami sudah beberapa kali menemukannya saat melihat di TV. Kali ini, kami tak menyimpannya sendiri.
Melalui akun @balebengong, kami mengajak warga untuk mempertanyakan kebenaran kisah nyata ala layar kaca ini. Dalam waktu sekitar 30 menit, banyak pertanyaan dan gugatan, seberapa nyata reality show ini?
Ada beberapa kejanggalan tayangan yang mengaku sebagai kisah nyata ini. Inilah beberapa kejanggalan tersebut.
Pertama, pakaian. Dalam reality show, juga FTV, hampir selalu digambarkan bahwa orang Bali berpakaian adat madya. Tentu saja biasa orang Bali berpakaian adat. Tapi, tidak setiap waktu seperti digambarkan di layar kaca.
Ada beberapa tingkatan pakaian adat di Bali, misalnya adat ringan dan adat lengkap. Untuk laki-laki, pakaian adat ringan ini terdiri dari sarung (kamen) dan saput, selendang, serta ikat kepala (udeng). Pakaian adat ini biasa dipakai kalau, misalnya, jenguk orang meninggal atau ikut pertemuan di banjar.
Dan tidak dipakai tiap waktu. Kalau tidak ada acara khusus, ya, tak mungkin orang Bali pakai pakaian adat ringan, apalagi lengkap begini.
Tapi, di reality show diperlihatkan seluruh pemerannya menggunakan pakaian adat madya. Itu, sih, namanya lebay. Mana ada orang Bali setiap hari dan setiap waktu berpakaian adat seperti di Termehek-mehek ini.
Kedua, bahasa. Di reality show ini diperlihatkan semua pemeran berbicara Bahasa Indonesia meskipun lagi marah-marah. Tentu saja, hal biasa biasa orang marah-marah menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi, di Bali dan bicara sesama orang Bali lalu marah-marah dalam Bahasa Indonesia? Kok, terasa sekali janggalnya.
Di Denpasar, orang Bali bicara dengan sesama orang Bali pakai Bahasa Indonesia itu wajar. Banyak. Tapi, kalau marah, saya yakin akan pakai Bahasa Bali.
Bahasa Indonesia itu, secara tak langsung dan sadar atau tidak, menjadi bahasa lebih halus atau bahkan lebih tinggi untuk orang lain di Bali. Jadi, kalau marah pasti pakai Bahasa Bali kasar, bukan Bahasa Indonesia.
Selain soal jenis bahasa juga soal logat. Dalam reality show ini semua pemeran berbicara dengan logat Bali mentok. Misalnya, intonasi (irama suara) serta penekanan pada huruf mati tertentu, misalnya “t” yang tebal seperti “th”. Biasa sih orang Bali ngomong dengan logat itu. Tapi, sekarang rasanya makin susah menemukannya, apalagi di kalangan anak-anak muda perkotaan.
Logat Bali di reality show itu terlalu lebay. Dibuat-buat. Artifisial.
Ketiga, pemeran. Melalui akun Twitter pula beberapa warga memberikan informasi tentang siapa pemain di reality show tersebut. Para pemeran di reality show itu ada yang mahasiswi salah satu kampus ternama di Bali, ada pula yang memang pemain drama.
Ada yang memberikan akun ke salah satu pemeran itu. Saya cek linimasanya. Dia menjawab beberapa twit yang mengabarkan dia ada di reality show tersebut. Berarti benar. Dia memang yang berperan di televisi.
Beberapa pengguna Twitter juga mengabarkan. Para pemeran itu dicasting untuk ikut reality show tersebut. Artinya, sekali lagi, mereka memang bukan orang dengan kisah nyata seperti yang ada di tayangan tersebut. Mereka memang ada. Tapi, cerita mereka hanya rekayasa.
Begitulah. Apa yang kita pikir nyata di TV, kadang-kadang hanya rekayasa. Saya tidak bisa memastikan bahwa Termehek-mehek pun rekayasa. Tapi, fakta di atas semoga bisa menjadi pembanding benar tidaknya reality show di layar kaca.
Benar tidaknya, keputusan di tangan Anda. [b]
Mengenai kejanggalan acara semacam Termehek-mehek sudah saya rasakan sejak lama. Saya sudah ndak percaya bahwa acara ini memang shooting tanpa rekayasa.
Menurut yg pernah saya baca di beberapa blog, acara semacam itu memang rekayasa. Mereka bisa membuat acara itu karena memang tidak pernah mengatakan itu bukan rekayasa, cuma namanya memang “reality show”. Tapi definisi “reality show” itu yang saya belum jelas hingga saat ini.
kalau memang reality, harusnya sih semacam berita yg memang real, bukan rekayasa. lha ini kantidsk. bilangnya real tapi (sangat mungkin) rekayasa.
Artikel yang menarik..
Makasih infonya..
Terus berkarya…:)
Dimana-mana yang namanya reality show itu boongan semua.
Namanya juga REALITA. Realita adalah sesuatu yang menggambarkan keadaan dimasyarakat. Jadi termehek-mehek itu seperti sinetron yang menceritakan/menggambarkan bahwa memang ada kejadian seperti itu di masyarakat.
Beda dengan FAKTA. Fakta adalah sesuatu yang memang terjadi dan benar adanya. Kalau acara fakta itu kayak acara berita, yang langsung menampilkan sumbernya. IMHO ya..
Eh, kok jadi serius amat. hehe.. anggap aja acara itu hiburan. Kalo ga suka, jangan dicela, tapi ganti channel aja. Kalo ga suka dan masih ditonton sambil nyela2 itu biasanya diem2 suka. hehehe.. ^^
Maunya sih menganggap ini acara hiburan, tapi mbok ya yang masuk akal sedikit gitu loh. jangan asal bikin yang pada akhirnya kok keliatan banget boongnya. hehehe… minimal ya dipelajari dulu adat istiadat dan kebiasaan orang bali sebelum mengambil serring di bali. atau jangan”kalo settingnya di papua, jadi berharap orang”yang terlibat bakalan pake koteka kmana”… hehehe…
ya termehek-mehek.. sdh lama tdk percaya sama tayangan ini…soalnya adegan yg kita tonton itu totally fake. Tayangan yg dulu, pernah juga di Bali, intinya mengisahkan tentang pacarnya yg kena HIV.. ternyata pemerannya fake, lokasinya shoot juga meloncat seenak-enaknya! satu lagi akhir cerita pokokne gelar-gelur ngeling 🙁
saya pernah alami perdebedatan ini di dalam lingkungan keluarga saat menonton di televisi. meskipun pernah mengalami konflik. tetep saja mereka kukuh menonton tayangan ini dari awal sampai akhir, susah meenjelaskan….
ini tulisannya Mas Anton?? tapi mungkin maksudnya hanya menegaskan saja karena Mas Anton pasti sudah tau bahwa tidak hanya termehek-termehek yang di shooting di Bali saja yang rekayasa. Semuanya di rekayasa kok, gak ada reality show yang benar-benar riil. Karena kalau benar-benar riil alias tidak reakyasa, biayanya muahallll…. dan waktu memproduksinya juga lama. Sementara prinsip yang berlaku di televisi komersial ya pastilah prinsip ekonomi, “memproduksi semurah-murahnya mendapatkan hasil sebesar-besarnya”.
Televisi menciptakan apa yang disebut sebagai hiperrealitas, realitas yang tidak riil tetapi dianggap riil oleh penontonnya. Apa yang muncul ditelevisi dianggap sebagai sesuatu yang memang terjadi juga di kehidupan nyata. Padahal apapun yang ada ditelevisi itu adalah by design. Ia melalui proses produksi, di edit sesuai kehendak dari si pembuat program. Apalagi tv komersial di negeri ini semuanya dibuat lebay, karena yang lebaylah yang disukai. Yang lebay lah yang laku. Kita ini bangsa lebay alay.
bli win bagus genjing. tulisan ini hanya menjawab asumsi-asumsi selama ini tentang rekayasa reality show semacam termehek-mehek itu. jawabannya ya seperti di atas itu. dari awal pun sudah yakin acara ini direkayasa agar seolah2 nyata.
yg perlu kita gugat itu justru karena dia bilang ini realty shiw, seolah2 semuanya nyata termasuk kisah dan pelakunya. nyatanya toh tidak. karena itu penggunaan istilah reality show sebaiknya diganti. biar tidak menipu.
terakhir, kalau toh ini semuanya benar, aku juga tak tertarik menontonnya. itu privasi, bukan utk diumbar di layar kaca alias televishit. 🙂
arumi bachim juga rekayasa kok…keperluan entertainment *yakin* 😀
Saya jarang menonton reality show. Lebih senang nonton quis. Hehehe 😀
Sempat saya nonton beberapa kali. Timbul pertanyaan dalam hati “apa tidak risih masalah pribadi menjadi konsumsi publik?”
Lha, saya malah setelah menonton sekali dulu, tidak pernah menonton lagi. Tidak ada yang menarik di dalam tayangan seperti itu, mau ceritanya asli ataupun rekayasa.
Akhirnya hasi kicauan di twitter masuk ke sisni juga, kapan ya, hasil tulisan di sini bisa menjadi perbincangan semuaorang yg terkena “korban” termehek-mehek”?
Bila perlu masuk media nasional sekalian biar tiarap toe penggas realty shownya…
sudah pernah diakui oleh pihak termehek-mehek kalau acara mereka acara rekayasa layaknya film. entah saya baca di koran apa, lupa. tapi masih banyak yang suka tuh.. haha
Paling prihatin dengan acara yang menjual kebudayaan Indonesia tapi tidak natural karena malah bisa menimbulkan kesan yang salah bagi pemirsanya. Berapa sering ‘logat artifisial’ itu digunakan dalam FTV/reality show? Berapa banyak kesalahan penggunaan tradisi yang muncul karena seluruh tim dan aktor enggan melakukan riset?
Menurut saya hal seperti ini cukup memalukan. Ya bagi tradisi Indonesia, juga bagi dunia sinema.
bangsa inipun sudah bangsa rekayasa.
kayakx film termehek2 itu nyata dan bukan bohongan….dan wlupun bkn nyata itu hakx dia yg penting sebagian orang tlah terhibur..jgn rese dan blg yg engga2 klu engga suka jgn di nonton dan ngomong yg engga2..
yakin low acara tu uda di rekayasa.ambil positifnya aja buat pembelajaran dalam hidup
Ya sejak awal saya sudah tak percaya pemerannya beneran,kok lincah dan mengerti sebagai pemain peran.Misalnya kisah nyata saya. Pasti saya kikuk amat memerankan diri sendiri.Tapi di TV lancar-lancar aja….
dengerin aja suaranya, begitu jernih untuk reality show ..
Logikanya, kalo emang acara ini real / tanpa rekayasa, suara orang-orang yang ditemui saat pencarian berlangsung tidak akan sejernih / sejelas (senyaring) yang terdengar pada tayangan acara ini di televisi.
Terlalu banyak adegan seru yang berlebihan, kurang masuk akal dan hampir sama di setiap episode.
sebagai penonton harus pandai-pandai melihat apa saja kejanggalannya biar gak gampang tertipu seperti itu :’)