Oleh Luh De Suriyani
Beragam masakan dan penganan khas Bali yang biasanya agak sulit ditemukan kini bisa dinikmati di festival makanan, Denpasar Food Heritage Festival 2007 yang dilaksanakan 29-30 Desember ini di pusat kota. Misalnya sate kakul (keong sawah), lawar cumi, krupuk klejat (sejenis kerang), nasi sela (ketela), dan lainnya.
Sekitar 50 meter dari nol kilometer Denpasar, dekat Patung Catur Muka, empat belas stan berjajar. Hujan deras yang datang tiba-tiba sempat membuat panik sejumlah pedagang yang bersiap menggelar dagangannya di kawasan Jalan Veteran, depan Hotel Inna Bali.
Di depan hotel pertama di Bali itu, para pedagang yang mengenakan pakaian adat Bali
tampak percaya diri memperkenalkan dagangannya pada setiap pengunjung yang mampir di stannya. Sejumlah pedagang mengakui ini kali pertama bisa memamerkan masakan khas warungnya di sebuah even resmi untuk mempromosikan pariwisata Bali ini.
Mereka tak mengira makanan khas Bali masih membuat warga antusias. Apalagi sejumlah pedagang adalah pemilik warung kecil yang lokasinya jauh dari pusat kota.
Misalnya Made Sudiartana, penjual nasi Bali dengan lauknya yang khas olahan laut. Dalam satu paket nasi yang dijual Rp 10 ribu rupiah per porsi itu, Sudiartana yang akrab dipanggil Pak Tolih itu melengkapi dengan satu tusuk sate ikan languan, lawar cumi, pepes ikan jangki, jukut ares (sayur dari batang pisang), sepotong ikan bakar, dan sambal matah.
Semua masakan dibuat dari aneka rempah yang menjadi ciri khas bumbu masakan Bali. Bumbu lengkap yang dirajang kecil atau ditumbuk ini biasanya terdiri dari cabe, bawang merah dan putih, jahe, kencur, lengkuas, ketumbar, jinten, pala, merica, sereh, daun salam, dan lainnya. Bumbu dasar inilah yang akan diracik dalam olahan sate, sayur, daging, pepes (pesan), atau tum (botok). Itulah lauk-pauk yang bisanya ada dalam nasi campur ala Bali.
Kebanyakan penjual nasi Bali menggunakan bahan baku ayam, babi, dan ikan. Untuk mendapatkan menu masakan Bali yang halal juga tak sulit, karena bisanya pedagang nasi Bali mengolah semua masakan dari ayam atau ikan saja.
Hal ini terlihat dari festival makanan ini. Ada yang menjual nasi Bali khusus daging babi, spesial ayam, dan spesial ikan.
Satu lagi yang istimewa adalah munculnya sejumlah masakan masa lalu yang malah paling banyak dibeli. Contohnya sate kakul yang malah dipresentasikan ala hotel, dengan perangkat makanan serba kayu yang cantik. Putu Swastika yang membuka warung di Jalan Ahmad Yani Denpasar ini menjual satu set menu kakul Rp 10 ribu rupiah. Terdiri dari nasi, enam tusuk sate kakul, gulai sayur ares, pepes dan botok kakul, dilengkapi dua jenis sambal.
David, seorang turis asal Australia mengaku menyukai aroma rempah dalam masakan Bali. “Saya merasa cocok dengan pedas yang sedang dan rasanya natural,” ujarnya ketika menikmati satu porsi nasi ayam Bali bersama dua rekan wanitanya di festival itu.
Padahal untuk sebagian turis yang tidak tahan rasa pedas, masakan Bali yang kaya rempah tidak mudah dinikmati. Karena itu, di sejumlah restoran atau rumah makan yang sering dikunjungi turis asing seperti Jimbaran dan Kuta, masakan Bali dihidangkan dengan rasa pedas merica bukan cabe. Sambalnya dibuat dari tomat dan cabe besar dengan rasa yang agak manis.
Yang tak kalah penggemarnya adalah serombotan. Penganan sayur-sayuran sehat seperti pare, kajang panjang, taoge, mentimun disiram bumbu pedas dan parutan kelapa. Selain itu ada juga beragam jaja (kue khas) bali seperti kukus (ketan), laklak (mirip serabi), timus, dan bubur sumsum dari tepung beras.
Varian tambahan yang unik adalah penganan substitusi beras atau tepung. Misalnya aneka kue basah dari ketela ungu, camilan dari jagung, dan olahan rumput laut.
Denpasar Food Heritage Festival ini adalah program perdana dan mengawali beragam even yang dihelat sebagai tahun kunjungan pariwisata Indonesia, Visit Indonesia 2008. Pemerintah Kota Denpasar sendiri merancang program jalan-jalan atau Sightseeing Denpasar 2008 untuk mempromosikan wisata kota (city tour). Nah, festival makanan khas Bali ini bagian dari promosi Sightseeing Denpasar yang juga diluncurkan bersamaan dengan festival ini.
Diakui, pemerintah belum memetakan dengan serius kuliner khas Bali yang dijual di pojokan Kota Denpasar. “Padahal makanan yang mendongkrak kunjungan wisata,” kata Gde Nurjaya, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali.
Lewat festival makanan, ia juga melihat sebagai upaya mengurangi dikotomi antara pariwisata dan pertanian di Bali. Pariwisata dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab pada berkurangnya lahan pertanian dan keterpurukan petani. Nurjaya melihat jika wisata kuliner bergerak maka secara tak langsung membangunkan usaha pertanian yang menyediakan bahan baku masakan Bali.
Asumsi itu cukup beralasan karena sebagian besar bahan baku masakan khas Bali adalah produk langsung pertanian, perkebunan, dan peternakan lokal. Misalnya kebutuhan ayam kampung, ketela, pembudi daya kakul, dan lainnya.
Nurjaya membandingkan dengan negara lain yang menerapkan wisata kuliner untuk meningkatkan kunjungan wisatawan seperti Thailand. Karena itu ia yakin, program kampanye kuliner lokal Bali akan mendukung promosi wisata ke Bali. Sepanjang 2007, kunjungan wisatawan mancanegara menunjukkan peningkatan. Lebih besar sejak peristiwa bom Bali.
Rata-rata wisatawan mancanegara yang datang ke Bali per hari tahun 2007 ini adalah 3.915 orang. Ini mendekati angka sebelum bom Bali, sekitar 4000-5000 orang per hari.
Selain wisatawan mancanegara, Ida Bagus Ngurah Wijaya, Ketua Bali Tourism Board mengatakan wisatawan domestik juga turut meningkatkan dinamika wisata Bali. Sebagian besar wisatawan domestik adalah pasar potensial untuk berwisata kuliner. “Ketika makan pagi, dia sudah memikirkan nanti mau makan siang dimana,” ujarnnya ketika membuka Denpasar Food Heritage Festival ini.
Sebelumnya jika ada teman dari luar kota yang ingin mencicipi makanan khas Bali, tak mudah memberikan alternatif penjual makanan khas Bali di Kota Denpasar. Pemerintah Kota Denpasar kini mencoba menggali dan membuka ingatan orang Bali sendiri dengan kuliner khasnya itu.
Beberapa warung masakan khas Bali di Denpasar:
– Warung Pan Putu, Jl. Ahmad Yani 187 Denpasar Utara (menjual sate kakul, jukut ares, tum-pepes kakul, krupuk kakul, dll)
– Warung Kutat Lestari, Jl. Kutat Lestari 1 Denpasar Selatan (menjual lawar cumi, ikan bakar, sate languan, sayur/jukut plecing (kangkung)
– Usaha Mina Serangan, Serangan (rummput laut, kerupuk klejat, dendeng dan nuget ikan)
– Bhuana Boga, Jl Sedap Malam Gg Pakis 15 Denpasar (nasi sela, jajan bali, dll)
– Warung Made Rapog, Jl Tukad Jo Gading 19 Denpasar (nasi sela, cokok ayam, lawar ayam)
– Warung Dita, Jl Patih Nambi VI Gg FF (Tipat kuah, betutu ayam, telur bumbu bali, dll)
Kuliner adalah salah satu potensi penggerak ekonomi yang jitu. Bukan hanya karena berhubungan dengan perut tetapi soal citarasa itu sudah kategori psikografis. Citarasa juga kerap berhubungan dengan nostalgia. Nasi Pecel Bu Tinuk contohnya. Walau bukan favorit saya, selain kini punya gerai di beberapa tempat, tentu saja memerlukan supplai barang juga pegawai yang lebih banyak. Hal serupa juga dicontohkan oleh tempat makan yang lain. Bandung dan Jogja adalah contoh kota dengan segudang kuliner unggulan dan mampu bersaing dengan fast food atau konsep restoran modern. Dan memang disanalah letak tantangannya. Kuliner tradisional hanya segelintir saja yang sangat memperhatikan aspek higienis dan segar apalagi sampai mengemas kembali/repackage menjadi lebih menarik dan kreatif.
Bale Bengong adalah wahana yang paling getol menulis kuliner. Bali punya segudang makanan khas yang kaya akan cita rasa. Sudah saatnya ada perhatian dari pemerintah dan ahli kuliner mendorong kuliner Bali menjadi lebih atraktif. Di Tanjung Benoa ada restoran masakan tradisional Bali yang dikelola oleh orang asing yang juga menulis buku resep masakan Bali dan Indonesia. Ayo dorong yang lain untuk maju. Buat Luh De dan Bale Bengong terima kasih atas infonya. Suatu saat bisa menerbitkan Panduan Kuliner di Bali…
Kuliner merupakan bagian tak terpisahkan dari wisata, yang tentunya harus maju sesuai majunya pariwisata. http://www.primeaccesscard.com