Seorang nelayan memberanikan diri untuk bertanya.
Jantungnya berdetak kencang, tangannya gemetar bersama suaranya yang tersengal. Suasan tersebut terlihat sebelum ditutupnya pembahasan rencana zonasi di Desa Sambirenteng dan Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng Rabu pekan lalu.
Hadir empat orang sebagai pembicara di depan. Dua dari Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng. Dua lainnya dari perbekel Desa Tembok dan Sambirenteng.
Dalam pembukaannya, Abdul Manap S.Pi, dari Seksi Konservasi, Tata Ruang Laut dan Pesisir menyampaikan beberapa proses hingga terjadi pertemuan sekarang ini.
Proses pernah dilakukan di tahun 2004, 2006, dan 2008. Dua proses yang telah dilalui adalah proses dari pertemuan di Desa Penuktukan sedang pertemuan terakhir dilakukan di kantor camat Tejakula pada November tahun lalu.
Proses-proses di atas didasari akan tangkapan nelayan yang semakin sedikit karena terumbu karang kondisinya makin memprihatinkan. Ada beberapa oknum yang masih melanggar hal-hal yang telah diatur sebelumnya yakni menangkap ikan yang tidak ramah lingkungan.
Menurut Abdul Manap alat tangkap tidak ramah lingkungan ini digunakan oleh oknum dari luar daerah Sambirenteng dan Tembok. Permasalahan laut juga dipengaruhi sampah yang berasal dari darat. Banyak nelayan yang masih melanggar zona di laut serta kurangnya pengawasan menjadi alasan bahwa kondisi laut di Bali utara kian mengkhawatirkan.
Padahal payung hukum sudah dibuat seperti UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir, UU No. 32 tahun 2004, peraturan Menteri, SK Bupati Buleleng dan lain sebagainya.
Sebanyak 14 lembaga hadir dalam pertemuan ini, mulai dari perusahaan, pihak desa, spa, resort, villa, kelompok nelayan serta lembaga swadaya masyarakat. Rencana zonasi sendiri terus dibahas dan dimatangkan. Sedikitnya ada empat zona yang sering ditanyakan dalam pembahasan yakni Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan dan Zona Peruntukan.
Yang menarik dari pembahasan ini bahwasanya ada Zona Suci, hal ini belum tentu ada di daerah lain di luar Bali yang ditetapkan untuk menjaga Kawasan Konservasi Perairan. Dikatakan Manap bahwa selama ini banyak masyarakat takut akan kata konservasi, seolah-olah orang tidak boleh beraktivitas di dalam kawasan konservasi tersebut.
Hal ini yang harus diluruskan. “Kawasan konservasi ibarat tabungan. Kalau ada pohon tidak semua pohon ditebang, melainkan memanfaatkan kayunya sedikit demi sedikit. Kita bisa memanen tapi tidak sampai habis,” jelas Manap.
Perbekel Sambirenteng menjelaskan bahwa di desanya terdapat kawasan Suci di pinggir pantai sehingga terjaga kelestariannya, sedikitnya ada empat pura terdapat di sepanjang pantai. Solusi lain juga disepakati oleh pengurus dari pihak Hotel Alamanda serta Oasis yang menyetujui bahwa di depan hotelnya akan ada zona rehabilitasi seluas 9 hektar.
Upaya penyelamatan lingkungan seperti ini harus menjadi semangat semua lapisan masyarakat sehingga Bali tetap lestari. [b]
Comments 1