Pernah senewen membaca berita peristiwa penelantaran bayi? Siapa yang akan muncul dalam berita penangkapan pelakunya? Sudah pasti sang ibu.
Demikian juga jika ada peristiwa perkosaan yang berujung kehamilan pada anak, siapa yang banyak dikabarkan? Kemungkinan si ibu, jika pelajar berisiko putus sekolah. Entah dikeluarkan dari sekolah atau mengundurkan diri.
Kenapa peristiwa-peristiwa itu terjadi? Bagaimana latar belakang peristiwanya? Ada apa di baliknya? Pertanyaan-pertanyaan ini didiskusikan dalam forum diskusi yang difasilitasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar pada 31 Juli lalu di Kubu Kopi.
Urun rembug ini selain mencari solusi dan kesepahaman, juga mengingatkan pentingnya pelibatan keluarga dan masyarakat dalam persoalan-persoalan sosial yang dihadapi anak-anak. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan pasal 3 menyebutkan pelibatan keluarga dilakukan dengan prinsip persamaan hak; semangat kebersamaan dengan berasaskan gotong-royong; saling asah, asih, dan asuh; dan mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi Anak.
Wahyu Budi Nugroho, Sosiolog Universitas Udayana memulai dengan membahas Perspektif Sosiologis Kehamilan Tak Diinginkan (KTD). Ia mengajukan dua pertanyaan kunci. Pertama, apabila ada remaja putri hamil, prianya bertanggung jawab, apakah remaja putri ini akan menggugurkan kandungannya? Kedua, apabila ada remaja putri hamil, tidak punya suami, dan masyarakat tidak menyalahkannya, apakah remaja putri ini akan menggugurkan kandungannya?
Mari rehat sejenak, dan jawab pertanyaan di atas.
Barangkali Anda ingin merespon istilah dulu. Sejumlah peserta diskusi juga mengajukan kritik pada istilah KTD. Ada yang ingin menyebutkan “kehamilan” saja tanpa embel-embel tak direncanakan. Tujuannya, mengurangi stigma.
Wahyu mengingatkan KTD bukanlah fenomena yang baru saja terjadi dewasa ini di tanah air, melainkan telah lama, hanya saja ditutup-tutupi. Dahulu, raja selalu mempunyai gundik-gundik, yakni anak-anak perempuan di bawah umur yang juga menjadi “pelayan seks”.
Di era penjajahan Jepang, pengalaman jugun ianfu menyebabkan banyak wanita Indonesia menjadi korban KTD dan ditolak kembali ke keluarganya, pada berbagai momen kerusuhan tanah air seperti DOM (Daerah Operasi Militer), Reformasi 1998, dan lain-lain. Tak sedikit pula wanita tanah air yang menjadi korban KTD. Pada era sekarang, dimana segalanya mulai terbuka, pelaporan kasus-kasus KTD pun semakin marak.
Hubungan seks yang menyebabkan KTD, tambah Wahyu, bukanlah soal tindakan ini “dosa” atau “tidak dosa”. Baik kedua belah pihak sama-sama tahu jika tindakan itu dilarang oleh agama. Persoalannya adalah, lingkungan sosial memberikan pengaruh lebih besar sehingga hubungan seks di luar nikah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dimaklumi, bahkan membudaya.
Di sisi lain, masyarakat kita cenderung masih menabukan seks, hal ini justru memicu remaja untuk “coba-coba”. Penempatan wanita sebagai korban KTD, menurut Wahyu, disebabkan oleh relasi kuasa yang tak seimbang antara pria dengan wanita. “Di sisi lain, media juga memiliki sumbangsih besar terkait hal ini, bagaimana wanita selalu ditampilkan secara subordinat dari pria misal dalam sinetron, film, dan lain-lain,” serunya.
Wahyu menawarkan sejumlah solusi dalam bingkai peristiwa ini. Pertama, solusi personal. Jika kehamilan di luar nikah, keduanya harus bertanggung jawab. Tanggung jawab kesiapan tubuh, maupun tanggung jawab kesiapan psikologis.
Pendidikan seks bisa menjawab persoalan di atas, menyangkut konsekuensi hubungan seks, kesadaran akan relasi kuasa, keharusan saling menghormati dalam hubungan seks, dan yang tak kalah penting seks harus dilakukan secara sadar berikut dengan kesepakatan bersama.
Kedua, ia menyebut solusi untuk LSM, menyediakan shelter atau tempat menampung para korban KTD. Tempat penampungan ini harus memenuhi segala kebutuhan korban, terutama kebutuhan untuk menutupi rasa malu. Kemudian diperlukan pula konseling untuk menumbuhkan kembali rasa percaya diri korban, betapa dirinya berharga, dan juga dipersiapkan untuk kembali ke keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, keluarga juga harus disiapkan untuk menerimanya.
Ketiga, solusi negara. Menurutnya, negara juga harus mendukung pemulihan korban KTD. Negara harus memiliki kebijakan (SOP) untuk menangani kasus semacam ini. Misalnya pemulihan pendidikan korban, pemulihan kerja, dan lain-lain. Bahkan, negara bisa bertindak lebih jauh dengan menerapkan affirmative justice, semisal menekan sektor swasta untuk memberikan “jatah” kesempatan kerja bagi korban KTD, seperti di isu disabilitas.
Sayangnya, dalam sebagian besar peristiwa, jika kasus KTD telah selesai secara hukum, maka persoalan KTD pun dianggap telah selesai. “KTD memiliki dampak jangka panjang bagi korban. Negara belum memikirkan kelanjutan pendidikan korban, juga lapangan pekerjaan bagi korban,” ingatnya.
Misalnya kasus W.A, hakim hanya melihat tindakan W.A yang menggugurkan kandungan dan membuang bayi, namun tak melihat psikologis W.A. Bahwa ia adalah korban perkosaan.
Ia mengapresiasi negara-negara maju yang telah memiliki kebijakan untuk menangani KTD, umumnya dengan konseling berbasiskan pro-choice. Korban KTD diberikan kebebasan memilih untuk melanjutkan kehamilannya, atau melakukan termination/ed (aborsi/pengguguran), disertai pengetahuan berbagai konsekuensinya. Apabila korban memilih aborsi, namun tindakan yang sama (KTD) terulang lagi di kemudian hari, maka akan lebih disarankan birth control ke depannya.
Nah, bagaimana praktik di lapangan? Apakah skenario-skenario solusi tadi bisa atau ada peluang dilaksanakan? Gusti Ayu Agung Y. Marhaeni adalah pendamping korban di salah satu unit pemerintah bernama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar. Sejumlah kasus kekerasan terkait yang menarik perhatian masyarakat luas karena jadi headline di media adalah penusukan bayi dan pembuangan bayi.
Beberapa korban bahkan tidak tahu dirinya hamil, tiba-tiba flek dan keluar bayi,” ingat Marhaeni soal latar belakang miskinnya pengetahuan kesehatan reproduksi para korban. Akhirnya, ketidaktahuan dan shock ini lah yang membuat mereka berpikiran sempit, membuang bayinya. Ironisnya banyak perempuan muda yang tak didampingi pasangannya saat melakukan ini. Sementara korban sekaligus pelaku ini pasti menjadi target penangkapan.
Ada yang takut melihat laki-laki, takut dan trauma lihat darah,” lanjutnya. Terlalu banyak kisah memilukan dari kejadian seperti ini.
Sejauh ini penanganan yang dilakukan pada kasus seperti ini adalah memberikan konseling psikologis. Di Bali, ada lembaga yang memberikan pelayanan rumah singgah, sebuah ruang yang sangat penting di tengah tekanan tinggi untuk korban. Dalam situasi seperti ini ada yang harus cuti dari sekolah, sambil menunggu bayi lahir.
Ima, anak muda Bali yang kini kuliah di Jogja menyatakan keheranannya kenapa dalam kasus seperti ini korban malah dilecehkan. Oleh negara, masyarakat, dan lingkungannya. Ia mengaku memilih kebijakan pro-choice, ketika anak perempuan bisa memilih penanganan atas kehamilannya dengan pertimbangan keselamatan dan kesehatan.
Demikian juga Damar, laki-laki muda lain yang berbicara di forum ini. “Saya marah banget, saya mau meledak. Kenapa masih terjadi di masa sekarang?” keluhnya. Ia marah pada diri sendiri juga situasi yang membuat sebayanya masih ada yang buta kesehatan reproduksi dan pendidikan seksualitas.
Rofiqi Hasan, wartawan senior di Bali ini melihat masalahnya sangat mendasar, yakni menilai seks dan seksualitas itu tabu. Padahal ini sesuatu yang alami, kehamilan sesuatu yang wajar, dan harus mendapat layanan kesehatan. “Terlalu bermoral, hanya dilihat dari ukuran itu, jadinya ditutup-tutupi,” urainya. Media menurutnya berperan besar dalam pelanggengan tabu ini karena kerap mengutip narasumber moralis dan politikus yang tak relevan. Akhirnya jadi komoditas, mencari eksistensi dari peristiwa yang membutuhkan penanganan terpadu.
Menelusuri akar masalah?
Dikutip dari BBC.com, pada laporan tahunannya, Komnas Perempuan mencatat ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani selama 2017. Sebagai perbandingan, pada 2016, tercatat ada 259.150 kasus kekerasan.
Namun, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, data ini tidak bisa semata dilihat sebagai adanya peningkatan jumlah kekerasan, melainkan sebagai peningkatan dalam hal pelaporan dan semakin banyaknya korban yang berani melapor atas berbagai kekerasan yang terjadi.
Salah satu yang menonjol atau menjadi sorotan khusus adalah munculnya inses (incest: seks dengan orang tua atau keluarga kandung) sebagai bentuk kekerasan tersendiri yang dilaporkan, dan pelakunya adalah ayah atau paman. Menurut Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang lebih tinggi dibanding 2016, yaitu sebanyak 2.227 kasus (sedangkan tahun 2016, yaitu 1.799 kasus), dan dari kasus kekerasan itu, ada 1.200 kasus incest yang dilaporkan.
Dalam kasus-kasus inses, gambaran pelaku berdasarkan urutan terbanyak termasuk ayah kandung (425 orang), paman (322), ayah tiri (205), kakak kandung (89), dan kakek kandung (58), sementara jumlah terbanyak pelaku seksual di ranah privat, paling banyak dilakukan oleh pacar (1.528 orang) dan suami (192).
Sementara itu, sepanjang 2017, ada lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan ke lembaga pemerintah seperti polisi atau ke lembaga penyedia layanan seperti rumah sakit. Selain itu, ada lebih dari 2.000 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan.
Dalam peringatan Women’s March tahun ini kembali muncul kritik pada sejumlah regulasi yang malah menekankan moralitas. Misalnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pekerja Rumah Tangga, serta Rancangan KUHP yang dinilai bermasalah dengan perluasan pasal soal zina dan larangan distribusi alat kontrasepsi atau pendidikan kesehatan reproduksi.
Penyelesaian masalah jika semata dilihat dari persoalan moral adalah pernikahan. Ini juga salah satu yang mendorong pernikahan anak. Sejumlah penelitian menyebut buruknya dampak pernikahan anak ini.
Sebuah laporan hasil kerja sama antara United Nations Children’s Fund (UNICEF) dengan BPS menyajikan perkawinan usia anak dan keterkaitannya dengan aspek pendidikan dan
tingkat kesejahteraan. Sumber data utama yang digunakan adalah hasil survei yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2008 –2012 dan Sensus Penduduk (SP) 2010.
Laporan ini memberikan lima rekomendasi untuk mencegah stagnasi upaya penurunan pernikahan usia anak. Di antaranya, 1) meningkatkan intervensi untuk perlindungan anak perempuan usia 15-17 tahun, dengan fokus utama penyelesaian sekolah menengah; 2) menangani norma sosial dan budaya yang menerima atau melestarikan praktik terssebut dengan orang tua, guru, keluarga besar,dan tokoh agama. Kemudian 3) menangani kerentanan akibat kemiskinan dengan menciptakan lebih banyak kesempatan bagi anak-anak perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi dan pelatihan keterampilan ekonomi.