Pada beberapa waktu belakangan beranda twitter sempat diisi dengan perdebatan tentang bagaimana seorang sastrawan melakukan tindakan plagiarisme dengan mengakuisisi karya berupa cerpen seorang muridnya dengan mencatut namanya sendiri.
Ini menjadi perdebatan, beberapa penulis lain bahkan menimpali kejadian tersebut dan sangat menyayangkan apa yang dilakukan oleh sastrawan ini, bahkan oleh seorang guru yang harusnya memberi alternatif pemikiran bagi muridnya. Cerpen yang dimuat koran Jawa Pos (6/6/2021) ini pun akhirnya ditarik, Jawa Pos kemudian menguraikan kronologi pengiriman cerpen tersebut dan berikut pernyataan yang dipublikasi melalui twitter Jawa Pos
Apa Itu Plagiarisme?
Lalu apa sih plagiarisme itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menguraikan bahwa plagiarisme adalah kegiatan penjiplakan yang melanggar hak cipta. Apa yang diperbincangkan dalam twitter ini menjadi salah satu tamparan bagi media dalam melihat bagaimana plagiarisme bisa dengan baik bersembunyi, utamanya pada mereka yang memiliki kuasa yang lebih dominan (dalam hal ini karena ia senior).
Saya ingat betul, ketika kuliah saya selalu diajarkan untuk memiliki pemikiran sendiri, dan jangan sekali-kali menjiplak atau meng-copy-paste tulisan orang lain demi keuntungan diri sendiri. Selain bukan karena hadir dari proses berpikir yang mandiri, plagiasi juga merupakan perbuatan yang tidak etis dalam dunia akademik. Itulah mengapa, ketika kita mengutip pernyataan atau pemikiran seseorang dalam tulisan sendiri hendaklah kutipan itu dipertanggungjawabkan entah dalam catatan kaki atau pada daftar pustaka.
Bagi diri saya sendiri, yang gemar menulis dan merasa bahwa publikasi dari tulisan menjadi salah satu pencapaian yang penting memang membuat saya begitu senang jika tulisan berhasil dimuat, apalagi jika tulisan ini dimuat media besar dan dapat menjangkau lebih banyak pembaca. Banyak pembaca yang kemudian dapat menikmati tulisan serta pemikiran kita.
Tetapi dengan kasus di atas, apakah publikasi pada media arus utama menjadi satu-satunya hal paling penting ketika menulis? Bahkan jika apa yang ditulis diakuisisi sebagai bagian dari karya orang lain.
Dalam hal ini apa yang terjadi justru semakin menjustifikasi bahwa dominasi kuasa itu nyata adanya, apalagi dalam hal ini terjadi pada relasi guru dan murid. Namun, permasalahan ini menjadi membingungkan ketika murid merespons masalah ini dengan ucapan terima kasih, seolah apa yang dipublikasi oleh gurunya menjadi baik-baik saja, tanpa melihat ada sebuah permasalahan terkait dengan plagiarisme itu tadi. Hal ini tergambar dari komentar sang murid pada postingan pengakuan gurunya di facebook yang dapat ditinjau melalui link berikut.
Setelah mengamati perdebatan yang muncul di twitter beberapa hari terakhir, setidaknya ada beberapa hal yang dapat saya analisis. Bahwa plagiarisme dalam dunia kepenulisan adalah hal yang paling tidak bisa ditolerir sebab ia mencakup pemikiran seseorang. Saya juga mengamati bagaimana dominasi guru-murid ini menjadi ketimpangan relasi yang justru tersembunyi dan tidak disadari.
Kemapanan yang dihasilkan ini juga membuat saya bertanya mengapa kita selalu terpaku pada media arus utama? Seolah kreativitas dan pemikiran kita hanya berhenti dan terbatas pada sebuah ruang dan media arus utama, yang mana bukan tidak mungkin banyak sekali relasi yang timpang di sana.
Menciptakan Ruang Baru, Membangun Arus Alternatif
Sebagai sesorang yang baru memulai untuk belajar menulis dang menghasilkan tulisan, saya sangat terbantu dengan media-media alternatif yang mau menerima hasil karya saya. Bagi saya media alternatif seperti halnya media jurnalisme warga membuka ruang diskusi baru dan dapat mewadahi pikiran-pikiran yang biasa tenggelam dan sulit untuk masuk dalam media arus utama. Alih-alih berhenti pada problema di atas, saya justru melihat bahwa ke depannya harus lebih banyak lagi tercipta media dan ruang alternatif yang bisa mewadahi pemikiran-pemikiran dan karya baru yang dalam media arus utama sulit sekali ditembus.
Ruang baru tentu dapat diciptakan sendiri, misalnya dengan mempublikasikan tulisan melalui blog pribadi, media alternatif yang sesuai dengan karya kita, mencetak zine sendiri, atau berkolaborasi dengan komunitas alternatif yang mewadahi kegiatan kepenulisan. Meski tak dapat dipungkiri dominasi dari media-media arus utama tentu akan lebih menyulitkan untuk publik secara luas melirik karya kita. Namun, menurut saya karya yang baik akan selalu diingat oleh pembacanya, tidak peduli dari media mana ia dimuat.