Artikel ditulis oleh Helene Ouvrard, diterjemahkan oleh Salsabila Ramadita, dan disunting oleh Suriawati Qiu
Pada suatu Minggu pagi yang sejuk tepatnya tanggal 9 Mei 2021, di sebuah jalan kecil yang dihiasi penjor yang anggun, sekelompok anak kembali dari “perburuan”, membawa kembali harta karun berupa beberapa carik daun ke balai desa.
Pemandangan yang tidak biasa di hari itu merupakan potret dari lokakarya kreatif yang diselenggarakan oleh CushCush Gallery (CCG) sebagai bagian dari program tahunan Charcoal for Children.
Gagasan arsitek Jindee Chua dan partnernya desainer interior Suriawati Qiu, CushCush Gallery dengan cepat memantapkan dirinya sebagai salah satu platform budaya paling aktif di Bali sejak dibuka pada tahun 2016. Diproyeksikan sebagai ruang yang menyatukan semangat keduanya untuk seni, kerajinan, dan desain, galeri ini adalah platform kreativitas dan kolaborasi multidisiplin di jantung kota Denpasar.
Saat pasangan ini mulai bereksperimen dengan kayu daur ulang untuk desain, mereka meluncurkan LagiLagi, yang dalam Bahasa Indonesia berarti berulang kali. Sebuah inisiatif yang fokus pada produksi barang-barang rumah tangga unik dengan memanfaatkan bentuk alami dari kayu daur ulang.
Didorong oleh keyakinan kuat akan pentingnya pendidikan kreatif dan budaya, keduanya selalu berpikir untuk mengembangkan program kreatif untuk anak-anak. Selalu penuh dengan ide dan dengan pendekatan eksperimental langsung dari praktek kreatif mereka, mereka mencari cara untuk memanfaatkan sisa potongan kayu LagiLagi.
Ini kemudian memotivasi mereka untuk membuat program Charcoal for Children, hanya satu tahun setelah galeri dibuka. Sederhana namun cerdik: potongan kayu didaur ulang menjadi charcoal sticks atau arang gambar, yang dapat digunakan anak-anak untuk menggambar selama lokakarya. Program tersebut telah aktif berjalan selama empat tahun, mengeksplorasi berbagai disiplin seni sambil bekerja sama dengan beberapa seniman dan desainer lokal dan internasional.
Biasanya lokakarya berlangsung di galeri CCG di pusat kota Denpasar, namun untuk pertama kalinya, edisi tahun ini berlangsung di luar ibu kota yang ramai, sebagai bentuk respon dari pandemi Covid 19. Meskipun CushCush Gallery sempat menutup pintunya di awal pandemi setahun yang lalu, hal itu tidak menghentikan Jindee dan Suriawati untuk melanjutkan aktivitas mereka.
Sebaliknya, mereka memutuskan untuk menjangkau langsung masyarakat lokal dan menjalankan lokakarya di desa-desa sekitar pulau. Didukung oleh relawan muda, seluruh tim telah merencanakan itinerary perjalanan yang akan membawa mereka hingga ke Negara di Bali Barat dan Buleleng di utara. Desa-desa yang dipilih mencerminkan upaya CushCush Gallery untuk menjangkau berbagai komunitas di pulau Bali. Desa Bali Aga di Penglipuran, Desa Bugis Serangan, dan “desa tuna rungu” di Bengkala merupakan di antara enam lokasi yang akan dikunjungi tim selama beberapa bulan ke depan.
Desa batuan adalah perhentian kedua dalam perjalanan Charcoal for Children 2021, setelah suksesnya lokakarya pertama di Tabanan. Terkenal dengan gaya lukisnya yang ekspresif dan rumit, Desa Batuan merupakan “sarang seniman”, demikian I Wayan Diana selaku kepala desa menjelaskan sambil berseri-seri menyambut kedatangan tim di balai desa. Saat para sukarelawan mulai bersiap, dia sedikit berbagi kisah tentang masa lalu desa yang kaya artistik.
Diakui sebagai warisan budaya tak benda nasional Indonesia sejak tahun 2018, gaya lukisan unik Batuan juga mendapatkan pengakuan internasional, ditampilkan di museum atau sebagai koleksi pribadi di seluruh dunia. Desa ini masih menyimpan prasasti tulis perunggu kuno yang sangat berharga yang di atasnya tertuang prinsip-prinsip dasar dari banyak bentuk kesenian, termasuk gaya lukisannya yang spesifik. Tahun depan, desa tersebut akan merayakan 1000 tahun eksistensi lukisan Batuan mereka.
Budaya dan seni Batuan berkembang berkat dukungan kerajaan dan masih digunakan dalam banyak upacara dan ritual. Desa ini telah melahirkan beberapa seniman ternama seperti I Wayan Bendi dan I Nyoman Kakul, keduanya diakui sebagai maestro lukis kontemporer gaya Batuan.
Sangat jelas bahwa seni dan budaya sangat diperhatikan di Desa Batuan dan berakar dalam pada identitas dan kebanggaannya. Sedemikian rupa sehingga seniman desa menciptakan komunitas lokal bernama “Batur Ulangun”, yang secara harfiah berarti pesona seni Batur, mengacu pada nama desa sebelumnya.
“Kami menawarkan berbagai kegiatan dan kelas seni untuk anak-anak desa di akhir pekan, baik di sekolah maupun di rumah kami sendiri,” jelas seniman Ketut Sedia, pemimpin Batur Ulangun yang dihormati. Baginya dan juga seniman tua lainnya di desa, sangat penting untuk meneruskan pengetahuan dan teknik mereka kepada generasi berikutnya agar warisan Batuan yang kaya tetap hidup.
Sekitar 80 seniman menjadi bagian dari Batur Ulangun dan sekitar 25 di antaranya membuka rumah bagi anak-anak yang tertarik untuk belajar dari mereka. Seniman lokal lain yang menghadiri lokakarya CushCush Gallery adalah I Wayan Malik, seorang pelukis dan instruktur yang dihormati, yang menyambut baik inisiatif penjangkauan galeri. Beberapa muridnya termasuk di antara ke-18 peserta lokakarya Charcoal for Children hari itu.
Tema Charcoal for Children edisi tahun ini, “Tell Me Tales”, berfokus pada seni mendongeng. Lokakarya ini dirancang dengan cerdik untuk membangkitkan kreativitas anak-anak dan membuat mereka menciptakan cerita mereka sendiri melalui permainan yang didasarkan pada penggunaan elemen-elemen keseharian yang mereka kenal dan dapat dengan mudah mereka kaitkan.
Para peserta yakni anak-anak dapat memilih dari berbagai elemen yang ditemukan di sekitar desa mereka, seperti burung, bunga, atau landmark setempat. Setiap anak dapat memilih elemen favorit mereka dan kemudian memainkan permainan dadu di mana elemen-elemen tersebut telah tertempel di setiap sisi dadu.
Menggunakan empat elemen yang muncul secara acak dari lemparan dadu, setiap anak harus merangkai ceritanya sendiri. Permainan ini dikembangkan oleh salah satu dari tiga fasilitator muda, Putu Juli Sastrawan, seorang penulis Bali berbakat yang baru saja menerbitkan novelnya sendiri. Ia bergabung bersama dengan fasilitator multitalenta kedua, “Jong” Santiasa Putra, sutradara, penulis naskah, aktor, dan pemain boneka di Teater Kalangan, salah satu grup teater paling aktif di Bali. Gaya alaminya dan bakat aktingnya benar-benar memukau, membuat anak-anak tertawa terbahak-bahak sepanjang lokakarya karena kejenakaan dan leluconnya.
Pecinta seni yang gemar menemukan bakat seni baru, Jindee dan Suriawati mengenal Irene Febry, fasilitator lokakarya ketiga, setelah menghadiri salah satu pameran di sebuah galeri di Ubud. Berasal dari Bogor, Irene belajar seni rupa di Singapura sebelum akhirnya menetap di Bali. Mengkhususkan diri dalam seni kolase yang menggunakan bahan daur ulang dan benda-benda temuan, ia mencetuskan ide tentang perburuan harta karun benda-benda di sekitar lingkungan anak-anak untuk membantu anak-anak mengilustrasikan cerita dan buku mereka pada lokakarya Charcoal for Children.
Mengikuti jejak para pelukis Batuan jaman dulu yang menggunakan jelaga dan pigmen alam sebagai alat lukisnya, anak-anak bereksperimen dengan arang LagiLagi untuk menggambar ilustrasi guna melengkapi cerita karangan mereka. Tim benar-benar terkesan dengan keterampilan teknis dan imajinasi para peserta meskipun usia mereka masih sangat muda. Menariknya, melihat berbagai gambar yang menjadi hidup, gaya Batuan jelas hadir di tengah kreasi kekanak-kanakan dari anak usia sepuluh tahun.
Meskipun keterampilan artistik anak-anak Batuan sudah sangat maju untuk usia mereka, lokakarya ini memberikan “kesempatan untuk membuka pikiran mereka, berpikir out of the box, untuk mengeksplorasi kreativitas mereka sendiri dengan cara yang sangat konkret dan mempertemukan anak-anak dengan seniman dari latar belakang lain serta teknik dan cara yang tidak terlalu tradisional, ” kata Suriawati dengan penuh keyakinan.
Setelah saling membaca dan mendengarkan cerita, anak-anak dengan senang hati mengambil buku cerita mereka sendiri yang terbuat dari kertas lipat sederhana, sebagai sebuah kenang-kenangan untuk pengalaman yang menyenangkan ini.
Pemberhentian selanjutnya dalam perjalanan ini: Desa Bali Aga Penglipuran.