Siang itu anak-anak muda berdatangan ke ruang pameran Dharma Negara Alaya. Mereka duduk bersama menyimak dengan aktif setiap kata yang disampaikan oleh Gilang Propagila, salah satu seniman zine di Bali. Zine diambil dari kata magazine atau majalah, yaitu media komunikasi yang bentuknya lebih kecil dari majalah, biasanya menggunakan bentuk A5. Zine digunakan untuk mengekspresikan pikiran, isi hati, situasi, maupun menyampaikan informasi.
Pada mulanya, zine tumbuh dan berkembang di kalangan kelompok punk. Saat itu kelompok punk tidak mendapatkan ruang di radio atau ruang di majalah musik, sehingga akhirnya mereka membuat zine untuk media komunikasi. “Anak-anak muda yang dia pengen belajar tentang punk kan bingung, kan nggak dapat informasi mau tahu tentang punk dari mana. Akhirnya dia bikin lah, nanti ada konser di sini, nanti ada kegiatan di sini, atau kayak band baru bikin album, di-review di sini. Nggak kayak sekarang kan,” ungkap Gilang dalam workshop bertajuk “Membuat Zine untuk Kampanye Sosial dan Antikorupsi” yang diselenggarakan oleh ICW dan BaleBengong di Dharma Negara Alaya pada Sabtu, 21 September 2024.
Di era awal internet, jumlah pembuat zine sempat mengalami penurunan. Padahal sebelum adanya internet, zine sangat digemari di berbagai negara, bahkan para seniman zine di berbagai negara melakukan tukar menukar zine atau barter. Beberapa tahun ke belakang pembuat zine kembali ramai karena seniman menganggap bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa disediakan oleh budaya digital. “Contohnya kayak hal-hal fisik. Kadang para pelaku zine menyadari kebutuhan untuk memegang benda fisik. Beda banget sensasi membaca di iPad gitu,” ujar Gilang.
Saat ini zine banyak digunakan sebagai media kampanye karena bebannya yang lebih ringan dibandingkan buku biasa. Selain itu, zine juga lebih fleksibel dan tidak kaku. Gilang menunjukkan beberapa contoh zine yang tersebar di atas meja. Salah satu karya zine terkenal yang ia tunjukkan adalah Terompet Rakyat. Terompet Rakyat adalah manifestasi dari segala keadaan sosial politik dari berbagai dinamika sejarah masa Orde Baru hingga 2002.
Setelah sesi diskusi, peserta workshop diberikan kesempatan untuk mengkreasikan pikiran mereka terhadap isu korupsi di Indonesia melalui zine. Alat dan bahan, seperti kertas, lem, pulpen, spidol, kertas bergambar, gunting, hingga komik dibagikan kepada para peserta. Dengan hening dan penuh konsentrasi mereka menuangkan ide mereka di atas kertas. Di menit-menit awal para peserta ke sana kemari mengambil alat dan bahan, ada juga yang menjelajahi sosial media untuk mencari ide, dan ada yang membolak-balik komik untuk mencari gambar yang tepat.
Peserta mengkreasikan idenya melalui gambar maupun tulisan. Selama satu jam proses penuangan ide itu berlangsung dengan penuh konsentrasi, hingga akhirnya para peserta menyerahkan satu per satu kreasi mereka dan mempresentasikannya di hadapan peserta lain.
Ada satu kesamaan di antara semua karya peserta yang dipresentasikan, yaitu mengungkapkan bobroknya pemerintah dalam menangani kasus korupsi. Beberapa peserta menceritakan pengalamannya ketika menjadi pelaku hingga korban korupsi. Salah satu peserta mengungkapkan bahwa secara tidak sadar ia pernah menjadi pelaku korupsi. Hal itu terjadi ketika dirinya sedang mengurus surat-surat untuk kelengkapan administrasi di perkuliahan. Pada saat itu ia dititipkan uang oleh ibunya sebesar Rp100.000 untuk kemudian diberikan kepada petugas di sana. Ia baru menyadari bahwa hal itu bentuk gratifikasi yang merupakan salah satu jenis korupsi setibanya di rumah.
Peserta lain juga menceritakan kisahnya yang menjadi korban dari praktik korupsi Kampus Merdeka di salah satu perguruan tinggi negeri di Bali. Sebagai mahasiswa tentunya ia tertarik dengan program Kampus Merdeka, salah satunya adalah program riset yang digadang-gadang dapat menggantikan skripsi. Ia pun mengikuti program tersebut hingga menjadi salah satu peserta yang terpilih untuk berangkat ke Jakarta. Naasnya, ia dan timnya ditelantarkan di Jakarta, tanpa ada kejelasan program riset yang akan dilakukan dari pihak kampus. Akibatnya, kampusnya berpotensi di-blacklist oleh Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) karena terindikasi penyelewengan dana Kampus Merdeka.
Selain mengungkapkan kisah nyata dan pengalaman, beberapa peserta juga mengkreasikan unek-uneknya melalui goresan di atas kertas. Sejumlah peserta menuliskan kegelisahan mereka terhadap sistem pemerintahan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama praktik politik dinasti yang saat ini dinormalisasikan. Ada pula yang mengungkapkan bahwa generasi muda tidak boleh diam saja melihat fenomena korupsi di Indonesia yang semakin merajalela.