Teks dan Foto Luh De Suriyani
Tujuh jam sebelumnya Ni Wayan Eka, sebut saja begitu, perempuan muda bergaya maskulin ini siaga mengawasi kompleksnya yang dihuni dua perempuan pekerja seks. Malam minggu itu, adalah hari yang cukup riuh di kawasan transaksi seks Carik, belakang jalan besar Gatot Subroto Tengah, area komersil mewah di Denpasar.
Minggu, sekitar jam 10 pagi, sejumlah perempuan sudah tampak segar kembali. Rambut mereka sudah rapi dengan makeup tebal. Kebanyakan terlihat berusia 30-40an tahun. Mereka duduk di depan kamar-kamar sangat sederhana, bisa disebut kumuh, berukuran seorang dewasa.
Eka memiliki hak mengelola lima kamar, namun saat ini diisi dua pekerja seks. “Persaingan makin tinggi, cewek-cewek (begitu ia menyebut pekerja seks) bisa bekerja di luar kompleks atau janjian di tempat lain,” keluhnya. Beberapa bulan ini, menurut Eka adalah kondisi terburuk untuk bisnisnya.
“Pelanggan seks lebih sering minta main di luar kompleks. Gampang sekali, kan semua cewek punya handphone sekarang,” tambah Eka yang lahir dan tumbuh di kawasan bedeng-bedeng kumuh ini, namun dikelilingi pemukiman mewah warga ini.
Ia menyebut sedikitnya ada 200 perempuan pekerja seks di kompleks ini, dengan 29 cluster atau wilayah pengelolaan oleh masing-masing bos. Eka salah satu dari 29 bos itu. Ada pemimpin bos, yang paling berkuasa mengatur bisnis di sini dan seorang warga lokal Bali. Sementara pekerja seks, seluruhnya berasal dari luar Pulau Bali.
“Tiap hari, masing-masing cluster menyetor Rp 25 ribu ke pemimpin bos, dan upeti bulanan juga. Saya sekarang mulai bingung memenuhi setoran,” ujar Eka.
Eka menyebut kesibukannya di klinik kesehatan menyita waktu dalam mengelola clusternya. Seminggu sekali ia bertugas mengumpulkan cewek untuk cek kesehatan di klinik yang dikelola sebuah yayasan penanggulangan AIDS di Bali.
Aktivitas penting bulan ini menurutnya adalah membuat kesepakatan dengan bos-bos cluster agar bekerja sama mendukung pekerja seksnya tes kesehatan, termasuk tes HIV. “Masih sulit melakukan konseling pada cewek untuk mau tes HIV. Apalagi untuk pelanggannya,” ujar Eka. Karena itu, target tim klinik kesehatan adalah meminta dukungan pemimpin bos.
Di kawasan ini, sudah ada 34 perempuan pekerja seks dengan HIV positif. Mereka masih bekerja, dan Eka mengingatkan untuk rutin memakai kondom. “Ada beberapa perempuan positif HIV yang diketahui teman-temannya lalu memilih pergi dan bekerja di kompleks lain. Ini kan bahaya,” tambahnya.
Mulai tahun ini, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) memfokuskan program penanggulangan AIDS pada transmisi seksual, hetero dan homoseksual. Salah satunya dengan membuat pokja di lokasi transaksi seks.
Yahya Anshori, Kepala Program KPA Bali mengatakan ada 11 kompleks yang teridentifikasi di Denpasar saja. Belum termasuk spot pekerja seks tidak langsung. “Tujuh tahun ini, sero survey untuk pekerja seks langsung prevalensi kasus HIV positif terus meningkat. Terakhir pada 2008, prevalensinya atau tingkat penularannya 18 persen dari 600 sampel,” katanya.
Hingga Februari lalu, kasus HIV terbesar di Bali adalah heteroseksual sebanyak 63 persen atau 1679 kasus.
Sementara penjangkauan laki-laki pelanggan seks masih sulit, hanya 9 persen dari target 25 persen. Target penjangkauan pada 2010 ditingkatkan menjadi 60 persen pada laki-laki pelanggan seks. Estimasi jumlah perempuan pekerja seks langsung dan tak langsung di Bali adalah 8800 orang. Sementara pelanggannya berjumlah sepuluh kali lipat, yakni 88.500.
Dari jumlah itu, diperkirakan sekitar 840 pelanggan seks akan terinfeksi HIV setiap tahun. Jumlah ini didapat dari kalkulasi prevalensi HIV di pekerja seks, probabilitas penularan, jumlah pekerja seks perempuan, jumlah pelanggan, dan jumlah hari kerja per tahun.
“Di dekat kompleks ini, ada kompleks baru yang mulai ramai. Usaha seperti ini tak pernah mati. Saya dan cewek-cewek di sini hidup dari kompleks,” ujar Eka. Namun ia setuju, intervensi kesehatan harus segera diluaskan. [b]
Luh De Suriyani
Contributor/Denpasar
Penanggulangan HIV di Bali Difokuskan pada Transmisi Seksual
Tujuh jam sebelumnya Ni Wayan Eka, sebut saja begitu, perempuan muda bergaya maskulin ini siaga mengawasi kompleksnya yang dihuni dua perempuan pekerja seks. Malam minggu itu, adalah hari yang cukup riuh di kawasan transaksi seks Carik, belakang jalan besar Gatot Subroto Tengah, area komersil mewah di Denpasar.
Minggu, sekitar jam 10 pagi, sejumlah perempuan sudah tampak segar kembali. Rambut mereka sudah rapi dengan makeup tebal. Kebanyakan terlihat berusia 30-40an tahun. Mereka duduk di depan kamar-kamar sangat sederhana, bisa disebut kumuh, berukuran seorang dewasa.
Eka memiliki hak mengelola lima kamar, namun saat ini diisi dua pekerja seks. “Persaingan makin tinggi, cewek-cewek (begitu ia menyebut pekerja seks) bisa bekerja di luar kompleks atau janjian di tempat lain,” keluhnya. Beberapa bulan ini, menurut Eka adalah kondisi terburuk untuk bisnisnya.
“Pelanggan seks lebih sering minta main di luar kompleks. Gampang sekali, kan semua cewek punya handphone sekarang,” tambah Eka yang lahir dan tumbuh di kawasan bedeng-bedeng kumuh ini, namun dikelilingi pemukiman mewah warga ini.
Ia menyebut sedikitnya ada 200 perempuan pekerja seks di kompleks ini, dengan 29 cluster atau wilayah pengelolaan oleh masing-masing bos. Eka salah satu dari 29 bos itu. Ada pemimpin bos, yang paling berkuasa mengatur bisnis di sini dan seorang warga lokal Bali. Sementara pekerja seks, seluruhnya berasal dari luar Pulau Bali.
“Tiap hari, masing-masing cluster menyetor Rp 25 ribu ke pemimpin bos, dan upeti bulanan juga. Saya sekarang mulai bingung memenuhi setoran,” ujar Eka.
Eka menyebut kesibukannya di klinik kesehatan menyita waktu dalam mengelola clusternya. Seminggu sekali ia bertugas mengumpulkan cewek untuk cek kesehatan di klinik yang dikelola sebuah yayasan penanggulangan AIDS di Bali.
Aktivitas penting bulan ini menurutnya adalah membuat kesepakatan dengan bos-bos cluster agar bekerja sama mendukung pekerja seksnya tes kesehatan, termasuk tes HIV. “Masih sulit melakukan konseling pada cewek untuk mau tes HIV. Apalagi untuk pelanggannya,” ujar Eka. Karena itu, target tim klinik kesehatan adalah meminta dukungan pemimpin bos.
Di kawasan ini, sudah ada 34 perempuan pekerja seks dengan HIV positif. Mereka masih bekerja, dan Eka mengingatkan untuk rutin memakai kondom. “Ada beberapa perempuan positif HIV yang diketahui teman-temannya lalu memilih pergi dan bekerja di kompleks lain. Ini kan bahaya,” tambahnya.
Mulai tahun ini, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) memfokuskan program penanggulangan AIDS pada transmisi seksual, hetero dan homoseksual. Salah satunya dengan membuat pokja di lokasi transaksi seks.
Yahya Anshori, Kepala Program KPA Bali mengatakan ada 11 kompleks yang teridentifikasi di Denpasar saja. Belum termasuk spot pekerja seks tidak langsung. “Tujuh tahun ini, sero survey untuk pekerja seks langsung prevalensi kasus HIV positif terus meningkat. Terakhir pada 2008, prevalensinya atau tingkat penularannya 18 persen dari 600 sampel,” katanya.
Hingga Februari lalu, kasus HIV terbesar di Bali adalah heteroseksual sebanyak 63 persen atau 1679 kasus.
Sementara penjangkauan laki-laki pelanggan seks masih sulit, hanya 9 persen dari target 25 persen. Target penjangkauan pada 2010 ditingkatkan menjadi 60 persen pada laki-laki pelanggan seks. Estimasi jumlah perempuan pekerja seks langsung dan tak langsung di Bali adalah 8800 orang. Sementara pelanggannya berjumlah sepuluh kali lipat, yakni 88.500.
Dari jumlah itu, diperkirakan sekitar 840 pelanggan seks akan terinfeksi HIV setiap tahun. Jumlah ini didapat dari kalkulasi prevalensi HIV di pekerja seks, probabilitas penularan, jumlah pekerja seks perempuan, jumlah pelanggan, dan jumlah hari kerja per tahun.
“Di dekat kompleks ini, ada kompleks baru yang mulai ramai. Usaha seperti ini tak pernah mati. Saya dan cewek-cewek disini hidup dari kompleks,” ujar Eka. Namun ia setuju, intervensi kesehatan harus segera diluaskan.
; gw suka posting ini, perkenalkan gw Agus Suhanto