Kalau anak muda Bali sekarang tidak membangun kembali, maka mereka akan jadi generasi penghancur.
Begitu yang saya simpulkan dari omongan Gubernur Bali Made Mangku Pastika Minggu lalu di Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar Minggu pekan lalu. Gubernur satu ini memang selalu bagus kalau ngomong. Dalam istilah jurnalistik, omongannya sering layak kutip. Begitu juga omongan Pastika kali ini.
Tapi, perlu dicatat, bagus di omongan belum tentu bagus di tindakan. Jadi, saya tidak tahu apakah omongan Pastika ini sesuai dengan kebijakan dan tindakannya atau tidak. Saya hanya tertarik untuk menulis dan menyebarluaskan omongannya plus tafsiran saya sendiri.
Menurut Pastika, tiap zaman punya empat generasi, yaitu perintis, pembangun, penikmat, dan penghancur. Perintis adalah mereka yang memulai sesuatu dengan susah payah. Hasil kerja generasi ini kemudian diteruskan oleh generasi pembangun.
Generasi pembangun ini masih bekerja keras agar cita-cita dan kerja generasi sebelumnya bisa terwujud. Mereka bekerja untuk kemudian hasilnya dinikmati generasi selanjutnya, generasi penikmat.
Seperti namanya, generasi penikmat ini memang generasi paling enak di antara dua generasi sebelumnya. Mereka tinggal menikmati hasil kerja keras para perintis dan pembangun. Tak seperti generasi perintis dan pembangun, generasi ini hidupnya relatif lebih enak. Tantangan mereka tentu tak sama dengan kakek dan nenek moyang mereka.
Generasi terakhir adalah generasi penghancur. Generasi ini lahir, menurut Pastika, jika hanya menikmati hasil kerja keras pendahulunya tanpa berusaha membangun kembali apa yang telah dihasilkan tiga generasi penerusnya.
“Jika tak ingin menjadi generasi penghancur, maka anak-anak muda Bali sekarang harus membangun, membangun, dan terus membangun lagi,” ujarnya.
Baiklah. Saya kasih konteks pembicaraan mantan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Bali ini. Pastika menyatakan hal tersebut ketika memberikan sambutan pada peluncuran program Healthy Food Healthy Living (HFHL). Ini merupakan program kampanye pangan sehat oleh VECO Indonesia, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendukung pertanian berkelanjutan. Target program ini adalah anak muda di Solo dan Bali.
Pastika menyampaikan nasihat ini pada anak-anak muda Bali agar tak hanya larut menikmati hasil kerja keras generasi pendahulunya. Menurut saya, nasehat ini berlaku universal. Untuk siapa saja. Tak hanya generasi muda di Bali. Juga tak hanya untuk isu pangan sehat tapi juga isu pembangunan di Bali, terutama pariwisata.
Mari melihatnya ke pariwisata Bali. Sejarah pariwisata Bali dimulai pada awal 1900-an. Era ini merupakan awal lahirnya pariwisata di Bali. Pada zaman ini bule-bule, terutama dari Belanda, mengenalkan Bali sebagai salah satu tempat kunjungan wisata. Inilah generasi para perintis pariwisata Bali. Selain antropolog, pelukis juga salah satu yang rajin mempromosikan Bali sebagai tujuan wisata.
Anak Durhaka
Bali yang semula tak terlalu dikenal sebagai tempat wisata kemudian jadi salah satu tujuan wisata ternama di dunia.
Untuk mendukung pembangunan Bali sebagai tujuan wisata ini, dibuat peraturan maupun fasilitas pariwisata. Sebagai contoh adalah dengan pembangunan Bali Beach Hotel di Sanur pada zaman Soekarno dan kawasan wisata mewah di Nusa Dua pada zaman Soeharto.
Puncak perkembangan pariwisata Bali terjadi pada tahun 1980an. Bali menikmati hasil kerja keras dua generasi sebelumnya, perintis dan pembangun. Salah satu indikatornya adalah tingginya sumbangan sektor ini pada ekonomi Bali.
Nyoman Erawan, ahli ekonomi Universitas Udayana Bali yang kini sudah almarhum, pernah menyatakan bahwa 80 persen ekonomi Bali digerakkan oleh pariwisata.
Lahirlah generasi penikmat pariwisata Bali. Ekonomi makin bagus. Hotel bertambah banyak. Mobil bertambah terus. Anak-anak muda tinggal meneruskan nikmatnya kue pembangunan pariwisata ini.
Di sisi lain, dampak buruk pariwisata, selain juga madu yang yang dihasilkannya, juga mulai terasa. Kemacetan. Urbanisasi. Kerusakan lingkungan. Dan bla bla bla lainnya.
Pariwisata mulai terasa menjadi anak durhaka.
Lalu, bagaimana kita mengantisipasi agar pariwisata tidak semakin berubah jadi drakula? Banyak yang mengusulkan perlunya moratorium pariwisata. Sederhanya, pembangunan semua fasilitas pariwisata ini harus dihentikan untuk sementara.
Toh, nyatanya tingkat hunian hotel semakin terpenuhi. Jadi, kalau sudah terpenuhi, untuk apa lagi hotel terus di bangun. Ini saatnya pemerataan. Dukung daerah-daerah lain di luar Badung dan Denpasar agar juga bisa merasakan enaknya kue pariwisata. Di sisi lain, lahirkan pula sumber ekonomi alternatif selain pariwisata.
Apa saja itu sumber ekonomi alternatif itu? Ekonomi kreatif mungkin bisa jadi salah satunya. Biar Bali tak tergantung semata pada satu sumber ekonomi utama sekaligus biar pariwisata tak menjadi drakula. [b]
Karena pariwisata, warga bali punya uang untuk beli koran, bayar dokter, belanja di supermarket, beli mobil, beli motor, beli rujak, bayar internet untuk baca balebengong. Apa yang dijual oleh pariwisata? tentu saja budaya bali dan alamnya. Kalau budaya memudar, alam rusak, maka pariwisata tidak laku. Pariwisata tidak laku maka dagang rujak bangkrut, hotel bangkrut, tukang website bangkrut, koran gak ada yang beli, dokter gak laku, supermarket sepi. Terus apa yang harus kita lakukan? JAGA BUDAYA DAN ALAM BALI. tapi sayang banyak yang tidak menyadari hal ini. banyak yang tidak menyadari tanpa budaya dan alam bali maka akan susah cari uang di bali. bahkan sampai dagang satepun akan sepi pembeli.haha.. 🙂 soo sumber ekonomi alternatif?