Teks dan Foto Ilustrasi Anton Muhajir
Di titik nol Denpasar, warga kota ini memimpikan ruang publik ramah warga.
Duduk di trotoar, sekitar 30 orang mendiskusikan perlunya ruang publik di Denpasar Kamis malam kemarin. Suara dua pembicara, kartunis Kadek Jango Paramartha dan kolumnis Made Sudira bersaing dengan ratusan kendaraan yang melewati kawasan Catur Muka Denpasar, tempat kegiatan diadakan.
Ketika saya sampai di lokasi, dua pembicara utama sudah selesaikan menyampaikan pikiran masing-masing. Jadi saya tidak bisa menemukan apa yang disampaikan dua pembicara itu. Tapi diskusi masih berlangsung dengan tanya jawab antara peserta dengan dua pembicara itu. Sayang karena suara mereka kalah dengan deru kendaraan lewat di Jalan Gajah Mada itu, saya tidak bisa mendengar apa pun perkataan mereka.
Setelah diskusi resmi selesai, sekitar pukul 9 malam, saya baru bisa tanya ke Saichu Anwar, Pengurus Yayasan Manikaya Kauci (YMK) yang menggagas diskusi tersebut.
Menurut Saichu, yang juga mantan aktivis mahasiswa angkatan 1998 ini, diskusi malam itu adalah awalan untuk menggagas adanya ruang publik yang bersahabat bagi warga. Meski sudah banyak ruang publik di Denpasar seperti alun-alun dan lapangan, menurut Saichu, ruang publik itu belum memenuhi kriteria ruang publik yang ideal.
Mengutip filsuf Jurgen Habermas, Saichu mengatakan bahwa ruang publik yang ideal adalah ruang publik yang tak hanya jadi tempat untuk bertemu tapi juga tempat beriteraksi antara warga dan pejabat. Idealnya, ruang publik itu tempat di mana warga bisa mendiskusikan masalah sehari-hari langsung dengan pejabat pemerintah.
Denpasar sendiri punya beberapa ruang publik seperti itu. Misalnya, Lapangan Puputan Badung, yang juga titik nol Denpasar. Di lapangan di depan Markas Kodam IX Udayana dan rumah jabatan Gubernur Bali ini warga bisa mengadakan kegiatan sehari-hari dari kegiatan pribadi sampai kegiatan bersama. “Tapi kan warga belum memilikinya. Ruang publik seperti Lapangan Puputan Badung masih dikuasai negara,” kata Saichu.
Dia memberikan contoh. Kalau warga Denpasar mau mengadakan kegiatan, misalnya, warga harus minta izin dari Pemerintah Kota Denpasar yang sering kali berbelit-belit urusannya. Itu terjadi karena pemerintah merasa menguasai lapangan tersebut.
Kegiatan yang dilaksanakan pun, tambah Saichu, masih terbatas kegiatan tertentu seperti pertunjukan seni tradisional. Bentuk kesenian kontemporer atau kegiatan selain seni budaya masih sulit mendapat izin.
Ruang publik lain yang bisa digunakan di Denpasar adalah Taman Kota Denpasar di lapangan Lumintang, Denpasar Utara. Lapangan ini sebenarnya bagus. Luas. Tapi belum banyak warga yang menggunakannya untuk keperluan selain olah raga.
Padahal ruang publik seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan apa saja tak hanya olah raga. Paling penting, di sana ada interaksi antara pejabat dengan warga. Jadi tak hanya digunakan saat kampanye ketika pejabat mencari simpati dan mengobral janji pada warga.