
Umanis Galungan jadi pilihan film Janggan untuk diputar pertama kali.
Maka, puluhan orang menonton penayangan film dokumenter tentang layangan tradisional Bali ini di Bioskop Denpasar Cineplex. Film ini memperlihatkan cara pembuatan layangan tradisional Bali.
Ada tiga gedung di bioskop yang menayangkan di premier perdana itu. Sebagian besar adalah undangan seperti pemain-pemain film dan kerabatnya, sekaa layangan Janggan di beberapa banjar, beberapa pejabat Pemerintah Kota, dan lainnya.
Tiket juga bisa dibeli di bioskop atau memesan di janggan.com.
Sesaat sebelum gedung dibuka, penyelenggara premier mengadakan seremonial dan mementaskan tari teatrikal yang menerjemahkan eksotika dan spritualitas layangan Janggan. Menurut panitia, film ini akan ditayangkan sampai 29 Mei.
“Sebuah layangan tradisional di Bali tak hanya soal tradisi tapi juga gotong royong dan kebersamaan,” kata Jaya Negara, Wakil Walikota Denpasar. Ia mengaku melihat sendiri, pembuat atau kelompok penaik layangan bisa lembur beberapa hari sebelum persiapan Festival Layangan tahunan yang bergengsi digelar di Pantai Padanggalak.
Film yang digagas dua warga Banjar Gerenceng, AA Yoka Sara dan AA Ngurah Adhi Ardhana ini memperlihatkan persiapan hampir 6 bulan untuk membuat satu layangan Janggan. Sedikitnya ada 10 nama dan tokoh layangan tradisional yang diwawancara dan muncul dalam film berdurasi hampir 1,5 jam ini.
Bagian proses pembuatan dan ritual yang dijalankan ini diakui jarang didokumentasikan dan diketahui publik. Misalnya I Ketut Arthana, salah seorang pembuat layangan sepuh dari Banjar Gerenceng, Denpasar menyebut konsep awal sebuah layangan bisa dibuat dari sebuah daun Gadung. Sehelai daun lalu diisi ekor dan diselipkan benang lalu ditarik dengan sebuah lidi agar bisa terbang.
Bergaya reportase dari seorang mahasiswi Belanda Petra Moerbeek, film ini mengisahkan dengan runut awal pembuatan layang-layang. Misalnya mencari tahu konsepsinya pada sejumlah orang tua mantan pembuat layangan. Kemudian mencari bahan baku utama yakni pohon Palem Buah untuk kerangka, lalu mencari sejumlah ahli yang membuat bagian-bagiannya secara terpisah.
Dalam film ini misalnya ada Kadek Dwi Armika dari Sanur, yang dikenal sebagai undagi atau ahli pembuat kerangka badan Janggan. “Layangan ini bentuknya seperti penari sedang ngagem, ada bagian kepala, leher, badan, pinggang, dan ekor,” tutur pria muda yang juga penyelenggara Festival Layangan ini.
I Wayan Suarta, pria muda pembuat tapel dan kepala naga yang khas di layangan Janggan memperlihatkan cara menatah dan membuat gelungan dengan ukiran yang detail. Ia mengatakan untuk ukuran sedang harganya sekitar Rp 3 juta.
Ada juga tukang jahit khusus yang cakap menjahit ekor Janggan yang panjangnya bisa sampai lebih 200 meter.
Film ini hendak mendidik warga untuk tak hanya menghargai layangan saat sudah di udara. Tapi juga sejarah, konsep, dan para pembuatnya. Perlu beberapa bulan pembuatan sebelum festival digelar.
Menurut Made Sarya, tokoh pembuat layangan dari Banjar Taensiat, Denpasar konsepsi bentuk awal Janggan adalah Garuda, burung mistis dalam kebudayaan Bali. Ia menunjuk kerangka tubuh Janggan yang serupa burung. Namun karena ditambahkan ekor panjang, tapel lalu bertransformasi menyerupai naga.
Film ini juga berupaya menambahkan konteks masa kini soal makin banyaknya tukang suryak atau supporter sekaa layangan yang kerap membuat marah pengendara jalan. Mereka sengaja mengganti knalpot motor agar bersuara lebih keras saat parade atau memarahi pengendara yang menghalangi rombongan pengangkut layangan.
Sayangnya, suara-suara warga yang mengeluh dan konfrontasi dengan pembawa layangan yang arogan ini tak dimunculkan. Agaknya inisiator film tak ingin terlalu mengupas konflik laten ini.
Film hanya mengutip arsip-arsip berita terkait festival seperti perkelahian antar banjar dan peristiwa kematian seorang anak kena tandukan layangan tahun lalu. Kemudian melalui narasi yang dibacakan Sandrina Malakiano dalam bahasa Inggris berharap warga lebih memberi dukungan pada krativitas dan histeria ini.
Sejumlah narasumber atau kite community membuat testimoni dalam film ini. Agar supporter atau tukang suryak ini tak arogan, dan festival layangan tradisional tak mendapat image buruk.
Gambar-gambar indah dan angle menarik khas Erick Est, sang sutradara memang memanjakan mata. Terutama ketika kamera yang diletakkan di badan Janggan mampu merekam view dari langit dan ekor Janggan yang menari indah. Walau akhirnya Janggan yang dinaikkan sekaa Gerenceng saat festival, scene utama film ini tak berhasil memanen angin.
Tapi mampu memanen semangat. Mendorong pendokumentasi budaya dan tradisi di Bali untuk berkarya dan mengomunikasikannya dalam konteks kontemporer. [b]
saat kamera merekam di badan layangan yg mau mengudara… untuk nak negare yang ndak ada layangan, itu pemandangan yg keren sekali