Bentara Budaya kembali menggelar acara diskusi buku.
Kali ini mengulas topik “Meninjau Muasal Kekerasan Rasial di Indonesia”. Kegiatan pada Minggu, 25 Mei 2014 Pukul 18.30.
Dua buku yang akan dibahas yakni Kekerasan Anti Tionghoa di Indonesia 1996 – 1999 karya Dr. Jemma Purdey dan Setelah Kering Air Mata, kompilasi tulisan mengenai kondisi kelompok masyarakat Tionghoa di Indonesia setelah 1998. Dua doktor dari Universitas Udayana, I Putu Gde Suwitha dan I Nyoman Dhana akan menjadi pembicara dalam program bulanan Bentara Budaya Bali (BBB) di Jalan Prof. Ida Bagus Mantra 88 A, By Pass Ketewel, Gianyar ini.
Diskusi tak hanya hendak membincangkan kekerasan anti Tionghoa pada masa peralihan era Orde Baru ke reformasi, melainkan mencoba menggali akar sejarah kekerasan rasial di Indonesia. “Ini sebagai bentuk refleksi untuk menumbuhkan pemahaman bersama dan kesadaran kebangsaan kita,” ujar staf BBB, Juwitta Lasut.
Setiap peristiwa sejarah tidaklah berdiri sendiri.
Menurut Jemma, tragedi kekerasan rasial 1998 bisa dilacak dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang mulai merebak di Indonesia pada pertengahan 1996. Buku Jemma yang diterbitkan oleh Pustaka Larasan merangkum uraian tersebut berikut aneka penjelasan ikhwal faktor penyebab yang memposisikan etnis Tionghoa (dua persen dari populasi nasional) sebagai minoritas yang secara umum memiliki keunggulan ekonomi dibandingkan mayoritas warga negara Indonesia.
Buku tersebut juga mengkritisi perihal “salah urus” negara dalam mengelola masyarakat yang multi etnis beserta perbedaan-perbedaannya termasuk upaya-upaya untuk mengembangkan sikap toleransi dan solidaritas yang lintas etnis, seraya mendorong upaya perbaikan kehidupan berbangsa yang lebih damai dan rukun di masa depan.
Jemma Purdey berhasil menuliskan hasil studin tentang kekerasan anti-Tionghoa selama periode transisi sosial, politik dan ekonomi serta masa kekacauan di Indonesia. Karyanya dipuji Wang Gungwu, professor emeritus di Australian International University, Canberra. Gungwu menyatakan karya tersebut sebagai sebuah studi sangat mendalam dan seimbang yang mencerminkan tingkat kecendekiawanan tinggi.
Karya Jemma akan dibandingkan dengan buku “Setelah Air Mata Kering” kumpulan dari beberapa makalah hasil seminar “Sesudah Air Mata Kita Kering” yang diadakan di Jakarta pada 3 Mei 2008. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku KOMPAS ini berisi refleksi tentang identitas dan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia, upaya WNI keturunan Tionghoa menyikapi peralihan zaman serta mendulang nasionalisme pasca terjadinya kekerasan rasial. Dimuat pula sejumlah kemajuan dan sumbangsih yang telah diberikan kepada Indonesia setelah 1998.
Buku ini ditulis oleh I. Wibowo, Aimee Dawis, Leo Suryadinata, Abdul Syukur, Agus xSetiadi, Stanley Adi Prasetyo, Agni Malagina, Assa R. Kaboel, dan Nita Madona Sulanti
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada pertengahan Mei 1998 terjadi beragam bentuk kekerasan rasial. Aksi anarki telah merebak di Jakarta, Solo, Medan dan kota-kota lain di Indonesia, ditandai dengan pembakaran aneka bangunan dan properti, terutama milik warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Selama aksi kekerasan massa tersebut, sekitar 1000 pribumi kelompok miskin kota menjadi korban kebakaran, terjebak di pusat-pusat perbelajaan lantaran terdorong untuk menjarah. Di sisi lain, berbagai laporan mencatat, perempuan Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban perkosaan massal di jalan-jalan maupun di rumah kediaman mereka sendiri.
Beberapa tahun kemudian para korban dari kelompok miskin kota, serta warga Tionghoa Indonesia tersebut masih berjuang mencari keadilan dan menuntut kompensasi, sekaligus jaminan keamanan yang lebih nyata di negara yang mereka anggap sebagai rumah dan tanah airnya sendiri.
Dr. I Putu Gede Suwitha, S.U., menamatkan Bakloreat (BA) 1979 di Universitas Udayana, Sarjana S1 tahun 1981 di Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Magister S2 (SU) tahun 1988 di UGM Yogyakarta. Tahun 1991 sebagai Visiting Fellow di Departmen Anthropology, Australia National University, Australia. Artikelnya dalam bidang sosial-kemasyarakatan banyak dimuat dalam jurnal Masyarakat Indonesia (LIPI-Jakarta) sejak tahun 1983.
Berbagai penelitian yang pernah dilakukan, antara lain: (1) Kerja sama Antarumat Beragama di Bali (LIPI tahun 1984-1985); (2) Kehidupan Nelayan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan (Toyota Foundation tahun 1989); (3) Kota Pelabuhan Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Toyota Foundation tahun 1990); (4) Pelayaran Orang-orang Bugis-Makassar di Nusa Tenggara Abad ke-19 (ANU, Canberra tahun 1991); (5) Sejarah Middle Class di Bali (Wollongong University, New South Wales tahun 1995); dan Bali Dari Sisi Lain: Sejarah Perkebunan di Bali 1880–1965 (Denpasar: Cakra Press, 2008).
Suwitha juga menulis bersama-sama dengan kolega di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana dengan judul buku Masyarakat Multikulturalisme Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi (Denpasar: Pustaka Larasan, 2011),Komodifikasi Bali Kontemporer (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), dan Perahu Pinisi di Pesisir Dewata (Denpasar: Pustaka Larasan, 2013). [b]
Menurut saya kekerasan itu bersumber kepada : 1. pemahaman beragama yang salah yang mengakibatkan tidak timbulnya ethos kerja keras, 2. pemahaman sejarah yang nol yang berdampak nasionalisme palsu 3. kegagalan sistem pendidikan untuk membangun pribadi yang memahami harga diri yang sesungguhnya.