Setiap sore bapak-bapak di desa berkumpul di pinggir jalan. Masing-masing lengkap memikul ayam kesayangannya untuk dibombong. Bagian dari kegiatan merawat ayam-ayam jagonya yang disiapkan menjadi petarung.
Begitu pula I Nengah Kinda mengenang aktivitasnya di masa lampau. Di hari tuanya kini, Pan Locong sapaan akrabnya, sesekali merindukan kebiasaannya itu. Sehingga memutuskan kembali memelihara ayam jago. Dulu tujuannya memelihara ayam untuk dipersiapkan menjadi ayam petarung, kini memelihara ayam sebagai teman yang menghibur di usianya yang sudah lansia.
Tak terlepas dari caranya merawat ayam dulu, ia memperlakukan seekor ayam yang ia pelihara seperti merawat ayam petarungnya dulu. Ayam bercorak biying kedas itu memiliki jadwal mandi seminggu sekali. Tetap memberikan jagung sebagai makanannya.
“Kadang sisa makanan bapak, baang ngamah ye masih (kadang sisa makanan bapak, dikasi makan dia juga),” tuturnya.
Ia menceritakan ada beberapa kebiasaan yang dilakukan untuk merawat ayam petarung di rumah. Pertama, ayam petarung wajib mandi rutin. Minimal satu kali seminggu. Kedua, makanannya harus dijaga dan disuplai dengan vitamin. Vitamin yang diberikan biasanya B12 kompleks. Tanda ayam petarung yang lumrah bisa dilihat tak punya jengger. Jengger ayam petarung biasanya dipotong lalu dijadikan makanan ayam itu kembali.
Saya bertanya heran, kenapa jengger itu dijadikan makanannya ayam? Pan Locong menjelaskan singkat agar pembawaan atau karakteristik ayam itu tidak berubah. Menurutnya karakteristik ayam menentukan kemampuannya ketika bertarung.
Selanjutnya, yang rutin harus dilakukan merawat ayam jago yaitu memberikan kesempatan ayam itu nyeker di tanah atau di rumput. “Suud mandus, baang ngekeh di padange pang sehat (selesai mandi, kasi kesempatan menceker di rumput agar sehat),” katanya.
Pan Locong menggarisbawahi untuk ayam jago yang dipersiapkan menjadi petarung/aduan, harus sering dilatih dengan dibombong. Mebombong penting agar ayam terlatih di arena tarung. “Penting mebombong, pang inget ngentungan batis, pang celang mekelid, paling sing maan mebombong abulan cepok (Mebombong itu penting, agar ayam itu ingat cara melempar kaki, agar cekatan menghindari serangan, paling tidak mebombong satu bulan sekali)”.
Berbeda dengan yang ia lakukan, kini Pan Locong memelihara ayam jago hanya untuk hiburan. Sehingga tidak pernah dibombong. Namun, ia lebih rutin mengajak ke rumput agar ayam biying kedas berumur 6 bulan itu tetap sehat.
Dari perlakuan yang dilakukan seperti Pan Locong oleh sebagian orang menjadi lumrah untuk merawat ayam jago. Namun, bagaimana perlakuan tradisional yang sudah menjadi kebiasaan ini dari sisi ilmiah kedokteran hewan?
I Kadek Fendy Lesmana Putra, Dokter Hewan alumnus Institut Pertanian Bogor, mencoba menilai apakah perlakuan tradisional pada hewan. Harus sepakat dulu, apakah pemilik hewan ini menganggap sebagai objek atau makhluk hidup? Dilihat secara moral hal ini tidak bisa disamakan.
Memacu pada UU dan organisasi kehewanan, telah diatur bahwa hewan memiliki hak asasi hewan dan kesejahteraan hewan. Ada lima kebebasan hewan yang diberikan agar hidup hewan itu sejahtera. Lima prinsip kebebasan hewan tersebut terdiri atas bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal sera bebas dari rasa stres dan tertekan.
Namun, Fendy menyebut ada yang berbeda. Untuk perlakuan hewan secara budaya, tidak terikat dalam lima kebebasan kesejahteraan hewan yang diatur dalam UU tersebut.
Beberapa bagian isi UU diterjemahkan Fendy ke dalam perilaku-perilaku hewan yang menjadi kebutuhan alamiahnya. Salah satunya pada keluarga unggas. Ayam kalau beradu dengan kawanannya adalah bagian dari bentuk mengekspresikan diri.
Kalau untuk tajen itu bukan bentuk perkelahian alami. Dalam ayam jantan atau aduan yang memiliki peck order dominan akan mematuk kepala jantan lain sebagai bentuk status “kasta” atau kedudukan tertinggi. Sehingga untuk memperebutkan “kasta” itu sendiri. Sedangkan akan berbeda lagi ketika ayam yang beradu itu dipasangi senjata dan dibiarkan bertarung. Maka dalam pet animal freedom tindakan itu sudah melanggar pet animal freedom satu poin.
Dilihat lagi dari konsep animal use, bagi umat manusia menggunakan hewan dalam pekerjaan itu menjadi sah-sah saja. Seperti digunakan untuk membajak sawah atau memancing. Namun akan berbeda jika tindakan itu dilihat dari konsep animal right. Orang yang meyakini ini, hewan tidak boleh dipelihara, hewan harus hidup bebas. Tetapi prinsip ini jadi tindakan radikal.
Sehingga untuk menyimpulkan apakah perlakuan tradisional pada hewan tersebut melanggar konsep kebebasan hewan. Kita perlu sepakati akan memilih prinsip yang mana. Menurut Fendy, sebagai umat manusia yang tidak bisa lepas dalam keterlibatan hewan, satu konsep animal welfare menjadi jalan tengah. Sehingga dalam perlakuan budaya, beberapa tindakan pun masih dapat diterima. Asalkan mengingat poin yaitu, makan cukup, kalau terluka diobati, diberikan tempat tinggal yang luas.
“Pada unggas dapat kesempatan bisa menceker, dan kawin dengan betina. Itu cukup untuk kualitas hidup hewan khususnya pada ayam jago,” tutur Fendy yang kini membuka praktek dokter hewan panggilan.