Kita tentu tidak bisa membayangkan tahun 2080 seperti bagaimana orang-orang yang dibantai dari tahun 1965 melihat apa yang sebenarnya ingin mereka wariskan dari masa Revolusi untuk hari ini.
Mewarisi utang negara yang lebih sedikit. Hutan lebih lebat. Marwah Undang-undang Pokok Agraria. Pejabat di pemerintahan yang becus. Sumber daya alam tidak menjadi kutukan untuk manusianya. Dunia pendidikan yang membebaskan. Boleh membaca buku apa saja. Hari libur yang lebih banyak. Kantor-kantor memberi hak cuti hamil yang lebih panjang. Kemudian di luar warisan agama dan negara, kita bisa merayakan tanggal merah yang lebih esensial bukan hanya seremonial.
Saya membayangkan beberapa puluh tahun ke depan akan ada semacam mitos. Setiap tanggal 4 Agustus kita akan meninggalkan pekerjaan untuk merayakan Hari Delta Blues Nusantara. Karena di tanggal bulan yang sama di tahun 2014 telah lahir anak ideologis pertama Made Mawut yang kemudian diberi nama Blues Krisis. Album yang mungkin saja seharusnya bernama Blues Nawacita kalau negara ini tidak pernah mempenjarakan orang karena membaca buku dan menggiring anak-anaknya menonton film propaganda jelek dan berdarah-darah.
“Saya belum pernah melihat ada musisi blues di negara ini yang secara lirikal, aransemen musik, dan tentu saja attitude, benar benar membawa iklim blues seperti Made Mawut,” ujar Guna Warma Kupit, musisi dan teman Made Mawut.
Pilihan nama Blues Krisis, bagi saya, selain bagaimana Made ingin merespon warisan negara hari ini juga seperti ingin mengajarkan dirinya bagaimana pikiran manusia dan realitas tidak bisa dipisahkan. Sebisanya antara kenyataan objektif dan kenyataan subjektif tidak berjarak. Tentu yang menentukan itu ialah gerak keduanya.
Makanya, dari proses bersenggama sampai persalianan, Blues Krisis nyaris tidak mengeluarkan biaya uang sama sekali. Tidak juga bergantung pada negara. “Benar-benar album krisis secara finansial,” ungkap Made. Namun, tetap maut secara defakto menurut saya.
“Made Mawut adalah orang yang perfeksionis sebagai musisi. Maksud saya memiliki napas gelisah kasat mata yang panjang. Sering kali karya yang seharusnya sudah terwujud (dalam ukuran saya), tapi masih menjadi sesuatu yang tak terlihat jelas oleh Made karena kegelisahannya yang terlalu berlarut larut,” ungkap Man Angga personel Nosstress yang juga teman dekat Made.
Saya menangkap kegelisahan kasat mata Made yang digambarkan Man Angga seperti berbagai energi yang diwariskan dan hidup di alam keyakinan banyak masyarakat umat sedharma di Bali. Begitu abstrak dan berlarut-larut sehingga untuk mewujudkannya dalam tradisi, sering kali mereka membutuhkan pohon besar yang dilingkari kain motif kotak kotak hitam putih, tugu, pura, topeng rangda, topeng barong atau wujud seram angker lainnya sebagai media.
Angker
Kurang lebih persis kegelisahan Made yang juga kasat mata. Dia meyakini perlu medium yang terlihat angker seperti Mas Dadang di Pohon Tua Creatorium, sebagai tempat di mana kemudian jasad kegelisahan Made dikremasi berkali-kali. Kemudian juga lahir berkali-kali. Maka, album kedua made Merdeka 100% pun lahir di sana.
Album kedua Made itu tepat dilahirkan pada hari kemerdekaan NKRI. Dibandingkan album pertamanya, menurut saya, album kedua ini lebih tentang dialog Made dengan dirinya sendiri. Tentang bagaimana Made nampak berusaha membuat makna kata merdeka untuk dirinya sendiri lebih sungguh-sungguh daripada bagaimana kata itu keluar di akhir pidato ibu Megawati dan kader-kader PDIP. Melalui album keduanya, Made seperti persiapan ingin menyimpan di laci segala bentuk perdebatannya. Bersama masa lalu dan kenyataannya hari ini.
Bagi saya album itu tidak begitu beranjak dari ruang domestiknya sebagai manusia, suami, ayah dan bagian dari masyarakat kelas menengah Nusantara. Semacam Minke di buku Jejak Langkah tetralogi Pram yang ingin lebih mengenal Jawa dan relasi keluarganya. Walau hadir juga cabai kalameno yang menggambarkan pedas manisnya masa lajang Made yang pernah menjamah belahan benua lain.
Ketika pandemi pageblug melucuti kehidupan banyak manusia selama beberapa tahun, Made juga kehilangan beberapa gigsnya. Sebagai seorang musisi dia mengalami “a good man feelin bad”, kalimat yang mewakili blues. Namun, akumulasi daya tarik dan cita rasanya masih bisa bertahan dan mengembara di beberapa bar Canggu dan Denpasar. Yang tidak banyak diketahui orang ialah Made mengembara dengan keadaan bunting mengandung anak ideologisnya yang ketiga.
Pada akhir tahun 2022 cara hidup kita seperti mengamini bahwa pandemi telah berakhir atau minimal bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Semakin banyak para seniman, influencer, akademisi, dan politisi berjabat tangan begitu erat dengan kekuasaan tanpa prokes. Seperti menyatu dalam asa. Semacam ikatan mistis seni teater dan ibu Koster. Di saat yang sama, Made mulai berkemas menuju persalinan untuk melahirkan album ketiganya.
Tepat di bulan Mei tahun ini, beberapa hari setelah Hari Buruh yang sunyi nan usang di Bali, Made akhirnya melahirkan anak ideologis ketiganya, Tradisi. Ini adalah nama album ketiga Made Mawut.
Tentu sebagai masyarakat berbudaya, kita tidak bisa berharap tangisan si Tradisi yang keluar dari rahim seorang musisi buruh pas-pasan seperti Made akan seeksotis potret tentang tradisi Bali yang dilahirkan bangsa kolonial setelah pembantaian perang. Tidak juga seingar bingar tradisi Bali yang sering diceritakan tour guide dan industri pariwisata massal. Atau seadi luhung tradisi berbahasa Bali yang tiba-tiba ingin dilestarikan kakak-kakak skena di masa pandemi Bali melalui beberapa karya. Upaya yang nampaknya hanya seremonial anggaran kebudayaan, lalu setelah itu mereka lupa lagi cara minum wiski dengan berbahasa Bali.
Laba-laba
Ketika membaca tulisan TRADISI di cover album Made, saya menjadi cukup minder dengan kemampuan saya berbahasa Indonesia. Walau sudah bolak-balik menyelam di Google, saya susah memisahkan secara utuh antara makna kata “tradisi” dan “budaya”. Lalu, saya coba bertanya ke beberapa teman sebelum bersiap mendengarkan lagu-lagu Made di album ketiganya.
Degung Santhi Karma, antropolog kelahiran Bali yang kini merantau di Amerika dan sering rindu berbahasa Bali dan mendengar cerita tentang Bali terkini, kebetulan beberapa kali menelpon saya. Di sela obrolan ”kangin kauh”, saya menanyakan apa itu tradisi dan apa bedanya tradisi dengan budaya. Diawali tertawa terkekeh, dengan santai jik Degung mengatakan
“Banyak pemakaian kata di masyarakat kita memang masih sering kacau. Persis dalam pemakaian kata tradisi dan budaya ini. Tapi, tidak baik juga sebenarnya terlalu dipaksakan untuk didefinisikan. Karena justru dengan terjebak dalam mendifinisikan, sering kali kita malah membekukan atau membunuh secara premature kata tersebut. Masalahnya lagi, penguasa yang sering seenaknya mendefinisikan kata itu untuk kepentingan mereka. Salah satunya sebagai alat kontrol. Uahem..” Jik Degung menguap.
Dia lalu melanjutkan. “Mungkin kalau diperhatikan pembeda pada kata tradisi dan budaya ini tentang ruang di mana sesuatu itu hidup. Kata budaya cenderung lebih sering dipakai dan hidup di ruang yang lebih elite dan feodal.”
Sementara Wah Carlos si penunggu Taman Baca Kesiman, seperti menambahkan apa yang dikatakan pamannya.
“Mungkin, budaya adalah wacana yang lebih umum atau luas. Seperti masakan, alat musik dan lain-lain. Kalau tradisi bagi saya lebih ke praktik yang diwariskan. Tapi coba juga ambil dari sudut pandang lain agar tidak buntu di wacana definisi. Seperti bagaimana poskolonial melihat semua tentang ini semu. Sebagai barat melihat timur (exotis gaze). Sama seperti belajar antropologi, tapi sama sekali nggak isi Marxist atau political economy. Ya, bisa dikatakan melihat budaya sebagai sesuatu di ruang kosong yang tidak berhubungan dengan kuasa, kapitalisme dan kuasa patriarki.”
Menurut teman saya Ariel Santikarma, ketika di suatu kesempatan kami mengobrol sampai subuh.
“Sederhananya mungkin, jika manusia itu laba-laba, maka budaya adalah jaringnya. Sering kali laba-laba tidak sadar kalau dia yang membuat pola untuk hidup dengan jaringnya atau melakukan sesuatu yang dibentuk oleh sesuatu yang dia atau pendahulunya bentuk. Kemudian kekuasaan dan industri sering membuat pola itu menjadi sesuatu yang bisa dipegang. Dengan kata lain pola itulah yang bisa disebut sebagai tradisi.”
“Tradisi seperti metode kekuasaan. Kekuasaan ada di mana-mana. Dari ruang keluarga sampai ruang bernegara. Segala sesuatu di dunia ini terlibat dengan kekuasaan. Cara membentuk bagaimana orang melakukan sesuatu dan laku. Mengontrol orang dalam laku juga. Misalnya tradisi dalam Nyepi atau tradisi atas nama parawisata dalam masyarakat Bali. Pada tradisi ada cara mengontrol orang atau masyarakat. tidak selalu yang jelek tapi bisa juga jelek”
Jadi, menurut saya, jika Made adalah seekor laba-laba, maka album Tradisi yang dilahirkan Made adalah suara keresahan dari pengalaman Made tentang kehidupan dalam berbagai pola jaring. Baik pola yang sudah dia tapaki dengan berbagai koreografi maupun pola-pola jaring dari laba-laba lain di sekitar yang sering tarik menarik membentuk arah langkahnya dan juga sesuatu pola ideal yang hidup dalam imajinasinya.
Seperti laba-laba yang memiliki banyak kaki, Made juga hidup dalam berbagai peranan. Itulah yang kemudian bermanifestasi menjadi lagu-lagu dalam album terbaru Made.
Bukaan
Umpama persalinan, bukaan pertama Made ditandai dengan keluarnya lagu dan video klip berjudul Arak Steady. Yang mengejutkan adalah kehadiran Kaka Slank di lagu ini. Kehadiran Kaka saya rasa wujud bagaimana beliau sudah cukup paham bagaimana kekuasaan bekerja.
Dongengnya, penguasa di negeri ini selalu memiliki pegangan dukun untuk landasan kepercayaan diri dalam ruang politiknya. Seperti penguasa itu, Kaka mencari Made dan bersedia terlibat, rasanya lebih dari sekadar hubungan antar sesama musisi. Lebih tepatnya bagaimana Kaka sebagai representasi kekuasaan yang selalu merindukan dukun.
Beberapa tahun silam Arak juga pernah menjadi topik utama di salah satu lagu band Slank. Lagu yang renyah dan gurih di mana arak semacam simbol bagaimana para wisatawan melihat Bali. Puja-puji dan terima kasih atas semua keindahan untuk melepas penat dari ibu kota.
Namun, getaran berbeda dari lagu Made adalah hubungan arak dan kehidupan manusia di Bali terdengar lebih nyata. Arak adalah sebaik-baiknya teman dalam kondisi-kondisi yang tidak ideal. Dalam video klipnya Made juga membawa pesan bagaimana arak itu mengalir dari pohon, melalui keringat asin petani arak, dan kenyataan-kenyataanya mengalir sampai ke mulut mereka yang menengguknya untuk melupakan sejenak kenyataan itu.
Kemudian pada bukaan terakhir sebelum album Tradisi terlahir secara penuh, Made mengeluarkan satu lagu lengkap dengan video klip garapan Hadhi Kusuma dan Baskara. Judulnya Tabir Kelam. Lagu sunyi dan mencekam sehingga dia seperti harus mengajak dua teman baiknya yang paling dipercaya untuk turut mengisinya, Man Angga dan Guna Kupit.
Made mengajak personel Nosstress itu dalam proses persalinan yang bagi seorang ibu adalah proses antara hidup dan mati. “Megantung bok ahkatih”, seperti itu perempuan di Bali sering menggambarkannya.
Tabir Kelam mengambil isu pembantaian tanpa peradilan di tahun 1965-1966. Kejadian yang sesungguhnya berdampak besar pada kehidupan budaya dan tradisi kita sampai hari ini. Isu yang banyak seniman dan kita enggan membicarakan. Atau lebih banyak lagi yang secara tidak sadar menolak untuk tahu.
Lagu ini seperti mengajak kita untuk liburan di pantai, tapi tidak untuk bersantai. Karya Made ini tidak sekadar mengajak kita mempertanyakan narasi tunggal brosur pariwisata, tapi melalui Pantai Masceti yang tidak pernah ada dalam itinerary paket pariwisata Bali. Karya Made seperti mengajak kita pelan-pelan mengusap pasir dan bebatuan. Bersama mereka yang sering berkumpul di sana melawan panas dan hujan mengumpulkan batu untuk dijual.
Tidak berhenti sampai di situ. Seperti kiriman ombak ke tepi yang tidak pernah habis, lagu Tabir Kelam seperti menguasai jemari kita untuk menggali sampai habis kedalaman pasir. Menggali dan terus menggali sampai kita mencium ada bau busuk sejarah yang sengaja disembunyikan lalu dimanipulasi. Dan, sesekali memandang laut yang mungkin sudah menelan beberapa potongan tubuh korban kekejian hingga tak tersisa, tetapi akan selalu membusuk di hati keluarga korban yang ditinggakan di negara yang abai.
Lawar Plek
Jika di album sebelumnya Made seperti menyimpan kegelisahannya di laci untuk coba memaknai kemerdekaan, nampaknya kegelisahan Made akan relasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang tersimpan itu telah bercampur aduk bersama kehidupan elementernya sebagai manusia. Campuran itu kemudian ditumbuhi belukar jamur yang pekat. Jamur-jamur yang memabukkan membuat Made mual hingga muntahannya mengambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap lirik dalam lagu-lagu Made di album tradisi terdengar melebihi kejujuran dan cenderung kurang ajar. Ditambah bakat Made dalam memasak kegelisahan dan rangkaian jamur membuat pengalaman mendengar album Tradisi ini membuat telinga kita seperti disuguhi kejamnya olahan lawar plek dan disejukkan oleh es temu lawak.
Setelah mendengarkan lagu-lagu di album Tradisi saya sarankan kita tidak langsung bercermin. Karena jika bercermin sekalipun dalam keheningan perenungan, kita akan melihat diri kita seperti segumpal laba-laba yang kemudian tidak memiliki pilihan lain selain harus memutar balik melihat ke belakang. Melihat kaki yang menempel pada ujung jaring. Lalu, dengan terang benderang akan melihat rangkaian jaring tersulam terbentang jauh. Isi kepala juga akan riuh mempertanyakan ulang tentang pola-pola jaring yang sudah kita lalui.
Dan yang menyusahkan kemudian pertanyaan itu akan beranak pinak menjadi pertanyaan lain. Seperti, pola jaring mana yang akan kita lanjutkan sebagai patron? Pola jaring seperti apa yang akan kita rencanakan untuk dirangkai bersama ke depan? Pola jaring seperti apa yang bisa kita wariskan sebagai tradisi? Terakhir, punyakah kita keberanian untuk memilih pola mana yang akan kita putuskan alirannya, sehingga jaring tradisi yang sudah tidak relevan dan menjadi beban itu akan menjadi artefak di sudut gelap yang ujungnya kelak akan terombang ambing?
Sebagai musisi yang menyerupai dukun selama perjalanan kariernya, Made memang tidak banyak tampil di panggung yang germelap. Namun, dari sudut yang tidak banyak cahaya, lirik-lirik Made sering kali membuat pendengarnya seperti kerasukan energi yang terlampau dahsyat. Mata kosong terpusat. Kepala riuh berjejal. Membuat banyak lidah kita mendadak kaku untuk menyanyikannya bersama.
Namun, setelah mendengarkan karya Made, saya seperti meyakini itu akan melampaui hitungan-hitungan fisika industri. Lagu-lagu dan alunan musik Made akan menjelma bak mantra, asap menyan dan jampi-jampi yang melesat pelan dan halus ke kepala kekuasaan yang mulai minder dengan pijakannya. Mengalir begitu brutal ke kepala-kepala kita yang tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup.
Dalam sebuah wawancaranya Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan kalau bakat adalah mitos. Jadi, bagi saya, Made Mawut adalah mitos itu. [b]