• Tanya Jawab
  • Mengenal Kami
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Kontributor
    • Log In
    • Register
    • Edit Profile
BaleBengong
Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Mendalam
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Mendalam
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Melali ke Pusat Konservasi Penyu di Serangan

Swastinah Atmodjo by Swastinah Atmodjo
15 June 2008
in Kabar Baru, Lingkungan
1

Belajar dan melestarikan penyu di TCEC.

Pelepasan penyu maupun tukik (anak penyu) di berbagai pantai di Bali akhir-akhir ini cukup sering dilakukan, sebagai penanda kegiatan bertema perdamaian. Bahkan di sejumlah tempat telah dikembangkan menjadi atraksi pariwisata.

Salah satu penyedia penyu hidup untuk keperluan tersebut adalah Turtle Conservation and Education Centre (TCEC), Serangan, sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Denpasar. Setiap penyu bisa diperoleh dengan donasi tertentu, yang jumlahnya tergantung usia. Satu tukik berusia satu (1) bulan donasinya Rp 50.000 per-ekor, usia 1 tahun antara Rp 400.000 – 500.000.

TCEC Serangan, diantaranya telah menyediakan ratusan penyu untuk dilepas saat pembukaan Kuta Karnival, ulang tahun Kota Denpasar, serta kegiatan institusi atau perusahaan lain misalnya perhotelan di kawasan pantai Nusa Dua maupun Kuta.

Selain untuk dilepas, kata Pengelola TCEC Serangan Wayan Sukara, sejumlah masyarakat berniat membeli penyu sebagai pelengkap keperluan upacara keagamaan. Namun yang bersangkutan wajib menunjukkan surat rekomendasi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, bahwa benar akan dipergunakan untuk upacara. Sebab, hanya beberapa jenis upacara besar membutuhkan hewan, termasuk penyu, misalnya Pedudusan Agung dan Macaru. Selain itu, diharuskan memperoleh persetujuan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Menurut Sukara, hal tersebut untuk mencegah pembunuhan penyu yang beberapa tahun lalu cukup marak di Bali. ”Alasannya untuk upacara, padahal hanya dimakan,” kata Sukara kesal. Pria yang sempat bekerja di World Wild Foundation (WWF) Bali ini menambahkan, kebutuhan penyu untuk upacara di seluruh Bali sekitar 110 ekor saja, setiap tahunnya. ”Ini berdasarkan perhitungan PHDI,” cetusnya. Sesuai dengan kesepakatan (bisama) PHDI, penyu yang dipilih adalah masih tukik dengan ukuran sekitar 40 cm. Selain itu tidak diperbolehkan mengambil penyu, langsung dari alam.

Jadi, tegas Sukara, TCEC Serangan tidak mengarah pada penjualan. Tapi berusaha mengubah citra Bali yang dulunya sebagai salah satu sentra perdagangan dan pembantaian penyu, menjadi pusat konservasi. Juga mengembalikan kenangan masa lalu Serangan, yang di sepanjang pantainya menjadi tempat pilihan penyu untuk bertelur.

TCEC Serangan berdiri 2004 lalu, bersamaan dengan TCEC di Tanjung Benoa, Nusa Dua. Keduanya terwujud berkat fasilitasi dari WWF. Dipilihnya Serangan karena sangat dekat dengan pusat aktivitas pariwisata serta sejarah masa lalu yaitu sebagai pintu masuk perdagangan penyu. ”Tentu dengan paradigma yang kita ubah, bukan lagi perdagangan penyu untuk dikonsumsi melainkan konservasi berkelanjutan. Pun bukan perdagangan yang ditonjolkan, dalam rangka meraih keuntungan materi.”

Ditegaskan Sukara, terdapat empat asas manfaat dari TCEC yaitu edukasi, ekologi (konservasi), sosial budaya (terkait dengan upacara keagamaan), serta ekonomi. Tempat ini terbuka bagi umum, termasuk wisatawan. Dalam sebulan rata-rata 200 turis asing mengunjungi TCEC Serangan.

Kegiatan utamanya adalah penetasan dan pemeliharaan penyu hingga usia maksimal 2 tahun, kemudian pelepasan ke alam. Telur penyu yang ditetaskan antara lain dari pencarian ke pantai-pantai di Bali maupun suplai BKSDA. Namun tidak semua telur yang ditemukan di alam, langsung dibawa ke TCEC Serangan.

Kata Sukara, ”Hanya telur yang dalam ancaman saja boleh dibawa kesini, misalnya karena terkena air pasang, kurang aman dari tindak pencurian, serta tidak adanya warga yang membantu pengawasan. Begitu warga setempat sanggup membantu, telur tetap dibiarkan di alam, kami sebatas memindahkannya ke tempat lebih aman.”

Telur yang terkumpul oleh staf TCEC Serangan ditempatkan ke lubang pasir dengan kedalaman 60 cm, lalu ditimbun. Bila musim panas atau suhu alam hangat, telur-telur menetas setelah 40 – 45 hari, didominasi jenis betina. Sedangkan ketika hawa dingin, masa penetasan hingga 60 hari dan sebagian besar terlahir menjadi penyu jantan.

Anak penyu (tukik) dibiarkan dulu sampai tali pusarnya kering, baru dimasukkan ke bak penampungan. Saat sekarang, TCEC Serangan mempunyai 10 bak sebagai tempat pembesaran tukik maupun menampung penyu-penyu yang terdampar di alam karena sakit. Penempatannya dibedakan dengan usia dan kondisi penyu. Untuk operasional TCEC ini, diperlukan dana minimal Rp 100 juta per tahun, diantaranya guna penyediaan makanan yang berupa ikan serta rumput laut, gaji delapan (8) staf, operasional lapangan, perkantoran, dan sebagainya. [b]

Share this:

  • Twitter
  • Facebook
Tags: LingkunganSerangan
ShareTweetSendSend
Swastinah Atmodjo

Swastinah Atmodjo

Swastinah Atmodjo. Menulis lepas untuk The Jakarta Post dan pernah bekerja sebagai wartawan tetap di majalah Trust, majalah wanita Lisa, majalah Elite, harian Nusa, dan beberapa media lain. Sekarang jadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar dan tinggal di Sanglah, Denpasar Barat.

Related Posts

Kilas Balik Gerakan Tanam Saja Sepanjang 2020

Kilas Balik Gerakan Tanam Saja Sepanjang 2020

2 January 2021
Berwisata Energi Terabaikan dan Terbarukan ke Nusa Penida

Berwisata Energi Terabaikan dan Terbarukan ke Nusa Penida

8 December 2020
FRONTIER dan WALHI Usul Lokasi Pusat Kebudayaan Terpadu Dipindah

FRONTIER dan WALHI Usul Lokasi Pusat Kebudayaan Terpadu Dipindah

4 December 2020
Menggunakan Kesenian untuk Mengatasi Krisis Lingkungan

Menggunakan Kesenian untuk Mengatasi Krisis Lingkungan

1 December 2020
Perempuan yang Melawan dalam Film Tanah Ibu Kami

Perempuan yang Melawan dalam Film Tanah Ibu Kami

7 November 2020
Omnibus Law: Upaya Sentralisasi yang Mengancam Lingkungan

Omnibus Law: Upaya Sentralisasi yang Mengancam Lingkungan

22 October 2020
Next Post

SINDO Bali Tutup, Enam Wartawan Dipecat

Komentar 1

  1. Avatar Fammy says:
    11 years ago

    Menurutku sih,, knp yah qta sebagai manusia tdk bisa hidup sight by sight dengan makhluk hidup lain. Bukannya men-judge manusia itu tdk baik,, tapi memang terkadang manusia tidak memiliki rasa kemanusiaan, apalagi perlakuan manusia terhadap alam dan seluruh isinya.

    Apalagi kura”,, kenapa yah tega banget manusia makan makhluk yg lucu kya’ gt. Kapan yah Bumi Indonesia (darat, laut, udara) bisa asri seperti dulu lg,,

    Seperti yg tergambar d video clip lgu Michael Jackson (Earth Song).Apalagi yg liriknya pas “What about the Sea, What about the crying whale.. ” Tidak menutup kemungkinan, nantinya Bumi Indonesia akan mengalami hal seperti itu.

    Save the earth. Earth is the only place where we(human)can life. Pease.. !!!

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

AJW 2020
  • Terpopuler
  • Komentar
  • Terbaru
Berhitung Angka Dalam Bahasa Bali

Berhitung Angka Dalam Bahasa Bali

5 June 2013
Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

24 January 2021
Mendayung Generasi Nyegara Gunung

Lirik Lagu Anak-Anak (Gending Rare) Daerah Bali

12 October 2010
Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali

Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali

4 June 2012
Begini Lho Cara Minum Wine yang Benar

Begini Lho Cara Minum Wine yang Benar

23 February 2018
Kenapa Kita Harus Tidur? Inilah Jawabannya

Kenapa Kita Harus Tidur? Inilah Jawabannya

1

Profil Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah

11
FRONTIER dan WALHI Usul Lokasi Pusat Kebudayaan Terpadu Dipindah

FRONTIER dan WALHI Usul Lokasi Pusat Kebudayaan Terpadu Dipindah

1

Korban Kekerasan Anak dan Perempuan di Bali Terus Bertambah

1
Turut Prihatin dengan Logika Penulis Seword

Turut Prihatin dengan Logika Penulis Seword

11
Jargon Kontroversial soal Bali Wisata Halal

Jargon Kontroversial soal Bali Wisata Halal

25 January 2021
Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

24 January 2021
Menjamurnya Tukang Parkir di Tengah Pandemi

Menjamurnya Tukang Parkir di Tengah Pandemi

23 January 2021
Jakarta Sebelum Pagi:  Ajaran tentang Kehangatan Cinta

Jakarta Sebelum Pagi: Ajaran tentang Kehangatan Cinta

21 January 2021
Cerita Pandemi dari Lovina yang Sunyi

Cerita Pandemi dari Lovina yang Sunyi

20 January 2021

Kabar Terbaru

Jargon Kontroversial soal Bali Wisata Halal

Jargon Kontroversial soal Bali Wisata Halal

25 January 2021
Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

Sesungguhnya, Tak Semua Pasien WNA sesuai Citranya

24 January 2021
Menjamurnya Tukang Parkir di Tengah Pandemi

Menjamurnya Tukang Parkir di Tengah Pandemi

23 January 2021
Jakarta Sebelum Pagi:  Ajaran tentang Kehangatan Cinta

Jakarta Sebelum Pagi: Ajaran tentang Kehangatan Cinta

21 January 2021
BaleBengong

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Informasi Tambahan

  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Peringatan
  • Panduan Logo
  • Bagi Beritamu!

Temukan Kami

No Result
View All Result

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com