Rumah Durpa Adnyana di tepi hutan Desa Tenganan Pegringsingan.
Ia bukan warga asli Tenganan. Statusnya warga penggarap tegalan. Namun, namanya tersohor karena terampil budidaya madu hutan. Dia juga cakap mengedukasi turis yang mendatangi rumah sederhananya.
Tak sulit menemukan rumahnya di Desa Tenganan. Tinggal bertanya di depan pintu masuk desa yang masuk Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini.
Jalanlah sampai ujung utara desa. Di sebuah gerbang penanda berakhirnya pemukiman warga Tenganan, terlihat hijaunya hutan. Sekitar lima menit berjalan, sudah menemukan beberapa rumah lebah digantung di pohon. Ini memandu menuju papan nama depan rumahnya.
Durpa, petani muda 33 tahun, menyajikan teh campur madu yang dia ramu sendiri. Dua cangkir teh ini lalu tandas sebelum dingin.
Belasan turis asing yang membuat testimoni menyenangkan usai jalan-jalan di tengah hutan Desa Tenganan Pegringsingan tertempel di tembok dan pondokan bambunya. Barangkali semuanya pernah menyesap teh dicampur madu hutan ini juga.
Durpa salah satu penyakap (buruh kebun) yang berdampingan dengan kawasan hutan desa kuno ini. Ia dan warga lain punya kewajiban menjaga kelestarian hutan. Ada peraturan tertulis maupun lisan tentang perlindungannya. Misalnya larangan keras menebang pohon dan berburu.
Desa Adat Tenganan Pegringsingan telah memiliki aturan adat tertulis (awig-awig) untuk menjaga dan memperkuat agar hutan tetap lestari sebelum negara ini ada. Bunyi awig-awig itu antara lain yang dimaksud hutan adalah tanah di luar permukiman yang merupakan tanah perbukitan sekeliling wilayah desa adat Tenganan Pegringsingan.
Awig-awig juga melarang penjualan atau alih kepemilikan lahan kepada orang lain di luar desa adat. Lahan harus tetap dijaga dan penebangan pohon boleh dilakukan kalau sudah tua atau mati atas izin desa adat.
Adaptasi
Selaras dengan upaya perlindungan hutan desa, Durpa mengadaptasi kesepakatan ini. Salah satunya dengan budidaya lebah madu secara terbatas. Ia menggantungkan wadah-wadah bambu bulat panjang sebagai rumah koloni di pepohonan dan dalam rumahnya.
“Kalau ada 6 bongkahan berisi madu, hanya 2 yang saya ambil. Kalau diambil semua, kita tidak berperasaan namanya sama lebah,” cerita ayah dua anak ini.
Ia meyakini, lebah memberikan manfaat untuk manusia namun tak boleh rakus mengambil semuanya. Karena itu ia tak takut lebah akan meninggalkan hutan tempat tinggalnya.
Lebah-lebah ini juga datang tanpa diudang khusus. “Ketika saya membeli sanggah, mereka membuat rumah di salah satu tugu,” ceritanya.
Ada dua jenis koloni yang datang dan menghasilkan jenis madu beda rasa. Pertama, lebah madu bunga manga yang menghasilkan madu dominan manis yang segar. Kedua, lebah Kele yang ukurannya kecil seperti semut hitam dan menghasilkan madu dengan dominan rasa asam.
“Madu Kele ini diyakini ampuh mengobati banyak penyakit sehingga diburu balian (seperti dukun tradisional),” jelas Durpa.
Sejalan dengan khasiatnya, masa panen juga lebih lama sekitar enam bulan sekali. Sementara lebah madu mangga panen sekitar dua bulan sekali.
Tiap panen, ia mengolah sekitar 60 bongkah sarang lebah untuk diperas madunya. Hasilnya hanya sekitar 1 liter dengan harga Rp 400 ribu. Artinya, tiap bulan Durpa hanya mendapat penghasilan kurang dari Rp 500 ribu. Jauh dari ukuran hidup layak.
Namun hal ini tak ingin mendorongnya untuk mengeksplotasi satwa liar dan hutan desa yang mengelilinginya.
“Saya dapat tambahan dari jual sarangnya setelah diperas madunya. Laris sekali seperti daging babi. Dipakai obat rematik atau untuk sayur,” urainya.
Asri
Hutan Desa Adat Tenganan Pegringsingan terlihat masih asri. Aneka jenis pepohonan dan buah yang sangat berguna untuk bahan upacara adat mudah dijumpai. Para turis asing yang menikmati arsitektur dan tata ruang desa unik ini sebagian gemar trekking di hutan. Salah satu pemandu lokalnya adalah Durpa.
Di rumah Durpa juga ada etalase kerajinan ate yang dibuat bapaknya, Komang Kari. Kari memajang puluhan hasil karya tangannya menganyam akar pohon Ate menjadi mangkok, wadah tisu, tas, alas piring makan, dan lainnya. Terlihat rapi dan artistik.
Karyanya dijejer di sebuah bale sederhana. Pengunjung juga bisa belajar menganyam dengan Kari. Dengan senang hati ia menunjukkan bagaimana akar ini berubah bentuk setelah dijalin dengan telaten. Sangat lama prosesnya sehingga kerajinan ini bernilai cukup mahal di pasaran.
Kerajinan ate mudah ditemukan di artshop atau warung di desa Tenganan. Pengerajin ate juga tersebar di beberapa desa tetangganya seperti Sengkidu dan Ngis.
Selain ate, juga banyak warga Tenganan melukis atau menulis aksara di daun lontar. Salah satunya kisah-kisah pewayangan tentang Dewata Nawa Sanga.
Warga Tenganan Pegringsingan meyakini desanya merupakan hadiah yang diberikan Dewa Indra. Karena itu menganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa Indra sebagai dewa perang mempengaruhi struktur permukiman desa terkait dengan pertahanan diri. Strukturnya dinamakan “jaga satru”’ artinya waspada terhadap musuh, dilindungi benteng dengan empat pintu di setiap mata angin. Salah satu ritualnya paling terkenal adalah Mekare-kare atau Perang Pandan.
Sebelum pulang, Durpa membekali sebuah kartu nama indah berisi foto-foto madu dan lebahnya. “Saya dibuatkan turis, dikirimkan dua kardus kartu nama dari turis yang pernah ke sini,” katanya girang. [b]
Punya nomor kontaknya bapa Durpa gak?