Ajakan boikot Bali menjadi diskusi seru di Facebook.
Ajakan itu ditulis di halaman Facebook (page) The Australian Sex Party pada 12 Februari 2015. Ada ilustrasi lima orang menggunakan tutup mata berisi tulisan besar di bagian depan dengan huruf kapital semua, BOYCOTT BALI.
“We are calling on all Australian citizens who might be planning a holiday or a visit to Bali or anywhere in Indonesia to choose another tropical destination.” Begitu ajakan Fiona Patten, pemimpin Partai Seks Australia, di halaman tersebut.
Setelah dua hari ditulis, ajakan tersebut menuai banyak reaksi dari pengguna Facebook. Hingga pukul 14.30 Wita Minggu kemarin, status tersebut disukai 1.944 pengguna, dibagi 612 kali, dan mendapat hampir 1.800 komentar.
Komentar masih terus bertambah. Begitu pula mereka yang menyukai dan membagi status tersebut.
Sekilas saya lihat sebagian besar pengguna Facebook menolak ajakan tersebut. Pengguna bernama Michael Obrien, misalnya, menyatakan tidak akan membatalkan rencana perjalannya ke Bali.
Steve Glasson, warga Australia lainnya, malah mempertanyakan motif ajakan Partai Seks Australia tersebut. “Kalian serius atau hanya mencari suara? Mereka memang pelaku kriminal. Mereka telah diadili oleh sistem peradilan Indonesia,” tulis Glasson di bagian komentar status tersebut.
Mengacu ke websitenya, Partai Seks Australia mengeluarkan ajakan tersebut terkait rencana eksekusi mati dua warga Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Kedua warga Australia tersebut divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 2006. Mereka terbukti membawa 8,3 kg heroin dari Bali hendak menuju Australia pada 2005.
Hari-hari ini, mereka akan segera dieksekusi. Kabar yang beredar, Andrew dan Myuran segera dipindahkan ke Nusa Kambangan, pulau tempat untuk mengeksekusi keduanya. Karena itulah Partai Seks Australia mengajak warganya agar tidak berwisata ke Indonesia dan Bali sebagai bentuk protes.
Terbelah
Ajakan boikot terhadap Indonesia, termasuk Bali, tak cuma datang dari Partai Seks Australia. Ancaman serupa datang dari pemerintah Australia. Media Australia Sydney Morning Herald (SMH) menulis peringatan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop tentang kemungkinan boikot tersebut. Dia mengatakan situasi saat ini telah menciptakan ketegangan antara Australia dan Indonesia sebagai tetangga.
Bishop memperingatkan bahwa warga Australia mungkin akan memboikot pariwisata ke Indonesia jika eksekusi tetap dilaksanakan.
Perdana Menteri Australia Tony Abbot juga mengatakan hal sama dengan Menlunya. Dia meminta agar hukuman mati terhadap Andrew dan Myuran dibatalkan. “Apa yang kami minta serupa dengan apa yang diminta Indonesia jika warganya mau dihukum mati,” kata Abbot.
Di luar urusan para elite politik, warga Australia juga menggalang petisi agar pemerintah Indonesia membatalkan eksekusi tersebut. Petisi yang digalang Mercy Campaign tersebut telah ditandatangani lebih dari 76.000 orang.
Jelaslah sudah. Rencana eksekusi dua warga negara Kanguru itu memang telah memicu penolakan dari warga Australia. Termasuk di dalamnya adalah boikot terhadap pariwisata ke Indonesia, termasuk Bali.
Rudolf Dethu, warga Bali yang punya istri orang Australia, menilai wajar jika ada boikot dari Australia. “Mereka menganggap kita bangsa barbar karena masih menerapkan hukuman mati,” kata Dethu.
“Sekarang tergantung pintar-pintarnya kita saja berdiplomasi ke orang-orang Australia. Misalnya lewat pemberian pemahaman bahwa keputusan pemerintah tak serta merta mencerminkan sudut pandang masyarakat secara umum, dalam konteks ini orang Bali,” Dethu menambahkan.
Agung Wardana, warga Bali yang sedang kuliah di Australia menyatakan penolakan itu memang kuat di Australia. Kandidat doktor hukum salah satu kampus di Perth ini mengatakan bahwa sebagian besar warga yang dia temui menolak rencana eksekusi tersebut. Australia sudah menghapus hukuman mati sejak lahirnya UU Penghapusan Hukuman Mati 1973.
“Sebagai negara yang sudah menghapus hukuman mati, pemerintah Australia hanya menjalan tugasnya untuk menentang hukuman mati,” kata Agung saat saya hubungi lewat Twitter.
Meskipun demikian, menurut Agung, ajakan boikot terhadap Bali memang tak akan efektif di Australia. Dia mengatakan sikap warga Aussie terhadap boikot itu terbelah, tergantung latar belakang sosial mereka. Bagi mereka yang punya duit banyak, bisa saja mendukung boikot karena mereka punya pilihan lain.
“Tapi bagi yang tidak punya pilihan lain tentu akan menolak. Bali masih jadi tujuan wisata paling murah dan dekat,” ujar Agung.
Mesra
Pernyataan Agung bisa jadi benar. Beberapa data memang menunjukkan Bali dan Australia ini punya hubungan mesra terutama di banyak bidang. Salah satunya tentu saja pariwisata yang menjadi alasan utama bagi warga Australia untuk berkunjung ke Bali.
Mari lihat data dari pihak Australia dulu. Menurut data lembaga Tourism Research Australian, Indonesia masih jadi tujuan paling favorit bagi warga negara Australia. Data per September 2013 lalu menunjukkan sebanyak 801 warga Australia datang ke Indonesia untuk berwisata (669 orang) serta untuk bisnis atau bertemu teman dan keluarga (132).
Dari total jumlah 801 orang, angka tersebut memang masih kalah dibanding Selandia Baru, tetangga dekat mereka, sebanyak 1.022 orang pada masa yang sama. Namun, hanya 479 orang yang benar-benar berwisata dan 523 untuk keperluan keluarga.
Persis di atas Indonesia adalah Amerika Serikat, termasuk Hawai, dengan 847 orang. Namun yang untuk berwisata hanya 556 orang sedangkan untuk urusan keluarga atau teman 291 orang.
Artinya, Indonesia memang masih jadi tujuan wisata paling besar bagi warga negara Australia.
Data dari Lembaga Riset Pariwisata Australia sejalan dengan data dari Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Bali. Hingga Desember 2014 lalu, turis dari Australia masih yang terbanyak dengan 991.923 turis dari total 3,7 juta turis asing di Bali.
Dengan jumlah sekitar 26 persen, turis Australia adalah yang tertinggi di Bali. Di bawahnya baru ada China dengan 586.300 turis atau 15 persen dan dari Jepang dengan 217.402 turis atau 5,8 persen.
Berulah
Sebagai turis dengan jumlah paling banyak, pelancong dari Australia juga terkenal paling suka berulah. Ada stereotip terhadap turis-turis dari Australia di Bali.
Musim paling terkenal adalah pada musim liburan sekolah Australia, sekitar November. Pada bulan ini, abege-abege yang dikenal dengan nama Schoolies akan menyerbu Kuta, Bali untuk pesta perpisahan ala siswa Indonesia.
Bedanya, selama di Bali mereka seolah bebas melanggar hukum. Misalnya berkeliaran di jalan tanpa baju, membawa bir sepanjang jalan meskipun masih di bawah 21 tahun, atau bahkan menggunakan narkoba.
Bagi pelaku pariwisata di Kuta, turis-turis dari Australia terkenal dengan ulah bengalnya. Kejadian terakhir pada Desember 2014 lalu. Dua turis Australia, Timothy O’Hehir dan Scott O’Hehir, dihajar warga Kuta karena mengencingi Pura dengan sengaja. Kasus tersebut berakhir damai setelah sempat dibawa ke polisi.
Desak Dewi, pengusaha wisata di Kuta mengatakan citra turis Australia di Kuta memang tidak bagus. “Not all of them, sebagian besar suka bikin rusuh juga ya dengan naik motor ugal-ugalan,” kata pemilik usaha perjalanan yang berpusat di Jalan Legian, Kuta ini.
“Kalau malam, (kami) kebagian juga turis teriak-teriak mabuk sebelum dan sesudah pesta di night club,” lanjutnya.
Didi Suprapta, pengusaha travel lain di Bali, mengaku pernah sampai berantem dengan turis dari Australia. “Kami papasan di tikungan. Dia ambil haluan hampir keserempet mobilku. Dia ngacung jari tengah lalu maki-maki bilang f*ck. Aku berhenti turun dari mobil. Debat. Aku mau foto dia malah kabur,” Didi bercerita.
Menurut Didi, turis Australia di Bali memang terkenal arogan. “Mereka tuh yang biasa berkendara sambil mabuk,” ujarnya. “I want to kick them out from Bali before they boycott their people to go to Bali,” Didi menambahkan.
Tapi, jika itu terjadi, Bali jelas rugi. Satu juta turis dari Australia tiap tahun jelas sangat besar pengaruhnya bagi Bali. [b]