Seni itu harus terhubung dengan ilmu alam dan sosial.
Sejak pertama kali berkunjung ke Taman Baca Kesiman pada pertengahan Oktober 2018, saya mendapat informasi mengenai tempat tempat yang sering mengadakan pameran seni. Mulai saat itu saya sering hadir di acara tersebut.
Saya memiliki kesempatan berdialog dengan seniman dan pengunjung. Saya pun mendapat inspirasi untuk menulis blog dan esai dari karya seni tersebut. Saya berterima kasih pada para seniman yang memiliki kepekaan pada gejala sosial dan ekologi di Bali dan Indonesia.
Paling Berkesan
Dari pameran seni yang saya kunjungi, ada lima tema yang meninggalkan kesan mendalam. Pertama Utusan Sosial dan Bali Mega Rupa yang diselenggarakan di Bentara budaya Bali pada Agustus dan Oktober 2019.
Di Kulidan Kitchen, tiga tema pameran yang paling saya sukai yaitu Illegal Trade yang diselenggarakan pada 29 Desember 2019. Tiga minggu kemudian, pameran berjudul Make Plastic a History disajikan dengan pemutaran film sampah plastik.
Februari 2020, diskusi buku dan pameran seni berjudul Melawan Setan Bermata Runcing menunjukkan bahwa orang pedalaman harus dianggap sebagai subjek yang berdaya, bukan objek yang dikasihani oleh niat baik orang modern.
Alasan saya memilih lima pameran tersebut karena karya seni di situ menunjukkan sebuah pesan yang amat relevan dengan kondisi saat ini. Karya seninya menunjukkan gejala-gejala masalah ekologi dan sosial yang harus dicari penyebab dan akarnya.
Kecanduan gawai. Pembakaran hutan. Hilangnya keanekaragaman hayati dari habitat aslinya sehingga hanya dapat dilihat di TV atau buku. Efek samping pariwisata massal di Bali yang merusak alam dan budaya. Juga beralihnya sawah jadi beton. Semua itu adalah gejala yang ditampilkan pada pameran seni di Bentara Budaya Bali.
Di Kulidan Kitchen, seniman memamerkan karyanya yang berbicara mengenai gejala perdagangan satwa liar, pencurian pratima, dan jeratan sampah plastik. Pada pameran kedua di tahun 2020, karya yang ditampilkan berbicara mengenai pendidikan yang menghadapi masalah yaitu relevan dengan kebutuhan komunitas lokal serta sukarelawan untuk perubahan yang merupakan esensi dari volunterisme.
Seni Untuk Ekologi
Seni yang sejati haruslah terkait dengan masalah yang terjadi saat ini. Peran seniman pada publik adalah menyampaikan gejala sosial dan ekologi. Tidak lagi seniman berfokus untuk seni saja dengan melukiskan karya seni menunjukkan kejernihan air, pesona warna burung dan hijaunya sawah. Atau melukiskan kekompakkan masyarakat melakukan ritual suci di pura dan keindahan fauna.
Jika pengunjung pameran seni dan pendengar konser musik hanya mengamati dan menyimak seni rupa dan lagu yang menunjukkan keindahan alam dan hal-hal yang “baik baik saja” meski kenyataan di lapangan tidak demikian, mereka akan terbuai dengan hal itu lalu kurang peka dengan masalah sosial ekologi yang terjadi.
Seni untuk seni belaka yang tidak menyuarakan gejala sosial ekologi justru mengukuhkan status quo. Slogan itu mengurung seni di menara gading. Ini adalah warisan dari rezim otoriter untuk memperkuat sikap apolitis masyarakat. Akar masalah sosial dan ekologi terkait dengan politik.
Karya seni yang ditampilkan di lima pameran di atas membuat pengunjung yang peka dan peduli pada gejala itu untuk bersikap politis. Sikap politis yang dimaksud berupa mengkritik pihak-pihak yang jadi penyebab dan akar masalah gejalanya.
Seni itu harus terhubung dengan ilmu alam dan sosial. Ketiganya saling terkait. Seperti pada karya rupa yang menampilkan barong yang dijerat sampah plastik. Dari sini pengunjung dapat pelajaran tentang lingkungan hidup di mana daratan dan lautan dipenuhi sampah.
Di kemudian hari, harus ada hubungan lebih erat antara seniman perupa, musisi, jurnalis, aktivis, budayawan, sosiolog, sejarahwan, dan ekolog. Jurnalis mengabarkan pada publik kejadian yang muncul. Para ahli ilmu sosial dan ekologi meneliti gejala dan akar masalah tersebut.
Seniman perupa dan musisi menyampaikan pesan itu pada khalayak umum. Para aktivis bergerak dan mengajak ilmuwan, musisi, jurnalis dan masyarakat untuk mewujudkan perubahan agar lingkungan semakin membaik dan masyarakat semakin berkeadilan.
Untuk para pelajar, berdialoglah dengan seniman tersebut. Hubungkan karya seni itu dengan pelajaran di sekolah. Akan ditemukan keterputusan antara pelajaran sekolah dengan kenyataan yang ada.
Di sekolah pelajar dididik bahwa sawah adalah lumbung pangan. Kenyataannya satu demi satu dikorbankan untuk pariwisata massal. Kemudian, buku teks menyebut, buanglah sampah pada tempatnya dan kurangi sampah.
Bertentangan yang ditulis dalam teks, produksi sampah plastik terus meningkat dan tidak ada instalasi pengolahan sampah yang layak. Di sini karya seni dapat menyalakan pemikiran kritis generasi muda atas materi pelajaran dari lembaga pendidikan formal dan situasi yang ada. [b]