“Plaku LGBT harus dihukum mati.”
“Anjir homo.”
“LGBT kok didukung, maaf bukan menghina, tapi LGBT itu penyakit. Harus disembuhkan, bukan ditumbuhsuburkan.”
Inilah sebagian kecil dari komentar-komentar negatif terhadap film “Kucumbu Tubuh Indahku” yang disutradarai oleh Garin Nugroho pada akun Instagramnya @garin_film. Tidak hanya memperoleh banyak komentar negatif, film ini juga mendapat berbagai penolakkan yang ditandai dengan adanya petisi di laman change.org dan telah ditandatangani oleh 146.650 orang.
Sayangnya, baik komentar negatif maupun petisi yang ada tersebut tidak terfokus untuk mengkritik film tersebut, tetapi lebih mengkritik kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
“Gawat! Indonesia sudah mulai memproduksi film LGBT dengan judul “Kucumbu Tubuh Indahku” tulis pada laman petisi tersebut. Tidak hanya satu, ada beberapa petisi serupa dibuat untuk memboikot penayangan film karya Garin Nugroho di berbagai daerah.
Bukan Hal Baru
Sesungguhnya LGBT bukanlah hal baru di Indonesia. Dilihat dari sisi sejarah, LGBT ini memiliki perjalanan cukup panjang di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya komunitas LGBT terbesar dan tertua di Asia, bernama Lambda Indonesia yang berdiri pada tahun 1982.
Lambda Indonesia merupakan cikal bakal adanya gerakan LGBT di Indonesia. Namun, organisasi ini hanya dapat bertahan hingga tahun 1986. Kemudian dilanjutkan dengan organisasi GAYa Nusantara (GN) yang berdiri pada 1 Agustus 1987.
Pada karya seni dan sastra di Indonesia pun banyak yang menampilkan tokoh-tokoh LGBT. Sebagai contoh Si Manis Jembatan Ancol (1993) dimana Ozy Syahputra memerankan sosok Karina yang merupakan mahluk halus berwujud laki-laki berkepala botak tetapi memiliki sifat feminim.
Tarian Bumi yang diterbitkan pada tahun 2000, menceritakan salah satu tokoh perempuan yang mencintai sesama jenis. Pada budaya Indonesia, terdapat seni tari asal Banyumas yang bernama tari Lengger Lanang. Para penari Lengger Lanang ini adalah laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Merekalah tokoh utama dalam film “Kucumbu Tubuh Indahku.”
Film, novel, dan budaya di atas adalah beberapa bukti bahwa LGBT sesungguhnya sudah ada di masyarakat sejak lama. Meski demikian, masih saja banyak masyarakat Indonesia yang menghakimi kaum LGBT, menganggapnya sebagai suatu penyakit yang membawa dampak buruk bagi masa depan bangsa seperti komentar-komentar yang tertulis pada akun Instagram Garin Nugroho (@garin_film).
“Gimana Indonesia tidak hancur.. Hayoo lah cerdas berfikir..” tulis akun @lembayungpenuhdebu99
“Film perusak moral,” tulis akun @tika_dhimas
“Hentikan filmnya.. anda g mikir masa depan anak2 yah.. astagfirullah,” tulis @gondewakuring
Perilaku Berbeda
I Dewa Ayu Sugiarica Joni, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Udayana menjelaskan LGBT adalah orang-orang yang memiliki perilaku seksual atau orientasi seksual yang berbeda dari perilaku seksual pada umumnya. “Saya tidak ingin menyebut LGBT sebagai sebuah kelainan seksual, tetapi lebih ke perilaku seksual yang berbeda dari perilaku seksual pada umumnya,” ungkap dosen yang akrab disapa Ida Joni tersebut.
Lebih lanjut Ida Joni menjelaskan, orientasi seksual seseorang seharusnya terbentuk secara alami, tetapi seiring berjalannya waktu orientasi seksual seseorang bisa berubah karena banyak faktor, baik faktor internal dari dalam diri sendiri maupun faktor eksternal seperti lingkungan, pola asuh, dan pengalaman.
“Dalam beberapa wawancara saya ketika penelitian tentang LGBT, masing-masing narasumber memiliki alasan dan pengalaman yang berbeda,” ujar Ida Joni.
Ia menjelaskan beberapa orang yang ia wawancarai tersebut ada yang memang sejak kanak-kanak sudah merasakan hal berbeda di dalam dirinya. Misalnya, seksnya adalah laki-laki tapi gender lebih kepada peran perempuan. Namun, ada juga yang orientasi seksualnya berubah setelah remaja karena pengaruh lingkungan (teman-teman pergaulan).
Ida Joni juga menjelaskan, bisa tidaknya LGBT ini berubah ini tergantung pada diri mereka masing-masing, mau berubah atau tidak. Sebab setiap orang LGBT memiliki alasan dan pengalaman yang berbeda.
Menurut Ida Joni ada salah satu narasumber sejak lulus SMA menyukai sesama jenis karena alasan awalnya coba-coba dengan laki-laki dan ternyata lebih nikmat (having sex) daripada dengan perempuan. “Kemudian pernah ada di titik mencoba untuk berkencan dengan perempuan (hampir menikah), tetapi batal karena menurut dia bertentangan dengan perasaan dan hatinya, kemudian kembali menyukai sesama jenis,” ujarnya.
Pilihan Cukup Sulit
Berubah atau tetap menjadi LGBT merupakan pilihan yang cukup sulit karena hal ini menyangkut hati nurani dan adat di Indonesia. Hal inilah yang dialami Rima (20), mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Bali.
Sejak SMA, Rima sudah memiliki kekasih seorang perempuan. Ia pun berpenampilan layaknya laki-laki. Saat diwawancarai empat tahun lalu, Rima mengakui dirinya saat itu berada di tubuh yang salah dan ingin mengubah kelaminnya.
Setelah lulus SMA dan berpindah tempat tinggal untuk melanjutkan studinya, Rima mengaku saat ini dirinya cukup menutupi perbedaan dirinya dari lingkungannya sekarang dan tidak sefrontal saat ia masih SMA dulu.
“Lebih diterima sama lingkunganku yang dulu, jauh lebih nyaman sama yang dulu. Sebenernya biasa aja karena aku menyembunyikan hal ini kepada orang lain tapi ada lah beberapa yang berpendapat lain tentang diriku,” ujar Rima.
Sejak masih duduk di bangku SMA, sudah banyak teman-teman yang menyuruhnya untuk berubah, namun ia sendiri merasa kurang nyaman. “Aku sebenarnya benci disuruh berubah, tapi menurutku sejalannya waktu pasti aku bisa berubah tanpa suruhan orang,” kata Rima.
Rima mengakui, saat ini dirinya tengah berpacaran dengan seorang perempuan. Sebelumnya, Rima mengaku sudah pernah berpacaran dengan seorang laki-laki. Namun, belum satu bulan, lelaki itu meminta Rima untuk melakukan hubungan seksual. Inilah yang membuat Rima trauma dan kemudian memilih berpacaran dengan perempuan.
Saat ini Rima merasakan ada yang berubah dari dirinya. Ia yang dulunya merasa ingin mengubah dirinya menjadi laki-laki kini berubah bingung dengan orientasi seksualnya sendiri. Ia merasa dirinya saat ini berada di antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dikenal dengan istilah queer atau seseorang yang bingung ingin menjadi laki-laki atau perempuan.
Ia sendiri pernah menyukai seorang laki-laki, tepatnya saat dirinya berada di tahun pertama kuliah. Namun, hal tersebut tidak berlanjut karena ia merasa lelaki itu tidak mungkin menyukainya.
Meski dirinya sejak lama sudah tak nyaman berpenampilan seperti perempuan karena ia merasa tak nyaman dan tak sesuai hati nuraninya, Rima tetap berjanji pada dirinya sendiri akan berubah menjadi perempuan seutuhnya saat lulus. “Demi keluarga dan masa depanku yang lebih baik. Satu lagi karena pacarku yang sekarang dia mau menerima aku apa adanya dan ngasih aku motivasi untuk berubah,” ujar Rima.
“Aku cuma berharap orang seperti aku ini bisa diterima di masyarakat, aku juga pernah denger di luar negeri orang seperti aku sangat diterima,” tambahnya. [b]