Pesta kreatif selama tiga hari itu pun usai.
Pada Jumat hingga Minggu pekan lalu, insan kreatif pulau ini berpesta melalui diskusi (talkshow), penampilan (performance), dan pameran (exhibition). Berikut laporan singkat tentang enam kegiatan, dari lebih dari puluhan kegiatan lain selama pesta tersebut.
Ritmis Magis Pembukaan Pesta Kreatif Bali
Parade obor menerangi lapangan Grand Inna Bali Beach, Sanur, Denpasar Jumat malam lalu. Ratusan anak dan orang tua bertelanjang dada membawa obor tersebut berkeliling. Adapun di panggung, penyanyi Bali, Ayu Laksmi tak henti menyanyi seperti membaca mantra, doa dalam bahasa Bali.
Ritmis dan magis lagu Ayu Laksmi tersebut membuka gelaran manusia kreatif Bali, Bali Creative Festival (BCF) 2011. Ayu menyanyi setelah acara tiga hari tersebut resmi dibuka oleh Rai Iswara, Sekretaris Daerah Kota Denpasar. Rai menancapkan tombak berwarna merah putih sebagai petanda acara tersebut resmi dimulai.
BCF sendiri berlangsung selama tiga hari di lapangan selatan Grand Inna Bali Beach. Gelaran Bali Creative Community (BCC) ini terbagi dalam tiga jenis kegiatan utama, yaitu talkshow, performance, dan pameran. Lebih dari 35 pembicara, 23 band, 30 film, 15 komunitas kreatif, dan 30 peserta pameran. Semua bertujuan sama, membuat pulau ini sebagai tujuan industri kreatif selanjutnya.
Jejaring Sosial untuk Membangun Citra Festival
Masifnya jejaring sosial bisa menjadi alat untuk menyebarluaskan program festival, terutama pada pengguna teknologi baru ini. Shafiq Pontoh, Janet De Neef, dan Tina Ardie berbicara pada hari kedua Bali Creative Festival (BCF) 2011 di Hotel Inna Grand Bali Beach Sanur Sabtu lalu. Ketiga penyelenggara festival dari Jakarta dan Bali ini berbicara di depan sekitar 30 peserta talkshow bertajuk Festivals: The Agony and the Ecstasy.
Shafiq Pontoh, strategic planner dari Saling Silang, yang pernah menyelenggarakan Social Media Festival di Jakarta tahun ini menyatakan, melalui jejaring sosial, informasi tentang sebuah festival bisa dengan mudah disebarkan. Dampaknya, selain ketertarikan dari netizen, publikasi lewat jejaring sosial juga bisa berdampak pada kolaborasi dengan media arus utama seperti TV dan koran. Peserta dan pengunjung festival pun akan lebih besar.
Pembicara lain, Tina Ardie dan Janet De Neef, menekankan pada perlunya independensi para penyelenggara festival terhadap tuntutan sponsor. Jika sebuah festival sudah memiliki value (nilai) yang kuat dibandingkan selebrasinya, maka sponsor yang kemudian akan datang dan bersedia mengikuti nilai yang disebarkan melalui festival tersebut. Namun, jika festival yang dibuat lemah dalam memegang value, yang terjadi justru sebaliknya, sponsor akan mendikte lalu memaksakan citra produk atau perusahaannya.
Tumpah Tuah Berbagi Ide Kreatif
Ruang Pendet Hotel Grand Inna Bali Beach Sanur yang berkapasitas 100 orang itu penuh dengan sekitar 200 anak muda Denpasar. Karena kursi tak cukup, maka selebihnya, peserta harus berdiri di ruangan tersebut mengikuti presentasi sembilan peserta Pecha Kucha Night (PKN) Sabtu malam lalu. PKN merupakan salah rangkaian di hari kedua Bali Creative Festival (BCF) 2011. Selama sekitar 1,5 jam tersebut, para penyaji dari berbagai komunitas kreatif di Bali tersebut menyampaikan ide, pengalaman, maupun gagasan kreatifnya di depan para peserta.
Ide dan pengalaman komunitas kreatif di Bali yang dibagi di PKN tersebut beragam. Kadek Ridoi Rahayu, misalnya, bercerita tentang komunitas anak muda yang mengampanyekan daur ulang limbah hewan untuk menjadi sumber energi alternatif biogas. Selain mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Universitas Udayana Bali ini, pembicara lainnya adalah mahasiswa, desainer, maupun aktivis lingkungan Bali.
Tak hanya ide-ide kreatif, dalam PKN tersebut juga ada penyaji yang mengungkapkan tentang lingkungan Bali saat ini. Dia Wayan Gendo Suardana, aktivis Walhi Bali, yang berkampanye tentang perlunya moratorium pariwisata di Bali akibat terlalu banyaknya eksploitasi alam Bali demi pariwisata. Agar Bali tidak terus menerus dieksploitasi alamnya demi pariwisata, maka sudah saatnya Bali juga memberikan perhatian lebih pada industri kreatif di pulau ini. BCF 2011 bisa jadi salah satu jawabannya.
Rekam Ceritamu Lalu Sebarkan ke Dunia
Membuat video singkat itu sederhana. Tentukan tema, alur, rekam, lalu sebarkan. Selebihnya, biarkan penonton yang menikmati dan mengapresiasi ceritamu. Dua pembicara di lokakarya membuat video singkat, Erick Est dan El Cahyono, mengungkapkan rahasia tersebut di depan sekitar 30 peserta.
Dua videografer, Erick dan Cahyo, menjadi pemateri dalam lokakarya setengah hari yang dilaksanakan Bali Blogger Community (BBC) di Ruang Arcade, Grand Inna Bali Beach Sanur, Denpasar pada Minggu lalu. Workshop video singkat merupakan rangkaian pada hari terakhir Bali Creative Festival (BCF) 2011 yang diadakan Bali Creative Community (BCC).
Erick, sutradara muda yang pernah memperoleh penghargaan di ajang internasional dengan video singkatnya, memberikan dasar-dasar tentang membuat video. Misalnya, konsep dan ide sebuah video beserta bangunan yang harus ada dalam pembuatan video tersebut. Erick yang kini lebih banyak membuat videoklip untuk musisi Bali juga menceritakan pengalamannya mengikuti festival internasional dan bagaimana rasanya dicaci maki karena kurang hati-hati menggunakan karya orang lain.
Pembicara lain Cahyo, yang juga blogger, lebih banyak menyampaikan teknis pembuatan video singkat tersebut, seperti pengambilan gambar, editing, hingga mengunggah video itu ke jejaring sosial. “Teknologi informasi memberikan kemudahan bagi kita untuk merekam lalu menceritakannya kepada dunia,” ujar Cahyo.
Musisi Indie Bali di Antara Gegap Industri
Tak hanya menjadikan musik sebagai alternatif di antara musik arus utama, musisi indie Bali juga menjadikan genre ini sebagai alat kritik sosial. Rebekah Moore, kandidat program doktoral etnomusikologi University of Indiana, Amerika Serikat menyampaikan hasil risetnya tersebut pada diskusi Legalitas dan Lokalitas Musik di Ruang Pendet Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur Minggu siang pekan lalu. Peraih gelar Bachelor of Arts untuk musik dari University of North Carolina, Greensboro dan Master of Arts musik ini menetap di Bali sejak 2008 dan saat ini sedang mengerjakan desertasinya yang berjudul: “Music in post-bomb Bali: Participant Practices, Scene Subjectivities.”
Selain Rebekah, pada diskusi selama dua jam tersebut juga hadir Rizky Adiwilaga, pengacara dengan spesifikasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Rizky lebih banyak memberikan dasar-dasar pemahaman tentang HAKI di industri musik, mulai dari pengertian, tantangan, hingga masa depan HAKI di Indonesia. Menurut Rizky, sebagian besar musisi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar terkait HAKI dalam industri musik ini.
Talkshow tentang industri musik ini merupakan salah satu pengisi pada hari terakhir gelaran Bali Creative Festival (BCF) 2011. Sekitar 30 orang, terutama dari kalangan pelaku industri musik Bali, seperti produser, arranger, dan musisi hadir dalam diskusi yang dipandu Rudolf Dethu tersebut.
Mendokumentasikan Perjalanan Musik Non-Tradisi Bali
Peluncuran buku Blantika Linimasa, Kaleidoskop Musik non-Tradisi Bali pada Minggu pekan lalu di Denpasar diharapkan akan menjadi awal upaya untuk mendokumentasikan perjalanan musik di pulau ini. Demikian benang merah peluncuran buku oleh tim penulis Rudolf Dethu, Alfred Pasifico Ginting, Gede Robi Supriyanto, dan Anton Muhajir dalam rangkaian program Bali Creative Festival (BCF) 2011 di Ruang Pendet Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur.
Buku Blantika Linimasa merupakan dokumentasi perjalanan musik Bali sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Dalam buku setebal 112 halaman ini, para penulis membagi tema buku dalam dua kategori utama, musik Bali berbahasa Bali (Balibali) dan berbahasa Indonesia (Balinesia). Rekaman tersebut termasuk para pelaku industri musik Bali sejak 1960-an, seperti I Gusti Putu Gede Wedhasamara, Yong Sagita, Widi Widiana, Lolot, Superman is Dead, dan lain-lain.
Rudolf Dethu, koordinator penulis buku ini, menyatakan buku Blantika Linimasa merupakan upaya untuk mendokumentasikan perjalanan sejarah musik Bali hingga saat ini. Setelah ini, buku akan dilanjutkan dengan pendokumentasian secara online melalui website. Diharapkan, kata mantan Manajer SID ini, nantinya akan muncul diskusi dan koreksi terhadap sejarah perjalanan musik Bali. “Jika masih ada protes, mari saling berargumentasi. Toh, tujuan kita sama, memajukan musik Bali agar terus menjulang dan menolak mati,” tegas Dethu. [b]