Selasa, 30 September 2014 bisa menjadi salah satu hari yang membuat saya terkejut.
Hari ini, saya berpapasan dengan salah satu orang tua siswa. Dia komplain karena anaknya harus duduk lesehan.
Teman tersebut juga kebetulan pengurus komite di SDN 3 Sesetan, Denpasar. Saya dalam perjalanan berangkat kerja sempat bingung.
“Kenapa bisa duduk lesehan?” tanya saya.
“Saya ngga ngerti, ini saya mau ke sekolah cari tahu ada apa ini!”
Begitu percakapan singkat kami. Saya melanjutkan perjalanan menuju tempat kerja setelah berpesan untuk mengabari apa yang terjadi di sekolah.
Siang hari saya ditelpon oleh orang tua tadi. Dia mengatakan bahwa sekolah kekurangan bangku sehingga anak-anak kelas dua harus duduk lesehan. Ini akibat penerapan Kurikulum 2013 yang harus diterapkan mulai kemarin.
Dia tentu tidak bisa menerima, karena dari tahun lalu Komite Sekolah selalu bilang beli bangku. Tahun ini Komite juga minta bantuan orang tua siswa untuk membeli bangku juga. Kok bisa, sudah beli bangku masih kekurangan bangku!
Saya yang kebetulan menjadi Ketua Komite tentu bingung juga.. Kok bisa hari ini sekolah kekurangan bangku? Padahal tahun ajaran sudah dimulai dari 15 Juli 2014. Hingga september tidak ada cerita anak sekolah di SDN 3 Sesetan kekurangan bangku.
Kenapa aku bingung? Karena sudah hampir 30 tahun, anak Kelas 1 SD di sekolah ini selalu menggunakan kelas yang sama dengan kelas 2. Anak kelas 1 masuk pagi dan pukul 10 sudah pulang lalu digantikan anak kelas 2. Begitu dari dulu.
Karena saya alumni sekolah ini, maka saya melihat dan merasakan kejadian ini. Hingga tahun kemarin masih sama atau tepatnya minggu lalu masih sama. Kenapa hari ini bisa terjadi?
Setelah mencari tahu, saya bisa membayangkan kenapa ini terjadi.
Sekolah tidak mempersiapkan diri untuk memisahkan kelas 1 dengan kelas 2 karena tidak tahu bahwa kurikulum 2013 harus diterapkan bulan ini. Sepertinya guru kelas 2 juga tidak ingin kesorean di sekolah kalau penggunaan kelas antara kelas satu dan dua masih seperti sebelumnya.
Maka diambillah keputusan bahwa anak kelas 2 menggunakan ruangan kosong, dua ruang kelas yang sengaja dikosongkan karena kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Akhirnya hari ini saya harus menerima komplainan beberapa orang tua siswa yang tidak terima anaknya belajar di lantai.
Amburadul
Hal yang membuat saya prihatin, bagaimana bangsa ini maju, berbenah lebih baik dan menghasilkan generasi sehat, cerdas dan bermoral kalau sekolah yang menjadi tempat mereka dididik masih amburadul?!
Pemerintah tidak punya tanggung jawab, mengeluarkan wacana sekolah gratis, mengembar gemborkan bantuan operasional sekolah (BOS) dan lain-lainnya tetapi orang tua tetap dimintai sumbangan karena kurang dana katanya. Pemerintah diam saja, dan seolah-olah membenarkan saja praktik-praktik “pungli” ini.
Padahal ada sekolah-sekolah negeri yang mampu berjalan tanpa memberatkan orang tua siswa…
Bagaimana bisa sekolah negeri yang gurunya digaji pemerintah, rehabnya ditanggung negara dan mendapatkan dana BOS masih kekurangan dana? Kalau mau diukur secara kuantitatif maka, sekolah-sekolah negeri yang mendapatkan bos biaya pendidikannya akan terlihat lebih mahal dari sekolah swasta. Misalkan sekolah swasta yang memungut SPP Rp 200 ribu sebulan dibandingkan sekolah negeri yang memungut Rp 10 ribu sebulan tentu lebih mahal sekolah negeri ini.
Hitung-hitungannya jelas. Dari Rp 200 ribu itu akan digunakan untuk menggaji guru, pegawai tata usaha dan dana operasional lainnya. Sementara sekolah negeri sudah ditanggung semuanya oleh pemerintah. Ini masalah lain sepertinya.
Kembali ke masalah kurikulum 2013, saya sudah menjadi korbannya karena dikomplain orang tua siswa. Tentu bukan masalah besar, tetapi masalah sesungguhnya, pemerintah seperti tutup mata. Tidak bisa melihat kenyataan. Guru tidak siap menjalankan kurikulum 2013 dan pemerintah sendiri juga tidak siap. Hingga bulan lalu rapor untuk mengikuti kurikulum 2013 ini belum ada di sekolah ini.
Bagaimana dengan sekolah di desa- desa? Ini SD Negeri yang ada di ibu kota Pulau Bali saja belum.
Guru-guru baru diberikan pengenalan, banyak yang tidak mengerti sepertinya. Misalnya di sekolah ini, anak-anak diberikan buku tematik tetapi yang sibuk dikerjakan adalah LKS. Ini tidak gratis. Harus dibayar oleh orang tua murid tunai.
Guru-guru sibuk dengan administrasi sehingga ada alasan untuk tidak fokus memahami kurikulum 2013.
Ahhh, jangan-jangan mereka berpikir toh nanti ganti pemerintahan ganti lagi aturannya. Hal yang paling nyata adalah tidak siapnya sarana penunjang, salah satunya ketersediaan uang kelas lengkap dengan bangkunya untuk memenuhi tuntutan kurikulum 2013 ini.
Mari kita tunggu kurikulum-kurikulum berikutnya dengan terus membiarkan semakin karut-marutnya wajah bangsa ini. [b]