“Ini tinggal nunggu bangkrut saja,” kata Wayan Guna Yasa akhir September lalu.
Warga Bukit Pratama, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung yang juga pengusaha laundry itu melanjutkan, “Modal kami habis hanya untuk beli air. Terlalu banyak.”
Bersama tetangganya Gusti Partemen, Yasa lalu menatap perbukitan kapur Bukit Jimbaran dengan nanar. Beberapa kawasan perumahan di bawahnya sudah hampir dua bulan tak mendapat akses air bersih dari PDAM setempat.
“Vila-vila itu enak bisa bikin sumur bor, kami di sini bangkrut beli air,” serunya akhir September lalu. Ia baru saja membeli air seharga Rp 175 ribu per tangki.
Setidaknya ia menghabiskan 5.000 liter air untuk sehari-hari dan usaha laundry. Yasa mengaku hampir bangkrut karena biaya pembelian air tangki saja menghabiskan 60 persen biaya operasional laundry.
“Tunggakan PDAM tiap bulan terus ada, air tidak ada,” keluhnya.
Ketika Yasa mengeluh, pipa-pipa air dari tangki penjual air dihubungkan ke bak penampung dalam rumah. Sejumlah pedagang air mengatakan mengambil air di mana saja yang harganya murah. Air ini langsung ditarik ke tangki lalu dijual.
Samsudin, operator tangki air ini mengatakan beberapa bulan ini bisa sampai 10 kali bolak balik menjual air ke warga yang sedang kesulitan air di daerah pariwisata Bali Selatan ini. “Makin banyak penjual air ke sini karena banyak yang airnya mati,” kata pria tengah baya ini.
Gusti Partemen, warga lain ikut nimbrung di percakapan sejumlah warga tentang krisis air ini. “Badung kaya raya dari pariwisata, rakyatnya bangkrut beli air,” ketus pria ini. Mereka menunjuk-nunjuk ke arah deretan vila-vila dan kondotel di perbukitan.
“Semua ada kolam renangnya. Enak, mereka bisa ngebor sumur sedalamnya,” ujar Gusti.
Urusan ngebor tanah untuk sumur ini bukan perkara mudah. Warga masih memilih beli air karena bisa terjangkau. Sementara kalau sumur bor, minimal harus ngebor 80 meter. Ini sekitar dua kali lipat rata-rata kedalaman sumur bor di Denpasar.
Di perumahan ini sudah ada yang terpaksa membuat sumor bor. Ketika ditemui, para tukang sudah mencapai pengeboran 80 meter tapi air masih sangat sedikit. “Sudah muncul airnya tapi belum cukup untuk ditarik mesin,” kata beberapa tukang yang sedang bekerja di terik matahari dan gersang bukit berkapur ini.
Sumor bor ini dibuat secara kolektif oleh beberapa rumah tangga untuk lebih hemat biaya. Tiap meter, biaya pengeboran Rp 1 juta. Jadi sedikitnya diperlukan Rp 100 juta untuk mendapat air tanah karena harus membeli mesin pompa, pipa-pipa, dan lainnya.
Warga Jimbaran, Agus Astapa paling sering mempublikasikan kisah perumahannya yang mati air selama sebulanan ini via jejaring sosial. Ia sering minta PDAM membawakan tangki air bersih jika warga sudah sangat memerlukan air.
Anggota Komisi Informasi Provinsi Bali ini sampai audiensi dengan Direktur Utama PDAM Badung Made Subarga Yasa menanyakan perihal krisis air bersih di Kuta Selatan, termasuk di rumahnya Perum Bukit Pratama, Jimbaran. Agus memberi laporan hasil pertemuannya, selain suplai air terbatas, PDAM ada kerusakan mesin dan kebocoran pipa. Misalnya di TB 4 Teluk Benoa, pipa bocor di depan kuburan Cina, Tuban dan lainnya.
Kemarau Panjang
Krisis air ini tak hanya di Jimbaran. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis saat ini sejumlah kawasan di Indonesia terdampak El-Nino menjadikan kemarau lebih panjang. Bendungan surut, dan debit air tanah turun.
“Bisa dibayangkan jika nanti ribuan akomodasi wisata baru dibuat di Teluk Benoa?” salah seorang analis cuaca, Made Kris menulis di timeline-nya.
Untuk daerah Bali, MBKG menyebut kekeringan ekstrim terjadi di sejumlah daerah terutama di Bali Barat dan Timur. Misalnya Banyupoh, Bondalem, Gerokgak, Kubu, Kubutambahan, Melaya, Pecatu, Penelokan, Sampalan, Sumber Klampok, Tianyar, Batur, dan lainnya.
BMKG mendefinisikan kekeringan ekstrim adalah hari hujan di atas 60 hari. Hari tanpa hujan berturut-turut dihitung dari hari terakhir pengamatan. Jika hari terakhir tidak hujan, maka dihitung sesuai dengan Kriteria. Sedangkan jika hari terakhir pengamatan ada hujan (>=1mm) langsung dikategorikan Hari Hujan (HH).
Selain karena musim kemarau, krisis air juga terjadi akibat kian berkuranya air di hulu. Alih fungsi salah satu penyebabnya.
Kawasan penyangga taman wisata alam Danau Buyan dan Tamblingan sebagai menjadi sumber air di Bali mulai banyak ditanami tanaman yang mengurangi daya serap air, misalnya bunga dan buah stroberi.
Hal ini jika terus berlangsung dan dalam jangka waktu panjang dikhawatirkan mengurangi area resapan air di kawasan yang menjadi daerah hulu atau sumber air Bali ini.
Jika lewat ke kawasan Bedugul sampai daerah dataran tinggi Buleleng, makin banyak baliho yang menjual kebun atau papan pengumuman yang berisi penyewaan lahan untuk ditanami strawberry. Lahan ini dimiliki pribadi tapi alih fungsi dari tanaman penyangga seperti cemara, kopi, dan lainnya dikhawatirkan mengurangi tangkapan air kawasan hulu Bali ini.
Putu Wijaya, salah seorang pemilik kebun di kawasan ini mengatakan memang makin banyak yang mengalihfungsikan lahannya dari tanaman berusia panjang menjadi bunga dan stroberi yang cepat menghasilkan. Menurutnya hutan konservasi harus disangga hutan penyangga yakni hasil kebun seperti cengkeh dan kopi yang bisa dikelola oleh petani. “Petani kebun seperti kami memang makin sedikit,” ujarnya.
“Kawasan hutan konservasinya masih baik, namun kawasan penyangga yang milik warga mulai banyak ditanami bunga dan stroberi,” kata Soemarsono, Kepala Konservasi Unit I Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali yang mewilayahi kawasan ini. Saat ini menurutnya sedang dipetakan kawasan penyangga yang beralih fungsi.
Danau Buyan dan Tamblingan termasuk tipe hutan hujan tropis pegunungan yang dicirikan dengan curah hujan yang tinggi, kondisi kawasan selalu basah dengan keragaman jenis tumbuhan yang relatif tinggi.
Kawasan danau ini merupakan kawasan resapan, kawasan persediaan, dan kawasan pelindung tata air (hidro-orologis), sekaligus kawasan yang disucikan bagi masyarakat Bali.
Menurunnya Kualitas
Sebelum itu, sejumlah penelitian menyatakan bahwa Bali diambang krisis air karena menurunnya kualitas dan kuantitas air. Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan Bali akan mengalami defisit air hingga 27,6 milliar meter kubik pada 2015.
Tak sedikit gerakan konservasi lingkungan yang menolak reklamasi di Teluk Benoa menggunakan perkiraan krisis air ini sebagai antisipasi pembangunan pariwisata yang terlalu masif. Salah satunya Agung Wardana melalui pernyataan sikap Sekaa Diaspora Bali, sekelompok mahasiswa dan warga Bali di luar negeri.
Mereka menyampaikan keprihatinan ini April lalu. Menurut Agung yang sedang mengambil program Phd di Australia mengatakan jalur air bersih akan diprioritaskan untuk dialirkan ke kawasan Bali Selatan di mana industri pariwisata berpusat.
“Sungguh ironis. Di saat banyak masyarakat Bali, misalnya di Kecamatan Kubu, Karangasem, harus berjalan kaki hingga 3 kilometer atau menjual ternak untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, ternyata di pusat industri pariwisata Bali menggunakan air sebagai pemuas kesenangan semata. Bagi kami, ini adalah ketidakadilan,” serunya. [b]