Oleh Luh De Suriyani
Dialog komunitas perempuan dengan calon gubernur Bali 2008 pada Rabu (28/5) pagi ini di Wantilan DPRD Bali berlangsung ramai. Puluhan perempuan berebut unjuk tangan untuk menyuarakan buah pikir dan akar perjuangannya masing-masing.
Dua cagub yang hadir, Winasa dan Cok Budi Suryawan (CBS), pada akhir dialog menandatangani kontrak politik yang berisi tak hanya melulu soal perempuan tapi hak-hak dasar manusis seperti pendidikan, anti dikriminasi, pluralisme, lingkungan, dan lainnya. Suatu kontrak politik yang dibuat cukup terintegral, rinci dan mudah dituntut jika diantara dua cagub itu melupakan komitmennya nanti. Mangku Pastika tidak hadir karena tengah ada di Jakarta.
Kontrak politik itu memang makin lumrah dan salah satu negoisasi yang bagus. Namun dalam dialog ini sangat menyenangkan melihat geliat perempuan yang berebut menyampaikan pendapatnya. Jika dialog ini berlangsung lebih lama lagi (tak hanya sekitar 2,5 jam) akan muncul suara-suara yang lebih jernih soal pengalaman kerja advokasi dan tantangan perempuan.
Sebagian perempuan yang beruntung mendapatkan berbicara itu dengan entengnya memprotes gaya licik politisi laki-laki yang mengadvokasi kepentingan perempuan hanya sesaat. “Selama ini partisipasi perempuan dalam politik dipakai hanya sebagai trik. Pas kampanye ngasi nomor HP, setelah menjabat mana bisa dihubungi HP-nya,” kata seorang mahasiswa Universitas Mahendradatta berapi-api.
Selain seorang pria tua juga mendapat kesempatan berbicara dan memperjuangkan nasib buruh perempuan di Bali. Upah Minimum Regional (UMR) tentu bukan satu-satunya alat ukur karena sebagian buruh perempuan adalah pekerja informal yang tidak terikat oleh institusi seperti buruh angkut di pasar, buruh pasir dan batu, dan lainnya. “Saya tidak butuh baju kaos (parpol atau cagub, red) sementara buruh perempuan terus dilecehkan,” kata pria itu.
Tak hanya sigap berebut pengeras suara, sekitar 500 orang perempuan yang hadir juga belajar memahami pendapat orang, mengapresiasi, dan pintar tapil sebagai orator. Dinamika terlihat ketika kontrak politik dibagikan oleh Sri Widhiyanthi, Ketua Bali Sruthi yang menjadi moderator. Dua perempuan protes karena daftar itu harus dibahas lagi secara mendalam oleh audiens.
Namun, kontrak politik toh disepakati harus disodorkan sebagai langkah awal mengawal program gubernur terpilih. Jika tidak sekarang, apakah hal ini bisa diminta ketika nanti telah duduk di kursi gubernur, saat sibuk beramah tamah dengan kolega-kolega politiknya. Hal yang sangat sulit.
Sayangnya saat berdialog, Winasa dan CBS terlihat tidak serius berhadapan dengan penanya. Dua cagub itu kompak hanya melihat penanya yang ada di depan mereka. Jika penanya ada di samping kiri atau kanan, mereka sama sekali tidak menyimaknya. Apakah ini jadi petanda buruk bagi keseriusannya pada isu ini? Semoga saja tidak.
Yang pasti kita terus pegang pada ucapan keduanya yang akan mundur sendiri jika komitmen tidak ditepati. “Jangankan hitam di atas putih, di bawah notaris saya siap. Saya tidak ingin rakyat Bali dibohongi seperti sebelumnya,” tandas Winasa. Hingga akhirnya dua cagub ini tanda tangan kontrak politik di depan seorang notaris dan dua saksi dari kubu mereka. [b]