Pada tahun 2023, Bali menjadi salah satu daerah dengan persentase penduduk lanjut usia (lansia) tertinggi di Indonesia. Dilansir dari Kompas.com, Provinsi Bali menempati posisi ketiga setelah Yogyakarta dan Jawa Timur dengan persentase 13,53% dari jumlah total penduduk Bali.
Sementara itu, data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat jumlah penduduk lansia di Bali pada tahun 2025 mencapai 10,32% dari total penduduk, yaitu sebanyak 460.400 jiwa dari 4.461.300 jiwa. Jika diibaratkan, 1 dari 10 penduduk Bali merupakan penduduk lansia.
Tingginya jumlah penduduk lansia ternyata diikuti dengan tingginya angka penelantaran lansia. Dilansir dari Nusabali.com, data Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Provinsi Bali menunjukkan jumlah lansia telantar luar panti di Bali sebanyak 10.823 orang pada tahun 2024. Sementara itu, 93 orang lansia telantar berada di dalam panti.

Kondisi panti jompo di Bali
Jumlah penelantaran lansia yang tinggi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah panti jompo. Pemerintah Provinsi Bali hanya mengelola dua panti jompo, yaitu Jara Mara Pati di Buleleng dan Wana Seraya di Denpasar.
Jasa pramurukti untuk merawat lansia di rumah
Memiliki lansia di rumah memang tidak mudah. Pasalnya, lansia membutuhkan banyak perhatian dan perawatan yang lebih intensif. Sementara itu, iklim di masyarakat kian berubah, kebutuhan semakin tinggi dan ada hal-hal lain yang harus diprioritaskan. Pada zaman dulu, orang tua yang sudah lansia mungkin bisa dititipkan kepada tetangga atau kerabat. Kini rasanya susah dilakukan atau bahkan tidak mungkin.
Di tengah fenomena tersebut hadir jasa homecare berupa caregiver, yaitu jasa perawat yang bisa datang ke rumah. Caregiver diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi pramurukti. Kresnanta merupakan salah satu pengguna jasa ini. Kejadian bermula sekitar bulan Juli tahun lalu. Nenek Kresna mengalami stroke, sehingga membutuhkan perawatan dan perhatian khusus di rumah. Keluarganya secara bergantian menjaga neneknya setiap hari.

Pada akhir Desember, kabar buruk kembali menimpa keluarganya. Kakek Kresna mengalami serangan jantung. Sejak saat itu, keluarganya kelabakan karena harus mengurus dua lansia yang sedang sakit. “Pokoknya kayak kita seling-selingan antara salah satu harus jaga di rumah sakit, ada yang nganter, terus ada yang take care untuk nenekku di rumah. Jadi lebih ke itu sih effort-nya karena harus ngerawat mereka berdua, sedangkan di sisi lain kita tuh sama-sama punya kesibukan masing-masing,” ungkap Kresna.
Akhirnya, keluarganya terpikirkan untuk mencari asisten rumah tangga. Namun, mereka menyadari bahwa kebutuhannya tidak sebatas untuk bersih-bersih rumah. Kresna dan keluarganya pun memutuskan menggunakan jasa pramurukti untuk merawat nenek dan kakeknya.
Anak Agung Istri Wahyuliniya, kerap disapa Gung Is merupakan perawat yang menekuni profesi ini. Ia mulai menawarkan jasa homecare sejak tahun 2019, tepat pada tahun pertamanya kuliah. Jika dulu ia turut turun ke lapangan sebagai pramurukti, saat ini Gung Is hanya berperan sebagai ‘calo’, begitu ia menyebut dirinya.
Pramurukti sebenarnya tidak jauh berbeda dengan baby sitter. Perbedaannya hanya terletak pada pasien yang dirawat, yaitu lansia. Pelanggan biasanya mengetahui jasa yang ditawarkan Gung Is dari mulut ke mulut. Apabila ada yang memesan jasa pramurukti melalui dirinya, ia akan menawarkannya ke grup WhatsApp yang berisi sejumlah perawat.
Pelanggan dapat meminta waktu penggunaan jasa, misalnya per hari, per jam, atau per bulan. “Kalau sekarang harga homecare itu per jamnya bervariasi sih, kak. Ada yang Rp15.000 per jam sampai Rp50.000 per jam. Itu tergantung pasiennya dan jarak rumah pasiennya itu,” terang Gung Is ketika ditanya biaya caregiver.
Jasa yang diminta pelanggan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan jasa pramurukti hanya untuk menemani pasien, ada juga yang meminta untuk dimandikan, ganti pampers, hingga fisioterapi untuk pasien stroke. Gung Is bercerita bahwa dirinya pernah merawat pasien stroke. “Kita bantu untuk pakaiin alat fisioterapinya itu. Nanti kita ngikutin arahan dari pasiennya, misalkan dari keluarganya. Keluarganya bilang nanti nenek saya pakaiin fisioterapinya itu di jam segini ya,” ungkap Gung Is.
Namun, sejauh ini Gung Is belum menerima pasien yang mengalami luka. “Kalau itu harus ada jenjangnya lagi yang memang mengkhususkan untuk perawat homecare yang untuk rawat luka karena saya juga nggak ada alat-alatnya kan,” imbuhnya.
Agar bisa menawarkan jasa ini, pramurukti harus memiliki sertifikasi caregiver terlebih dahulu. Pramurukti tidak mesti lulusan diploma atau sarjana, lulusan SMK pun bisa, hanya saja harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu dan mendapatkan sertifikasi caregiver.
Ketertarikan Gung Is menjadi pramurukti bukan semata-mata karena dirinya merupakan seorang perawat. “Kita ngerasa kayak ngerawat orang tua sendiri jadinya kalau misalkan kita ngambil pasien lansia. Jadi kita memahami, oh nanti kita kalau tua pasti kayak gini nih,” ujar Gung Is.
Merawat lansia terkadang menimbulkan tekanan emosional tersendiri bagi Gung Is. Ia menyebutkan ketika mencapai lansia biasanya sikap orang tersebut akan kembali seperti remaja, sehingga membutuhkan kesabaran yang ekstra dalam menjalani profesi ini. “Ada lansia yang ngamuk-ngamuk, yang paling parah itu saya sampai dipukul sama pasiennya,” ujar Gung Is diikuti tawa seolah mengingat kembali kejadian tersebut.
Saat ini ada sepuluh pasien yang menggunakan jasa pramurukti Gung Is. Meski belum memiliki data pasti terkait peningkatan pasien, ia menyebutkan ada saja yang menggunakan jasa ini setiap tahunnya. “Mereka (keluarga pasien) malah lebih tenang, lebih nyaman kalau misalkan lansianya dirawat oleh tenaga medis,” ungkap Gung Is ketika ditanya pendapat keluarga pasien yang menggunakan jasa pramurukti.
Kresna yang menggunakan jasa pramurukti mengakui bahwa keluarganya lebih dimudahkan dengan jasa ini. “Nggak terlalu khawatir jadinya kalau misalnya di rumah kosong, nggak ada orang. Jadi seenggaknya aman lah, jadi kebutuhan dasar mereka terpenuhi,” ungkap Kresna.
Meski begitu, Kresna mengungkapkan bahwa mencari perawat yang cocok dengan karakter pasien agak susah. Nenek Kresna memiliki demensia, sehingga sering lupa dengan hal-hal yang baru terjadi. “Misalnya kayak dia baru habis makan, terus bentar lagi dia minta makan lagi,” ujarnya. Pada satu waktu salah satu perawat tidak dapat menghadapi kejengkelannya, sehingga ia harus mencari perawat lain.
Memberdayakan lansia yang masih sehat
Lansia tidak selalu sakit, banyak juga lansia di Bali yang masih dalam keadaan sehat. Lansia juga membutuhkan ruang dan kesempatan untuk beraktivitas dan menuangkan kreativitas. Kesempatan ini yang membuat Luh Ketut Suryani, seorang psikiater asal Bali mendirikan Yayasan Wreda Sejahtera (YWS) Bali pada tahun 1988. Yayasan tersebut ia dirikan sebelum menginjak lanjut usia, yaitu pada usia 44 tahun.
Pada saat itu, Suryani melihat lansia kurang mendapatkan perhatian, baik itu dari keluarganya maupun dari pemerintah itu sendiri. “Padahal mereka masih kuat-kuat dan masih bekerja seperti biasa gitu. Jadi zaman dulu itu lansia masih mapak base (mengunyah daun sirih), kemudian tidak mandi,” ungkap Suryani ketika ditemui di kediamannya.
Awalnya, keinginan Suryani mendirikan YWS ditentang oleh banyak orang. “Ngapain orang tua saya disuruh berhias. Tapi makin ditentang makin menantang,” ujar Suryani sembari terkekeh. YWS memang didirikan untuk melatih lansia agar tetap aktif dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai pelatihan dilakukan, seperti menari, menyanyi, senam, dan sebagainya.
Suryani juga mendorong lansia untuk lebih berani tampil, seperti berani merias diri dan menggunakan pakaian yang bagus. “Gerakan kami itu menunjukkan kita tua, tapi bukan tidak berguna. Kita tetap berguna. Tua, berguna, bahagia, sejahtera, begitu konsepnya,” terang Suryani. Saat ini, YWS telah menjangkau lansia di seluruh kabupaten yang ada di Bali. Keanggotaannya bersifat terbuka, siapa saja boleh datang dan boleh bergabung.
Saat ini kegiatan YWS dilaksanakan setiap hari Sabtu dan Minggu di Gedung Wanita Nari Graha, Kota Denpasar. Sebagai salah satu penduduk lansia, Suryani merasa pemerintah belum memperhatikan betul kesejahteraan lansia, terutama perihal tidak adanya ruang beraktivitas untuk lansia. Selama ini yayasannya hanya diizinkan untuk meminjam Nari Graha untuk berkegiatan, bukan kepemilikan secara resmi.
“Pemerintah belum mau tahu sebab mereka belum merasa tua. Nanti suatu saat tua baru merasa kok saya tidak buat apa-apa. Sebab semua akan tua dan tidak selalu orang tua itu langsung diambil oleh Tuhan,” ujar Suryani diiringi senyuman. Suryani ingin pemerintah lebih memperhatikan penduduk lansia, terutama membuat suatu gedung khusus untuk lansia beraktivitas. “Gedung pemuda ada, gedung anak-anak ada, tapi gedung untuk lansia nggak ada. Jadi jangan menganggap lansia itu tua tidak berguna,” ujar Suryani.
Meski begitu, saat ini sejumlah banjar dan desa di Bali memberdayakan penduduk lansia melalui berbagai kegiatan di banjar, seperti senam setiap minggu, cek kesehatan gratis, hingga jalan santai.
Jumlah lansia yang tinggi menunjukkan angka harapan hidup yang tinggi. Namun, harapan hidup yang tinggi akan sia-sia apabila penduduk lansia malah ditelantarkan dan tidak diberikan perhatian khusus. Tidak ada waktu untuk merawat orang tua di rumah bukan berarti orang tua bisa ditelantarkan begitu saja. Saat ini ada berbagai alternatif yang dapat dipilih untuk merawat lansia di rumah, seperti menggunakan jasa pramurukti, menitipkan orang tua di panti jompo, atau bahkan mengikutsertakan orang tua ke kelompok lansia seperti YWS.