Lembaga Perlindungan Anak Bali menyatakan keprihatinannya dengan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum di Bali. Untuk itu, sebuah kampanye pengumpulan uang Rp 1000 dimulai Senin, di Denpasar. Gerakan moral ini untuk mendorong aparat hukum agar tidak mudah memenjarakan anak-anak, terutama dengan kasus kecil.
Kampanye yang berlangsung selama sebulan ini didukung Komnas Anak. Seto Mulyadi, Ketua Dewan Pembina Komnas Anak yang dikenal dengan Kak Seto ini memasukkan koin pertama di toples plastik besar. Diikuti oleh sejumlah ibu dan aktivis perlindungan anak di Bali.
“Untuk meningkatkan desakan publik, gerakan moral seperti ini penting seperti gerakan seribu sandal untuk AAL, anak yang terancam penjara karena mencuri sandal waktu ini, ujar Seto.
Ia mengatakan anak Indonesia masih di bawah ancaman karena ada sekitar 4000 kasus per tahun yang melibatkan anak baik sebagai pelaku dan korban. Sebagian besar diproses hukum namun sayangnya kurang pendampingan.
Di Bali Ia juga mengunjungi Lapas Denpasar di Kerobokan untuk meminta pengelola memisahkan tahanan anak dengan orang dewasa. Belasan anak ditahan di Lapas yang 300% overload ini terutama yang sedang dalam proses pengadilan.
Aksi pengumpulan koin ini juga dipancing oleh kasus penahanan anak selama lebih tiga bulan oleh kepolisian dan kejaksaan karena menjambret tas berisi uang Rp 1000 rupiah.
Seorang anak laki 14 tahun berinisial DW dijerat pasal pencurian dengan pemberatan dengan maksimal penjara 5 tahun. Ia dituntut tujuh bulan penjara oleh jaksa sebelum divonis bersalah namun dikembalikan ke orang tua pekan lalu.
Kedua orang tua DW datang saat launching kampanye koin ini di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bali. Anita, ibu DW mengatakan Ia tidak tahu bagaimana cara membebaskan anaknya sampai ditulis di media dan kemudian didampingi LPA.
DW yang ditangkap pertama kali pada Maret tahun lalu dibebaskan namun ditangkap kembali pada November. “Dia tak mengerti disuruh wajib lapor dan tak melakukannya. Tapi anak tak seharusnya ditahan lama, apalagi barang buktinya kecil,” ujar Ni Nyoman Masni, Ketua LPA Bali.
Usai ditahan di Polsek Denbar selama sebulan, DW ditahan di Lapas Denpasar selama hampir tiga bulan hingga jadwal sidang vonis, Selasa (10/1) ini. Masni mengatakan upaya untuk meringankan proses hukum untuk anak sangat sulit walau kasusnya kecil.
Pada tahun lalu LPA mendampingi 26 anak sebagai korban maupun pelaku. Hanya 3 dari belasan kasus pencurian dengan barang bukti kecil yang bisa diadvokasi dengan restorative justice, misalnya menghindari sidang peradilan.
Ia mencontohkan kasus pencurian 2 bungkus dupa di Klungkung, pencurian uang Rp 10 ribu di Gianyar, dan lainnya. Kedua kasus dengan sejumlah terdakwa anak ini berakhir di pengadilan dengan hukuman percobaan.
“Keputusan bersama sejumlah kementrian dan Jaksa Agung soal restorative justice untuk anak belum terlaksana karena aparat hukum banyak yang tidak paham dan berpatokan pada KUHP saja,” keluhnya. Sementara negara menurutnya belum bisa membina anak dengan baik dalam penjara dan membuat perilaku mereka bertambah buruk.
Anak-anak dalam tahanan polisi dan Lapas menurut Masni juga sangat rentan mendapat kekerasan terlebih dicampur dengan orang dewasa.
Kasus anak yang berhadapan dengan hukum pada 2010 menurut catatan LPA yang dikompilasi dari Polda Bali menyebutkan ada 162 kasus. Di antaranya anak sebagai pelaku 57 kasus, dan korban 105. Kasus terbanyak adalah pelecehan seksuak sebanyak 56 kasus. Diikuti kekerasan terhadap anak dan pencurian. Terbanyak di Kabupaten Buleleng sebanyak 78 kasus.