Teks Indra Darmawan, Foto Ilustrasi Internet
Bekerja 18 jam untuk penghasilan Rp 25 ribu per hari. Itu pun harus dibagi dua.
“Ten megaji,” ungkap Ketut Liing sambil menghela napas. Maksudnya, dia tidak mendapat gaji. Laki-laki ini bekerja sebagai penjaga toilet di sebelah barat daya Lapangan Puputan Badung, Denpasar. Dia hanya mendapat uang dari pengunjung yang memakai WC tersebut. Namun itupun harus dibagi lagi dengan mandor yang mengurus wilayah sana. ”Kalau hari-hari biasa, paling 25 ribu (rupiah). 12 (ribu rupiah) setor ke mandor,” ungkapnya akhir pekan lalu.
Memang tak banyak yang bisa dilakukannya. Kerjaan itu dia kerjakan sepenuh hati. “Tidak ada kerjaan lain lagi. Ya, dengan ini pun harus cukup,” tambah laki-laki dengan kulit yang mulai keriput ini.
Dalam 68 tahun perjalanan hidupnya, dia pernah bekerja sebagai buruh bangunan dan undagi (tukang pembuat rumah). ”Baru dua tahun terakhir kerja jaga WC,” katanya. Dia bekerja setiap hari di sana dari pagi pukul 6 pagi sampai pukul 11 malam. Kalau pengunjung Lapangan Puputan Badung sepi, biasanya saat siang dia pulang sebentar. Pulang untuk istirahat dan makan. “Tapi lebih sering beli nasi di dagang. Pakai uang itu,” akunya dengan sorot mata lurus ke depan.
Bapak empat anak dan kakek empat cucu ini berasal dari Candidasa, Karangasem. ”Di sini tinggal di Penjaitan,” katanya. Sedangkan anaknya bekerja di Dinas Kebersihan Pusat (DKP). ”Dua kerja di DKP. Cucu baru 13 bulan,” tambahnya.
Namun, sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari orang lain. Begitu pula Ketut Liing ini. Biasanya saat ada kerabat atau teman yang mengadakan kegiatan atau upacara, dia berusaha untuk hadir. Saat ada mejenukan (kunjungan kepada kerabat atau sahabat yang anggota keluarganya meninggal, untuk menghibur dan membantu materi sekedarnya) atau acara lain di kampungnya Tut Liing merasa kewalahan.
”Pas acara itu sedikit kewalahan. Biasanya bawa beras atau gula. Sekitar 40-50 ribu,” katanya dengan suara yang pelan. Itu dia lakukan semata-mata demi rasa sosialnya kepada kerabat atau masyarakat di kampungnya. Meskipun harus hemat dalam menggunakan uangnya yang terbatas. Yang terpenting bagi Tut Liing bisa berbuat tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain.
Di akhir pembicaraannya, dia berharap agar ada bantuan dan perhatian dari pemerintah setempat. Agar semua pekerja dan teman-teman sepertinya mendapat penghidupan yang cukup layak. ”Supaya ada bantuan dari pemerintah. Agar bisa hidup layak saja,” imbuhnya sambil menatap gedung Walikota Denpasar di seberang jalan yang begitu kaku dan dingin. [b]