• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Sunday, May 25, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Ketika Tanah Bali kian Tak Terbeli

Anton Muhajir by Anton Muhajir
5 February 2015
in Berita Utama, Kabar Baru
0 0
1

Maraknya iklan promosi jual tanah di Bali

Nengah Kribo tiba-tiba bercerita tentang sepinya bisnis tanah di Bali.

Bujangan tetangga saya itu sehari-hari jualan es sambil sesekali jadi makelar tanah. “Tumben nih bisnis makin sepi,” katanya akhir pekan lalu.

Nengah tak sendiri. Beberapa tetangga saya pun memiliki pekerjaan sama.

Mereka tidak membeli atau menjual tanah. Hanya menemukan pembeli bagi penjual atau sebaliknya, menemukan penjual bagi pembeli.

Hasilnya lumayan. Dua tahun lalu, Nengah mendapatkan 1 are tanah di kawasan Peguyangan, Denpasar Utara. Tanah tersebut hasil dari penjualan total sebanyak 4 are, di mana 3 are untuk pembeli dan 1 are untuknya. Jual beli tanah di Bali memang diukur dalam jumlah are atau 100 meter persegi. Rata-rata luas 1 rumah warga di Denpasar antara 1-2 are termasuk halaman.

Baginya, itulah hasil kerja sebagai makelar tanah hingga saat ini. Jika dijual, tanah 1 are tersebut sudah laku kira-kira Rp 300 juta. “Waktu itu yang jual tanah butuh uang cepat. Makanya bisa dapat murah,” Nengah melanjutkan.

Setelah panen besar itu, dia mengaku tak pernah dapat pembeli dalam jumlah besar. Paling hanya jutaan atau ratusan ribu.

Jika Nengah makelar tanah hitungan are, maka teman saya yang lain, Sanat Kumara bermain dengan tanah puluhan hektar. Lokasinya juga strategis dan eksklusif. Harganya miliaran per are.

Pertengahan Januari lalu dia mengirim penawaran properti melalui email kepada saya. Pengusaha travel yang kini merambah dunia properti tersebut menawarkan 16 unit vila di daerah Petitenget, Seminyak, Kuta Utara. Ini kawasan ngehits di pusat magnet pariwisata Bali saat ini.

Vila bulan madu (honeymoon villa) di lahan seluas 2.200 meter persegi itu dia tawarkan dengan harga Rp 90 miliar.

Dua bulan sebelumnya, dia juga mengirimkan email penawaran ke saya untuk jual beli tanah. Lokasinya di sekitar Jalan By Pass Ngurah Rai, Denpasar. Tanah seluas 5,5 are tersebut dia tawarkan dengan harga Rp 2 miliar per are.

Saya senang mendapatkan kiriman email-email penawaran tersebut. Selain senang karena dianggap punya uang sebanyak itu, juga karena senang jadi bisa tahu perkembangan harga tanah di Bali dari hari ke hari.

Selebihnya, saya mengelus dada. Betapa tanah di Bali kian melambung tinggi dan tak terbeli.

Membubung Tinggi
Berdasarkan pengalaman saya pribadi, harga tanah di Bali memang kian melambung tinggi. Sepuluh tahun lalu, tanah di tempat saya tinggal sekarang hanya Rp 50 juta per are. Sekarang, harga tanah di pinggiran Kota Denpasar itu sudah naik jadi Rp 450 juta per are.

Di kota lain di sekitar Denpasar juga tak jauh beda. Ketut Gempawan, teman saya lainnya, bercerita bahwa harga tanah di Gianyar, tempat tinggalnya saat ini sudah sampai Rp 300 juta per are. Padahal, dua tahun lalu dia beli hanya Rp 250 juta sudah termasuk rumahnya.

Itu baru di tempat pemukiman, belum di pusat kota atau pusat pariwisata seperti di Kuta. Di sana harganya bisa sampai Rp 2 miliar per are seperti ditawarkan teman saya Sanat Kumara.

Begitulah kenaikan semena-mena harga tanah di Pulau Dewata. Kian mahal dan saya yakin makin susah dibeli.

Sebagai gambaran, harga tanah di Denpasar rata-rata Rp 450 juta per are. Untuk membangun rumah sederhana mungkin habis Rp 250 juta. Artinya, satu rumah di tanah satu are sekitar Rp 700 juta. Itu harga minimal.

Saat ini, upah minimum regional tertinggi di Bali di Kabupaten Badung dengan nilai Rp 1,9 juta. Upah minimum di Bali rata-rata Rp 1,6 juta. Baiklah. Anggap saja pendapatan maksimal di Bali sampai Rp 5 juta per bulan, maka perlu waktu 140 bulan atau sekitar 11 tahun untuk bisa membangun rumah di lahan 1 are.

Itu pun jika harga tanah tidak terus menanjak naik. Itu pun jika semua hasil per bulan ditabung.

Sederhananya, harga tanah di Bali memang kian tinggi dan susah terbeli bagi warganya sendiri. Toh, ironisnya, penjualan tanah di Bali tetap laris manis saja. Pembeli dari luar pulau yang justru datang bertubi-tubi.

Pembangunan vila dan rumah di daerah Ubud yang menggantikan sawah

Alih Fungsi
Kian larisnya tanah di Bali tersebut seiring sejalan dengan kian banyaknya alih fungsi lahan, terutama lahan pertanian.

Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, pada 2009 luas lahan pertanian di Bali 350.713 ha atau sekitar 62 persen dari luas Provinsi Bali. Dua tahun kemudian lahan pertanian turun jadi 61,35 persen atau 345.807 ha. Pada 2012 turun lagi hanya tinggal 207.047 ha atau 36,73 persen dari luas luas Provinsi Bali.

Lahan-lahan pertanian di Bali yang semula adalah sawah, lengkap dengan sistem subak dan segala perangkat budaya, kini berganti dengan pusat-pusat bisnis, fasilitas pariwisata, perumahan, hingga kafe remang-remang. Pertanian yang menjadi dasar budaya Hindu Bali berganti dengan pariwisata. Dari masyarakat agraris, Bali berubah menuju masyarakat kapitalis.

Seiring dengan terjadinya alih fungsi lahan pertanian tersebut, berubah pula kebudayaan orang Bali. Bagi orang Hindu Bali, tanah bukanlah semata tempat produksi. Di sana mereka juga membangun agama dan kebudayaan yang bertahan selama ribuan tahun.

Dalam catatan budayawan muda Bali, Sugi Lanus, tanah adalah tempat natah tempat di mana orang Hindu Bali membangun sanggah dan tugu, tempat umat Hindu Bali menghaturkan sesaji kepada Sang Hyang Widhi maupun para leluhur. Karena itu, menurut Sugi, persoalan tanah di Bali adalah juga persoalan Tuhan.

Nyatanya, bagi warga Bali sendiri, tanah tempat menghaturkan bakti tersebut kian tak terbeli.

Bukan Surga Ekonomi
Melihat kondisi kian beralihnya kepemilikan tanah dan alih fungsi lahan di Bali, saya jadi ingat buku Sisi Gelap Pulau Dewata karya Geoffrey Robinson. Dalam buku tersebut, Robinson sudah menceritakan bagaimana peliknya urusan tanah bagi orang Bali sejak zaman Kolonial, tepatnya 1920-an.

Ketika itu, pajak tanah merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah kolonial di Bali. Pajak tanah di Bali bahkan lebih mahal 1,5 hingga 2 kali dibandingkan daerah lain di luar Jawa dan Madura. Bahkan, untuk daerah tertentu, harga tanah dan pajaknya pun lebih mahal dibandingkan di Jawa sekalipun.

Pada 1927, pajak tanah dari warga Bali mencapai dua pertiga dari seluruh pendapatan pajak tanah pemerintahan kolonial di luar Jawa dan Madura. “Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa tanah bukanlah surga ekonomi bagi orang Bali melainkan menjadi sumber pajak bagi pemerintah,” tulis Robinson.

Karena mahalnya pajak, maka petani pemilik terpaksa menjualnya. Tanah pun berpindah kepemilikan ke segelintir orang-orang kaya dan ningrat. Banyak warga Bali menjadi tuna-tanah.

Hampir seratus tahun kemudian, kejadian sama berulang. Tanah di Bali makin mahal dan tak terbeli. Bedanya, kepemilikan tanah makin berpusat pada sekelompok pemodal. [b]

Tags: BudayaLingkunganSosial
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Anton Muhajir

Anton Muhajir

Jurnalis lepas, blogger, editor, dan nyambi tukang kompor. Menulis lepas di media arus utama ataupun media komunitas sambil sesekali terlibat dalam literasi media dan gerakan hak-hak digital.

Related Posts

Apakah Awig-awig Masih Bertaji Mengadang Alih Fungsi Lahan?

Apakah Awig-awig Masih Bertaji Mengadang Alih Fungsi Lahan?

28 March 2025

Bali Hampir Habis, Semenjana dan Tergantikan

4 January 2025
Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

22 July 2024
Ketika Mall Mengubah Tata Kota

Ketika Mall Mengubah Tata Kota

15 May 2024
TPS Kelating: Bekas Galian C yang “Diserbu” Sampah Penghuni TPA Suwung

TPS Kelating: Bekas Galian C yang “Diserbu” Sampah Penghuni TPA Suwung

6 April 2024
Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

23 October 2023
Next Post
Sinema Bentara Adakan Festival Film India

Sinema Bentara Adakan Festival Film India

Comments 1

  1. Agung Frans says:
    10 years ago

    Tulisan berkualitas yang dikemas dengan menarik..rasanya mustahil bagi orang Bali untuk bisa membeli tanah dipulau sendiri. Harganya tidak masuk akal, semoga akan cepat terjadi klimaks harga dan penurunan harga.

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Rumah Singgah Harmoni, Program Jembrana untuk Warganya yang Sakit di Denpasar

Rumah Singgah Harmoni, Program Jembrana untuk Warganya yang Sakit di Denpasar

24 May 2025

Benarkah Gelombang PHK Tak Menyentuh Media Massa Bali?

23 May 2025
Percepatan Pemanfaatan PLTS Atap

Percepatan Pemanfaatan PLTS Atap

23 May 2025
Mendorong Tata Krama Berwisata di Bali

Mendorong Tata Krama Berwisata di Bali

22 May 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia