Sejumlah pengacara senior, akademisi, organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan lainnya mendiskusikan laporan dugaan makar dan pemufakatan makar pada Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Kamis (5/8) secara online. Tanda Bukti Laporan Pengaduan Masyarakat menyebut pelapor adalah asisten advokat pada 2 Agustus 2021 ke Polda Bali.
Dengan keterangan laporan gugaan tindak pidana makar dan dugaan pemufakatan makar dengan teradu Ni Kadek Vany Primaliraning sebagai Direktur LBH Bali dan korbannya adalah konstitusional NKRI. Vany, ibu muda advokat publik ini mengatakan pelaporan pengaduan masyarakat (dumas) ini ada kaitan dengan pemberian bantuan hukum pada peserta aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Padahal pendampingan hukum adalah kewajibannya sebagai advokat publik dan sesuai prosedur. Peserta aksi sudah ada surat pemberitahuan ke Polresta Denpasar dan menyampaikan surat untuk pendampingan hukum ke LBH Bali.
Ia menjelaskan, peserta aksi parkir di LBH Bali menuju aksi di Polda Bali. Namun AMP dihadang dekat kantor LBH oleh ormas dan aparat kepolisian menuju Polda Bali. Akhirnya aksi dilakukan di LBH Bali. Aksi ditutup pembacaan pernyataan sikap.
Setelah itu aksi bubar. Vany mempertanyakan makar apa yang ditujukan ke LBH Bali karena ia menjalani profesi advokat dan pemberi bantuan hukum. “Mendampingi klien sebagai implementasi konstitusi, tak membedakan klien,” katanya. Hal yang sama juga ia lakukakan ketika mendampingi aksi mahasiswa dan buruh.
Vany memang beberapa kali terlihat mendampingi aksi-aksi mahasiswa yang menyuarakan haknya berpendapat dan mengkritisi kebijakan seperti aksi Reformasi Dikorupsi dan Omnibuslaw. Terutama saat mahasiswa dihadang aparat atau dihalang-halangi haknya.
Muhammad Isnur, Ketua YLBHI Bidang Advokasi mengatakan sangat banyak lembaga yang sudah mendukung LBH Bali. Mengecam aduan makar sebagai bentuk serangan ancaman balik pelaksana bantuan hukum. “Bukan hal pertama, sering YLBHI dikriminalisasi. Sering jadi target serangan. Pengacara LBH adalah pembela HAM, kasus kriminalisasi ii sangat diperhatikan PBB,” paparnya.
Apalagi sudah banyak UU yang melindungi kerja-kerja advokat, misalnya Pasal 11 tentang hak impuitas, advokat dilindungi tak bisa dipidana atau perdata, dan Pasal 16 UU Advokat. Tak hanya di peradilan juga di luar peradilan. “Menghina bantuan hukum di kasus makar ini, mirisnya dilakukan calon advokat,” Isnur heran.
Ancaman ini menurutnya menunjukkan demokrasi Indonesia mundur, pejuang demokrasi dan yang krtitis malah diancam. Ia mendesak kepolisian tak menindaklanjuti dan menghrmati pendamping hukum. Berikutnya, ia berharap organisasi advokat beri perlindungan agar bisa terus melaksanakan tugasnya sebagai advokat publik. Untuk aksi AMP, Isnur menyebut kebebasan berekspresi dan berpendapat dilindungi konstitusi.
Gede Widiatmika, advokat senior alumni LBH Bali mengatakan kepolisian harus membedakan dumas dengan pelapor. “Kalau dumas, biarkan saja, mungkin numpang popularitas. Polda Bali paham gak? Pelapor harus diberi edukasi, jangan asal lapor, harus bertanggungjawab dengan laporannya. Belajar UU Advokat dan bantuan hukum,” bebernya menanyakan lembaga yang diatasnamakan pelapor dumas.
Widiatmika meminta LBH merespon secara profesional saja. “Bila perlu ajak debat publik, ajarkan dia bagaimana bantuan hukum dilakukan,” ketusnya.
I Dewa Gede Palguna, mantan hakim Mahkamah Konstitusi juga heran dengan dumas ini. “Saya jawab ketawa, tidak mengerti tugas advokat. Ini pengaduan masyarakat, tak usah terlalu serius,” pintanya. Ia juga menyebut sangat lucu kalau bilang makar, karena artinya sudah ada niat menggulingkan pemerintahan yang sah, ada tindakan permulaan.
Polda menurut Palguna tidak akan gegabah menangani. Bahkan tanpa perlu pengujian di MK akan paham, ada persyaratan tertentu untuk menyebut makar. “Tahu persis sejarah LBH, sejak mahasiswa ikut kegiatannya. Ada ideologi tertentu, semangat equality before the law, agar tidak sendirian, didampingi agar memenuhi prinsip rule of the law,” jelasnya tentang prinsip pendampingan hukum.
Bahkan orang yang sudah ada bukti bersalah perlu pendampingan hukum. Di satu pihak negara dilindungi melakukan tugasnya ketertiban umum, di sisi lain tak boleh mengggar rule of law. “Kenapa advokat pakai jubah? Agar setara dengan jaksa penuntut,” contohnya.
Ketentuan hukum terkait penumpasan separatisme juga jelas, batasannya tak melanggar hukum HAM dan humaniter. Apalagi kita peserta geneva concention. Itu tugas kita mengingatkan sebagai warga. Agar tidak sewenang-wenang.
“Kalaupun kasusnya makar, apakah LBH ikut makar? Ya tidak, karena melakukan pendampingan, sumpah advokat. Prinsip itikad baik, akan melakukan pendampingan sesuai kemampuan profesionalitas terbaiknya?” Palguna mengingatkan tugas advokat. Muhammad Zainal Abidin dari LKBH Muhammadiyah Bali juga menyatakan mendukung LBH Bali dalam konteks pendampingan hukum.
Pernyataan sikap
Dalam pernyataan sikap LBH Bali yang didukung 75 organisasi di Bali dan luar Bali meminta kepolisian mengedukasi pelapor. Empat pernyataan sikap tersebut adalah, pertama, mengecam tindakan upaya kriminalisasi terhadap direktur LBH Bali dan mahasiswa AMP Bali. Kedua, menuntut pihak terkait untuk mencabut laporannya karena tindakannya merupakan bentuk pembungkaman terhadap pembela HAM dan demokrasi. ?Ketiga, menyayangkan pihak aparat kepolisian yang tidak melakukan edukasi terhadap pelapor pada saat melakukan pelaporan sebagai tegaknya asas legalitas dan pendalaman pengetahuan konstitusi. Keempat, mendesak pemerintah agar melindungi kebebasan berpendapat di muka umum sesuai dengan konstitusi.
Pada Senin, 2 Agustus 2021, organisasi Patriot Garuda Nusantara (PGN) melaporkan Direktur LBH Bali, Ni Kadek Vany Primaliraning ke Polda Bali dengan nomor laporan Dumas/539/VIII/2021/SPKT/Polda Bali, dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bali juga dilaporkan dengan nomor laporan: Dumas/538/VII/2021/SPKT/Polda Bali atas dugaan makar.
Ini bermula pada Senin, 31 Mei 2021, ketika sejumlah mahasiswa Papua yang tergabung dalam AMP berencana melakukan aksi damai di depan Polda Bali. Namun, karena massa aksi dihadang oleh Ormas di perjalanan, maka titik aksi damai dipindah ke depan kantor LBH Bali. Saat itu LBH Bali memberikan bantuan serta pendampingan bagi AMP dalam menyampaikan aspirasi damainya terkait kondisi Papua saat ini sehingga pada waktu itu, LBH Bali sedang menjalankan mandat konstitusi yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) dalam UUD Negara RI 1945 dan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Pada poinnya melindungi serta menjamin hak warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), serta agar setiap warga negara terhindar dari perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.
Aksi damai Aliansi Mahasiswa Papua sebagai penyampaian pendapat di muka umun yang merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD Negara RI 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta dalam pelaksanaannya telah memenuhi prosedur Pasal 10 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sebagaimana didasarkan pada surat pemberitahuan No 02/AMP-KK-BALI/III/2021.
Aksi damai ini merupakan implementasi dari hak yang dilindungi konstitusi Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar RI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan pula bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. ?Pasal makar yang dituduhkan kepada direktur LBH Bali disebut mengada-ngada. Makar merujuk kepada Pasal 87 KUHP, “dikatakan ada makar unutk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaa seperti dimaksud dalam pasal 53”. Sehingga tidak ada satupun tindakan LBH Bali yang memenuhi unsur makar sesuai Undang-undang.
Karena yang dilakukan oleh LBH Bali adalah memberi bantuan hukum dan menjalankan mandat konstitusi melalui profesi advokat, yakni Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi “Advokat wajib memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Selain itu memiliki hak imunitas berdasarkan Pasal 16 Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.”
Demikian juga Pasal 11 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat”
Maka dari itu, tidak bisa dikaitkan antara tindak pidana yang didakwakan kepada klien kepada advokat pendampingnya. Setiap warga negara mempunyai hak bantuan hukum atas tindak pidana apapun untuk memastikan jaminan kemerdekaan menyatakan pendapat. Untuk itu, dalam mendampingi klien, berdasarkan Peraturan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya pada Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.”
Selanjutnya pada ayat (2): “Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat”. Sehingga LBH Bali juga sedang menjalankan mandat konstitusi dalam UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pelaporan atas Makar yang ditujukan kepada Direktur LBH Bali menjadi pertanyaan, bagaimana advokat yang sedang menjalankan tugasnya dikatakan sedang memfasilitasi makar dan menjadikan konstitusional RI sebagai korbannya, padahal LBH Bali sedang melaksanakan mandat konstitusi yaitu memberikan Bantuan Hukum serta mengimplementasikan asas praduga tidak bersalah, asas persamaan di depan hukum, dan asas legalitas.
Kejadian ini justru dapat dijerat menjadi Pelaporan Palsu sebagaimana di atur dalam Pasal 220 KUHP. Menimbang kronologi dan analisis peristiwa yang terjadi terhadap Direktur LBH Bali dan mahasiswa AMP Bali, LBH menegaskan bahwa telah terjadi upaya kriminalisasi terhadap pembela HAM yang menjalankan amanat konstitusi serta pemberangusan kebebasan berpendapat secara masif dan sistematis.