Dikirim Ni Komang Erviani
Kepemilikan hutan oleh masyarakat terancam hilang karena skema perdagangan karbon yang akan dirundingkan dalam sidang UNFCCC di Bali, 3-14 Desember. Demikian dikatakan Hira P. Jhamtani, aktivis Third World Network, LSM internasional yang menggeluti lobi-lobi internasional bidang lingkungan dan globalisasi. Hira mengatakan hal ini pada diskusi soal isu sidang UNFCCC bersama wartawan, Walhi Bali, dan AJI Denpasar di Sloka Institute, Denpasar, Jumat (30/11).
Salah satu agenda pemerintah Indonesia adalah negoisasi perdagangan karbon. Secara teknis, Indonesia akan menghitung berapa potensi pendapatan dari hutan Indonesia dalam menyerap karbon untuk mengurangi emisi. Jika pada UNFCCC ini disepakati harga perdagangan karbon ini, lalu bagaimana dengan hak masyarakat Indonesia atas kepemilikan hutan?
“Apakah nanti akan ada polisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengaawasi hutan Indonesia yang diperdagangkan itu?” tanya Hira, aktivis Indonesia yang berada di baris depan menolak rekayasa genetika dan rezim paten Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ini.
Selain itu, bagaimana hak masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan seperti mengambil buah atau bahan makanan. Padahal sebagian masyarakat adat di taman nasional Indonesia eksis melindungi hutan karena mendapatkan manfaat dari hasil hutan untuk kehidupan.
Skema perdagangan karbon ini adalah salah satu isu yang akan dibahas dalam forum UNFCCC nanti. Selain itu juga ada pembicaraan mengenai perdagangan emisi dalam upaya negara-negara maju mengurangi emisinya. Hal ini dipaparkan juiga dalam Protokol Kyoto yang belum diratifikasi oleh Amerika Serikat, negara emitor terbesar di dunia.
Karena terancamnya kepemilikan hutan, Hira mengharapkan masyarakat sipil terus mengawasi perundingan ini. Perdagangan karbon tidak bisa dielakkan karena sudah masuk agenda nasional. “Itu realita. Kalaupun kita teriak tidak boleh jual beli karbon, kenyataannya mereka akan tetap. Jadi kita harus cerdas menyikapi,” tambah lulusan Fakultas Biologi Universitas Nasional ini.
Hira mengingatkan, negara-negara maju getol ingin membeli hak pengelolaan hutan karena ada bisnis masa depan disitu, yakni bisnis keragaman hayati. Bisnis itu menurut Hira adalah sumber daya genetik.
Hal ini dibenarkan Agung Wardana, aktivis Walhi Bali. Menurut Agung beberapa hutan nasional di Indonesia termasuk Taman Nasional Bali Barat sudah dilirik untuk penelitian kenekaragaman hayati ini. “Banyak hutan diamati, ditemukan hal baru, lalu dipatenkan dan jadi komoditi,” kata Agung.