Kebun komunitas baru saja dibangun setahun yang lalu oleh kelompok petani di Dusun Sendang Pasir, Pemuteran, Buleleng. Hingga saat ini kebun dipenuhi dengan berbagai macam tanaman lokal. Kami menghampiri kebun yang dikelola secara swadaya ini untuk melihat upaya penerapan permakultur yang dilakukan petani setempat.
Terlihat bendera berkibar di tengah kebun dengan gambar petani membawa cangkulnya. Di sana kami bertemu Rasik dan petani lainnya. Mereka adalah Serikat Petani Suka Makmur (SPSM) yang telah berjuang hingga puluhan tahun demi merebut kembali status hak atas kepemilikan tanah. Ketika selama itu pula, para petani mengelola dan dihidupi oleh tanah eks HGU ini.
Kenapa Menjadi Tanah Eks-HGU?
Menurut Putusan Pengadilan Negeri 2011, lahan seluas 2.469.000 m² ini dimiliki oleh Henry Nicholas Boon pada masa pemerintahan Belanda sejak tahun 1915. Setelah Indonesia merdeka, tanah tersebut menjadi milik pemerintah yang telah dibeli seharga Rp200.000. Kemudian pemerintah Provinsi Bali memberikan lahan ini kepada Yayasan Kebaktian Pejuang (YKP) untuk dikelola. Pasca pemberian hak pengelolaan, YKP membentuk badan usaha NV. Margarana (sekarang menjadi PT. Margarana) yang bergerak di bidang pertanian.
Pada 18 Desember 1957, PT. Margarana mengajukan permohonan Hak Guna Usaha (HGU) kepada Direktur Jenderal Agraria di Jakarta. Keputusan ini baru terbit pada 27 Desember 1980 dengan Nomor 78/HGU/DA/1980. Namun setelah 25 tahun belum ada perpanjangan kembali, sehingga sertifikat tersebut berakhir jangka waktunya pada 31 Desember 2005.
Tahun 2011 Pemerintah Provinsi Bali mengajukan gugatan terhadap PT. Margarana terkait tanah eks HGU nomor 1/ Desa Pemuteran. Gugatan ini berlangsung sampai tingkat kasasi pada tahun 2018 dan dimenangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.
Kondisi Masyarakat di Tengah Sengketa
Bila di meja persidangan, tanah seluas lebih dari 200 hektar tersebut diperkarakan karena masa pengelolaan dan ditelantarkan. Lain ceritanya ketika kami mendengar kisah para petani yang telah mengelola kebunnya secara turun temurun dari leluhurnya dulu, bahkan pada masa penjajahan Belanda. Rasik pun sempat menunjukan kuburan leluhurnya yang disandingkan dengan kuburan Henry Nicholas Boon.
Ketika PT. Margarana mengelola lahan seluas ratusan hektar ini, komoditasnya adalah kapuk dan kelapa. Namun masyarakat yang merawat lahan tersebut tidak memperoleh kesejahteraannya. “PT melarang kita menanam tanaman pangan, rakyat kok disuruh kerja tapi masih busung lapar,” ungkap Rasik, ketua SPSM.
Namun lambat laun perusahaan dilanda kerugian. Kemudian pada 1990an, ketika masyarakat sudah mulai memahami kedaulatannya, mereka mulai menanam tanaman pangan. “Petani sudah mulai melawan, sudah menanam ketela, jagung, dan tanaman lainnya,” jelas Rasik sambil menyodorkan ketela goreng kepada kami.
Selain ketela, tanaman pangan asli Singaraja pun mulai bangkit kembali di lahan eks HGU ini. Sorgum yang juga biasa disebut Buleleng kembali dibudidayakan pada 2019 silam. Tanah dan iklim yang sesuai membuat sorgum dengan mudah tumbuh. Namun ketika hadirnya beras melalui kebijakan pangan nasional, membuat sorgum mulai dilupakan. “Orang-orang tua disini bilang dulu mereka identik dengan sorgum, tapi karena kebijakan transmigrasi dan perubahan pangan jadi beras, hilanglah budidaya sorgum. Bukan cuma benihnya, tapi pengetahuannya juga hilang,” tutur Roberto yang pernah melakukan penelitian terkait keberadaan sorgum di Pemuteran.
Roberto pun kembali menjelaskan tidak hanya tentang tanam menanam, namun erat kaitannya dengan identitas lokal. Bahwa perjuangan masyarakat Sendang Pasir tidak hanya tentang tanah, tapi juga pangan lokal yang sebenarnya sangat adaptif dan dimanfaatkan sejak dulu.
Perjuangan Petani Menuntut Haknya
Selama puluhan tahun petani di Dusun Sendang Pasir tidak menemui titik terang terhadap status tanah yang telah mereka rawat secara turun temurun. Bahkan saat ini pemerintah berupaya untuk mengambil kembali lahan tersebut. Pasalnya dari tahun 2005, status HGU PT. Margarana telah berakhir. Menurut pengakuan Made Indrawati (KPA Bali) dalam wawancaranya bersama Radar Bali, selama 30 tahun, masyarakat di lahan konflik telah mendatangi kantor pemerintah berkali-kali untuk memperjuangkan hak milik atas tanah yang telah mereka rawat.
Namun ketika putusan Mahkamah Agung nomor 591 PK/Pdt/2018 keluar pada 10 Agustus 2018, justru tidak memberikan angin segar bagi petani Sendang Pasir. Lahan eks HGU I Margarana saat ini menjadi areal kekuasaan pemerintah Provinsi Bali, meskipun masyarakat setempat telah mengajukan lahan tersebut sebagai objek reforma agraria.
Bentuk kekecewaan masyarakat pun terlihat dari dipasangnya spanduk besar di pinggir Jalan Singaraja-Gilimanuk yang bertuliskan “Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Tanah untuk Rakyat!! Laksanakan Reforma Agraria Sejati!!”. Sayangnya tidak sampai sehari, spanduk tersebut diturunkan oleh Trantib Kecamatan Gerokgak.
Meskipun suara mereka berulang kali dibungkam, namun Serikat Petani Suka Makmur tidak tinggal diam. Dari 1993, mereka telah mengupayakan berbagai langkah litigasi (jalur hukum kepada pemerintah) dan non-litigasi (jaringan bersama masyarakat) untuk mempertahankan ruang hidupnya. Dimulai dari melakukan pertemuan bersama pemerintah, mengajak masyarakat untuk bersolidaritas, hingga saat ini membangun kebun komunitas.
Kebun Komunitas Kuatkan Solidaritas
Kehadiran kebun komunitas pada pertengahan tahun 2020 silam telah memberikan dampak yang signifikan bagi gerakan petani, terutama terkait dengan regenerasi. Berkat hadirnya kebun komunitas, pemuda (anak-anak petani) mendapat kesempatan untuk merajut hubungan dengan sesama dan lingkungan. Terlebih ketika pelatihan Agro-Ekologi Progresif diadakan pada Desember 2020. Pelatihan ini menjadi momen pertemuan para pemuda Sendang Pasir dengan mahasiswa dari berbagai daerah.
Selain terawatnya perjuangan mereka, kehadiran kebun komunitas juga memiliki tujuan untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat. Mereka dapat mandiri secara pangan, karena segala kebutuhan pokok terpenuhi dari kebun pribadi dan komunitas. Tidak lagi bergantung hanya pada beras, melainkan ada sorgum, jagung, dan singkong.
Beragamnya jenis tanaman yang ada di kebun kolektif ini juga berkontribusi dalam menjaga keberagaman benih lokal. Bahkan ada juga kacang-kacangan lokal yang hampir dilupakan masyarakat Bali, seperti: koro, koro pedang, bedok, komak udang, benguk, dan masih banyak lagi.
Secara perlahan masyarakat di Dusun Sendang Pasir mulai menerapkan permakultur. Dari kebun kolektif yang diupayakan untuk ditanami berbagai jenis tanaman dan tidak menggunakan bahan kimia, lama-lama menular ke kebun-kebun produksi dan pekarangan masyarakat di Sendang Pasir. Mereka mulai mengerti dampak buruk penggunaan pestisida dan pupuk kimia untuk keberlanjutan tanah dan kebun. Kemudian mulai menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan produksi, untuk menjaga ekosistem dan keberlanjutan petani itu sendiri.
Disclaimer: cerita ini merupakan perjalanan IDEP Foundation untuk mengenal upaya masyarakat menerapkan permakultur di Bali. Fakta di lapangan diperoleh melalui wawancara dan berkunjung langsung. Selain itu, sumber lainnya diperoleh melalui data sekunder.