
Sepanjang tahun 2023-2024, Catatan Tahunan (Catahu) LBH Bali mencatat kasus kekerasan berbasis gender paling banyak terjadi, yaitu sebanyak 49 kasus dengan 145 korban terdampak. Dari 49 kasus kekerasan berbasis gender, 34 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pelaku yang paling banyak muncul dalam aduan kasus KDRT yang diterima oleh LBH Bali adalah suami dengan 29 kasus. Ada pula pelaku mantan suami sebanyak 3 kasus, dan pelaku yang merupakan anaknya sendiri sebanyak satu kasus.
Favoritisme terhadap laki-laki
Dari banyaknya kasus KDRT yang diterima, LBH Bali mencatat adanya pola yang sama dalam setiap kasus, yaitu adanya favoritisme terhadap laki-laki. Hal ini terjadi lantaran garis keturunan masyarakat Bali mengedepankan laki-laki sebagai purusa, sementara perempuan sebagai pradana. Berdasarkan sistem kewarisan masyarakat Bali, purusa memiliki hak utama dalam warisan, sedangkan pradana memiliki hak terbatas.
“Perempuan itu ditempatkan sebagai orang yang harus bisa melakukan semuanya dalam satu waktu,” ungkap Fenny Sulistya, Pemberi Bantuan Hukum (PBH) ruang sipil dan minoritas kelompok rentan LBH Bali.
Fenny mengungkapkan salah satu kasus yang didampinginya, sebut saja nama korban AZ dan nama pelaku WK. Sebelum menikah, AZ dipaksa resign oleh WK. Alasannya tentu untuk mengurus rumah tangga saat mereka menikah, sementara yang bertugas untuk mencari nafkah hanya WK.
Selama menikah, AZ sangat bergantung dengan penghasilan suaminya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika dikaruniai seorang anak, WK tidak hanya melimpahkan pekerjaan domestik kepada AZ, tetapi juga menuntut AZ untuk merawat dan mendidik anak. Belum lagi penghasilan WK seorang diri ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun kemudian istrinya AZ ditelantarkan karena suaminya tidak bisa menafkahi.
Catahu LBH Bali mengutip sloka Kitab Manu Smrti yang menunjukkan peran ganda perempuan Bali, sebagai berikut:
- Perempuan adalah pelanjut keturunan keluarga dan bangsa serta sebagai benang sutra penyambung peredaran.
- Perempuan berperan sebagai pendidik, pembina serta pembentuk kepribadian dasar seorang anak.
- Perempuan sebagai pelaksana crada agama dalam kehidupan rumah tangga maupun di masyarakat.
- Perempuan adalah sumber kebahagiaan dan kesejahteraan.
Dalam kasus tersebut, perempuan dituntut menjalankan peran ganda. Bukan hanya mengurus sumur, dapur, kasur, tetapi juga harus memenuhi peranan di sektor publik. Fenny menyebutkan bahwa kultur ini membuat perempuan rentan mengalami penelantaran.
Banyak korban yang berhenti di tengah jalan
Aduan KDRT yang diterima LBH Bali kebanyakan datang dari korban yang telah mengalami kekerasan fisik. “Kekerasan fisik itu justru udah jadi puncak gunung esnya. Tapi kekerasan psikis lainnya itu sebenarnya sudah dilakukan sejak lama gitu,” terang Fenny.
Naasnya, sebagian besar aduan KDRT tidak sampai ke ranah hukum, banyak yang berhenti di tengah jalan. Hal ini terjadi bukan karena korban tidak memiliki komitmen, tetapi karena kondisi psikis yang terganggu sejak awal. “Jadi untuk melanjutkan kasus, melanjutkan laporan pidana itu mereka udah nggak punya tenaga gitu. Apalagi yang paling banyak itu kan KDRT, mereka itu kan masih ada dalam satu rumah gitu atau dalam satu lokasi yang sama gitu sama pelaku,” ungkap Fenny.
Situasi tersebut membuat korban rentan mengalami gangguan emosional, sehingga korban memutuskan untuk berhenti di tengah jalan. Fenny menjelaskan bahwa penanganan kasus kekerasan berbasis gender tidak bisa disamakan dengan kasus lain. Sebagai pendamping, Ia harus mendengarkan kisah korban terlebih dahulu. Jika korban belum kuat secara mental, LBH Bali akan merujuk korban ke UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak).
“Kita sebagai LBH itu kan kita bukan orang yang menuntut agar korban harus melaporkan, harus melanjutkan kasusnya, tapi kalau memang korbannya udah nggak mau ya kita nggak bisa paksa juga,” ujar Fenny. Namun, ada beberapa kasus KDRT yang didampingi oleh LBH Bali sampai ke pengadilan, bahkan mendampingi hingga proses perceraian. Sejauh ini setidaknya ada empat kasus KDRT yang didampingi hingga proses perceraian.
Salah satu kasus KDRT yang berhenti di tengah jalan sebut saja korban CW. Korban saat itu melakukan konsultasi ke LBH Bali terkait kasus KDRT yang dialaminya. LBH Bali bersama CW hendak melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Polisi yang menerima laporan malah membebankan pembuktian kepada CW. “Korban yang justru disuruh melengkapi alat bukti dan saksi pada saat laporan agar laporannya bisa diproses,” jelas Fenny. Akhirnya CW memutuskan tidak melanjutkan proses hukum tersebut.
Padahal dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa, “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.” Dilansir dari Konde.co, idealnya pada kasus KDRT, alat bukti yang dibutuhkan adalah keterangan saksi korban dan visum et repertum untuk membuktikan adanya luka yang diakibatkan kekerasan fisik.
Anak juga menjadi korban
Selain perempuan sebagai korban, KDRT juga memberikan dampak yang sangat besar kepada anak. Maka dari itu, selain merujuk ibu ke UPTD PPA, LBH Bali juga merujuk anak untuk mendapatkan pemulihan psikis.
Komnas Perempuan menyebutkan beberapa kemungkinan yang dapat dialami anak dalam keluarga yang dipenuhi kekerasan, sebagai berikut:
- Laki-laki yang menganiaya istri dapat berpotensi menganiaya anak.
- Perempuan yang mengalami kekerasan dari pasangannya dapat mencurahkan amarah dan frustasi pada anak.
- Anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan melindungi ibunya.
- Anak akan sulit mengembangkan perasaan tentram, ketenangan, dan kasih sayang.
- Anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, boleh, bahkan mungkin seharusnya dilakukan.
Dampak tersebut tergambar dalam salah satu kasus KDRT yang ditangani oleh Fenny. “Anaknya tuh benar-benar yang jadi pemurung. Kemudian juga bahasanya lumayan kasar karena sering mendengar orang tuanya cekcok dengan bahasa yang kasar,” ujar Fenny.
Selama lima tahun terakhir, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) mencatat terjadinya peningkatan kasus KDRT di Bali. Pada tahun 2020, sebanyak 175 kasus KDRT terjadi di Bali. Sementara itu, pada tahun 2024 jumlah kasus KDRT mencapai dua kali lipat dari tahun 2020, yaitu sebanyak 354 kasus.
Namun, data tersebut tidak dapat menunjukkan kondisi kekerasan yang dihadapi oleh perempuan di Bali. Sebagaimana yang disampaikan di atas, beberapa korban bisa saja tidak memiliki tenaga untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami.