
Apa yang biasanya kamu lakukan di pantai? Apakah bermain pasir? Berfoto-foto? Berenang? Atau mungkin berjemur?
Pantai menjadi tempat favorit untuk mengabadikan momen, bermain bersama keluarga, dan berkumpul bersama teman. Namun, selama menjelajahi pantai, pernah nggak sih kamu terpikirkan apakah pantaimu sehat atau sakit? Salah satu cara adalah mengidentifikasi ekosistemnya.
Setiap pantai di Bali memiliki karakteristik yang beragam, misalnya pantai berpasir dapat ditemukan di Pantai Sanur, pantai berbatu ada di Tulamben, pantai bertebing ada di Jimbaran, dan pantai hutan bakau ada di kawasan Bali Barat.
Pantai tropis seperti Indonesia setidaknya memiliki tiga ekosistem yang dapat ditemukan di pantai, yaitu mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Tiga ekosistem ini memiliki peran masing-masing dalam menjaga ekosistem bawah laut maupun pesisir.
Tidak semua pantai memiliki pohon secara alami

Beberapa pantai memiliki ekosistem mangrove yang terdiri dari vegetasi pohon dan semak. Namun, tidak semua pantai memiliki pohon maupun mangrove. Seperti yang disebutkan di atas, pantai di Indonesia memiliki bentukan alami yang berbeda-beda. Misalnya, di Yogyakarta terdapat pantai gumuk pasir tipe barchan, sehingga keberadaan vegetasi atau tumbuhan alami sangat minim.
Ryannyka Dwi atau yang kerap disapa Nyka dari Yayasan LINI menyebutkan bahwa jika area tersebut ditanami pohon dan tanaman yang bukan asli gumuk pasir atau dilakukan alih fungsi area berpasir menjadi tempat perkebunan, gumuk pasir tersebut akan hilang. Pasalnya, tanaman dapat menghalangi angin yang menyebarkan pasir untuk pembentukan atau regenerasi gumuk pasir. “Padahal itu kan adalah bentukan alami dan satu dari sedikit yang ada di dunia,” ungkap Nyka. Begitu pula halnya dengan bentukan pantai yang ada di Bali.
Saat ini memang banyak sekali usaha penanaman pohon bakau dan ada kalanya usaha penanaman tersebut tidak berhasil. “Apabila penanaman pohon bakau dilakukan di area yang sebelumnya tidak pernah ada pohon bakau atau habitat alaminya, maka usaha penanaman tersebu bisa jadi sia-sia,” ujar Nyka.
Meski begitu, ekosistem mangrove di pantai memiliki banyak fungsi. Secara fisik, mangrove melindungi pantai dari abrasi dan ombak besar, terutama ketika terjadi tsunami. “Ketika ada tsunami atau ombak yang lebih besar, itu dengan adanya mangrove itu mereduksi aliran air yang masuk ke darat lebih lambat,” terang Erdi Lazuardi dari WWF Indonesia.
Mangrove juga memiliki fungsi memfilter air dari daratan seperti sungai. Mangrove akan memfilter endapan lumpur dan unsur-unsur lainnya yang ada dalam air sungai. Maka dari itu, tidak heran jika banyak sampah yang menyangkut di mangrove karena sampah di sungai ikut mengalir. Sampah yang tersangkut di mangrove menimbulkan efek domino, yaitu mengganggu kehidupan mangrove itu sendiri.
Secara biologis, mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan atau proses perkawinan ikan untuk menghasilkan benih ikan. “Terus kemudian nursery ground atau perawatan ikan dan biota-biota yang lain, ada kepiting, udang ikan. Kemudian di darat ada biawak, bahkan buaya juga ada di situ,” jelas Erdi.
Pasir sebagai komponen terpenting

Pasir terbentuk secara alami dari gerusan ombak maupun gunung meletus. Proses alami ini berlangsung beribu-ribu tahun hingga pasir terendapkan di pinggiran pantai. Selain secara alami, pasir juga terbentuk dengan bantuan hewan, seperti ikan kakatua atau parrotfish. Ikan ini memakan alga yang ada di terumbu karang dengan giginya yang kuat.
“Karena giginya itu kuat, itu juga karangnya itu tergerus sama dia terkunyah, dan kemudian mengeluarkanlah kotoran dari itu. Nah, kotorannya itu berupa pasir yang terlihat dari pasir putih,” terang Erdi. Selain ikan kakatua, ada juga bantuan biota lain, seperti foraminifera dan terumbu karang yang sudah mati. Erdi menambahkan apabila biota laut tersebut hilang, lama-kelamaan pasir akan hilang karena terkikis ombak.
Pasir merupakan komponen yang penting di pantai, terutama untuk pantai berpasir. Pasir berfungsi untuk menstabilkan topografi atau menstabilkan muka bawah laut. Jika pasir dikeruk, akan muncul lubang yang dapat mengubah arah air karena gerakan air yang dinamis. Ketika arus berpindah atau gelombang semakin besar, maka tidak ada suatu bidang yang dapat mengerem atau menghentikan gelombang tersebut. “Sehingga gelombangnya bisa langsung masuk ke daratan,” ujar Nyka.
Secara ekologi, pasir merupakan habitat makhluk hidup di laut. Jika kamu memperhatikan, di pasir terdapat lubang-lubang kecil yang di dalamnya ada kerang, moluska, kepiting, undur-undur laut, bahkan gurita. “Kalau misalkan pasir itu hilang dalam jumlah yang signifikan bisa merubah fungsi fisik maupun fungsi ekologinya,” imbuh Nyka.
Ekosistem pantai pelindung daratan

Terumbu karang adalah rumah bagi biota-biota laut. Sama seperti mangrove, terumbu karang merupakan tempat pemijahan, perawatan, dan tempat mencari makan bagi banyak biota laut. Secara keseluruhan, tutupan terumbu karang di permukaan planet bumi hanya sekitar 18% saja. Dengan jumlah tersebut, terumbu karang dapat menampung 25% kehidupan di laut.
“Sekitar 25% kehidupan di laut itu kalau kita jumlahin ya banyak banget kayak spesies ikan karang aja ada 2.000 lebih yang sudah teridentifikasi. Oh, belum ditambah dengan spesies crustacea, moluska, dan lain-lain. Kemudian untuk jenis-jenis karangnya sendiri ada sekitar 700 sampai 800 jenis yang ada di dunia ini,” terang Nyka.
Ketika terumbu karang hilang, binatang yang tinggal di dalamnya pun akan hilang. Bukan hanya itu, sumber bahan pangan juga akan hilang. Apalagi Indonesia adalah negara kepulauan dengan masyarakat pesisir yang 100% hidupnya bergantung dengan laut.
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang kompleks dengan bentuk beraneka ragam. Secara fisik, terumbu karang dapat mereduksi ombak atau badai besar yang sampai ke daratan. “Yang secara tidak langsung juga mencegah abrasi atau erosi yang ada di laut gitu,” ungkap Erdi.
Nyka menceritakan salah satu pengalaman koleganya saat melakukan monitoring di Aceh pasca tsunami. Ternyata beberapa desa yang terumbu karangnya masih bagus dan memiliki hutan bakau mengalami kerusakan yang sangat minim. “Bahkan sangat jauh dibanding pantai-pantai yang tidak ada hutan bakau maupun terumbu karangnya,” imbuhnya.
Ekosistem laut satu ini juga tempat alga hidup dan tempat tumbuh-tumbuhan melakukan fotosintesis. Sama dengan tumbuhan di darat, ketika fotosintesis di bawah laut terjadi, tumbuhan akan menghasilkan oksigen dan menyerap panas.
Pengendapan karbon di padang lamun
Ekosistem pantai satu ini jarang diketahui orang-orang. Padahal, padang lamun memiliki fungsi yang sama dengan terumbu karang, yaitu tempat perawatan ikan dan tempat ikan mencari makan.
Erdi menyebutkan bahwa secara estetika, belum banyak wisata khusus yang melihat padang lamun. “Kecuali melihat dugongnya karena dugong itu ada dengan adanya lamun, jadi penting menjaga lamun,” terang Erdi.
Padang lamun seperti tumbuhan pada umumnya, mengalami proses fotosintesis yang dapat menyerap karbondioksida dan melepaskan oksigen, sehingga padang lamun adalah salah satu sumber oksigen di atmosfer.
“Lamun juga menjadi salah satu ekosistem biru (blue carbon). Bisa dibilang ekosistem biru karena dia memiliki fungsi mengendapkan karbon di dalamnya. Jadi menyimpan karbon di dalamnya, sehingga dapat mengurangi jumlah karbon di atmosfer,” jelas Nyka.
Maka dari itu, ekosistem ini memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Sebaliknya, padang lamun yang tidak sehat akibat terlalu banyak sedimen dan polutan dapat merilis kembali karbon ke atmosfer.
Pemecah ombak tergantung kebutuhan
Beberapa pantai menggunakan pemecah gelombang di tengah laut untuk menghalau gelombang yang terlalu besar menuju ke daratan. Teknologi pemecah gelombang buatan biasanya diaplikasikan pada pantai dengan laju abrasi yang sangat tinggi. Abrasi yang tinggi berpotensi merusak jalan dan perkampungan di pesisir.
“Sehingga untuk mereduksi energi gelombang maupun arus tersebut, oleh manusia dibuatlah pemecah gelombang,” ungkap Nyka. Pembuatan pemecah gelombang atau breakwater tentunya membutuhkan kajian awal, baik itu secara ekologi, fisik, material, hingga ketebalannya.
“Tapi bisa dilihat juga dampak dari sekitarnya, apakah dengan breakwater di sini daerah lain bisa tergerus, daerah lain mengalami penumpukan pasir gitu,” ujar Erdi. Monitoring dan evaluasi setelah adanya breakwater pun perlu dilakukan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi.
Jangan mengambil apa pun di pantai

“Take nothing, but pictures,” begitu kata Nyka ketika ditanya terkait dampak ketika manusia mengambil sesuatu dari pantai. Begitu pula dengan Erdi yang menyebutkan bahwa sekecil apa pun manusia mengambil biota akan berdampak pada ekosistem pantai “Dampaknya bisa kecil, bisa besar ataupun sekarang nggak terasa dan dampaknya baru terlihat itu berpuluh tahun atau seratus tahun baru terlihat ke depannya,” ujar Erdi.
Contoh kecilnya adalah kerang di pantai yang kerap diambil dan dijadikan aksesoris oleh manusia. Padahal, kerang pantai masih dimanfaatkan oleh kelomang sebagai rumah. “Kalau si cangkang kerang itu suka kita ambilin, si kelomang itu nggak punya rumah,” ujar Erdi.
Meski kecil bentuknya, kelomang memiliki fungsi besar dalam rantai makanan di laut, yaitu sebagai pengurai dan pemakan berbagai bahan organik. Hal yang kecil terkadang memiliki dampak besar, apalagi pengambilan secara masif. Selain sebagai tempat hidup kelomang, material kerang yang sudah mati bahkan berfungsi dalam regenerasi pantai.
Nyka dan Erdi sama-sama mengimbau agar masyarakat tidak mengambil biota laut yang ada di pantai karena akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem fisik dan ekologi di pantai. “Pengambilan makhluk hidup tanpa tujuan yang jelas seperti itu bisa kita hindari. Namun kan ada pengambilan untuk penelitian atau untuk makan, mancing, gitu kan masih bisa di area yang memang diperbolehkan,” ungkap Nyka.
Biota laut yang ada di pantai cukup difoto dan dipandangi keindahannya karena yang indah tidak selalu harus dimiliki.