Liburan semester. Gus Eka, seorang lajang berkasta brahmana yang kuliah di Jawa, mengajak seorang temannya liburan di rumahnya di Bali. Sebut saja nama temannya itu Andika, seorang asal Malang.
Di rumah Gus Eka, Andika dan Gus Eka terlibat sebuah obrolan asyik dengan kedua orangtua Gus Eka, ditemani suguhan kopi Bali. Andika yang kelelahan tidak kuasa melanjutkan obrolan itu, kemudian permisi istirahat. Gus Eka masih asyik mengobrol dengan kedua orangtuanya karena ia memang jarang pulang sejak kuliah di Jawa empat tahun lalu.
Di tengah obrolan itu Gus Eka dengan santai meminum kopi sisa Andika, karena kopinya sendiri sudah habis. Betapa tercengangnya kedua orangtua Gus Eka melihat hal itu. Mata kedua orang yang menginjak usia empat puluh lima itu membelalak tajam ke arah Gus Eka.
“Béh, nak suba biasa tiang kéné di Jawa. Yén sing kéné, sing idup apa ben ngoyong di désan anak. Ngajeng magibung krana sing ngelah pipis nak suba biasa,” kata Gus Eka kepada kedua orangtuanya, sambil menyeruput lagi kopi sisa temannya untuk kedua kalinya.
Entahlah, kedua orangtua Gus Eka bisa menerima alasan itu atau tidak. Barangkali mereka masih shock melihat anaknya memakan carikan seorang Jawa, yang menurut mereka berkasta lebih rendah.
Memang, dalam pola pikir kedua orangtua Gus Eka, orang luar Bali itu punya kasta lebih rendah dibandingkan kasta paling rendah yang ada di Bali. Mereka sering wanti-wanti menasihati Gus Eka agar dalam mencari pasangan hidup nantinya bisa memilih.
“Eda ngalih kurenan nak beténan (maksudnya yang berkasta lebih rendah – pen.), apa buin nak Jawa. Ajinin raga gigis dadi nak Brahmana,” begitu nasihat mereka.
Kasta menjelma menjadi “doktrin” kuat yang berhasil merambah begitu banyak ruang dalam kehidupan beberapa (garisbawahi: beberapa!) orang Bali – dari zaman kemunculannya hingga kini. “Doktrin” ini menguasai sasarannya (orang Bali) sehingga pada suatu titik penguasaan ia berhasil menjadi “isme” yang berakar mulai dari wilayah abstrak manusia – pikiran dan emosi – hingga ke wilayah perilaku keseharian yang terindera.
Jika dihubungkan dengan konsep yang konon mendasari dan menjadi struktur seragam desa-desa adat di Bali, yaitu Tri Hita Karana, kasta bukan hanya telah menyentuh pawongan, namun juga palemahan, dan bahkan parhyangan. Dalam tiga ranah konsep ini, kasta adalah salah satu “mesin” konflik. Malahan, yang paling keras memunculkan berbagai konflik justru pada tataran parhyangan, yang notabene merupakan ranah konsep hubungan vertikal manusia dengan Tuhan.
Pandangan terhadap orang lain, terutama orang berkasta bawah dan orang luar Bali, yang ditunjukkan kedua orangtua Gus Eka pada ilustrasi di atas agaknya cukup jelas memberi contoh pada tataran pawongan. Bahkan bukan rahasia umum lagi di Bali kalau kasta sering kali menjelma jadi masalah yang pelik, diposisikan begitu urgen, sakral, dikultuskan, elitis, sehingga menghalangi integrasi antarindividu.
Seorang petinggi daerah di Bali yang berkasta Brahmana dikenal memberlakukan “sistem 2D” dalam perekrutan PNS. Sistem yang tentu saja tak resmi dan nepotis ini mengutamakan orang yang “2D”, yaitu Da Bagus (Ida Bagus) dan Dayu (Ida Ayu).
Pada tataran palemahan, pada titik tertentu, kasta menghalangi – atau paling tidak melatarbelakangi pola pikir dan laku yang menghalangi – integrasi antarkelompok sosial. Ada beberapa kasus pemisahan atau perceraian atau pemecahan sebuah wilayah kelompok sosial menjadi dua atau lebih wilayah kelompok yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kasta antarkelompok.
Perbedaan kasta antara kelompok satu dengan yang lainnya melahirkan keyakinan dan paham yang berbeda pula di antara mereka. Tidak ada lagi kemandirian pola pikir. Yang ada adalah “kolektivitas sempit”, suryak siu. Lihatlah kasus Tusan, Klungkung, saat Nyepi tahun 2007 kemarin.
Salah satu contoh konflik berlatar kasta yang telah merambah tataran parhyangan adalah konfrontasi antara konsep Tri Sadaka dan Sarwa Sadaka. Sebagaimana diketahui, konflik ini memuncak menjelang pelaksanaan ritual Panca Wali Krama di Pura Besakih, Maret 1999. Dari tulisan I Gde Pitana (2003), saya memperoleh informasi bahwa ini adalah masalah tentang siapa yang seharusnya muput karya.
Sebelumnya, ritual-ritual di Pura Besakih dipuput oleh Tri Sadaka, yaitu pandita dari Warga Brahmana Siwa (Pedanda Siwa), pandita Warga Brahmana Bhoda (Pedanda Bhoda) serta pandita dari Warga Bhujangga Waisnawa (Jero Gede). Sebuah proses panjang, alot, penuh intrik dan politik akhirnya mencapai keputusan penggunaan Sarwa Sadaka, yaitu pandita dari berbagai kelompok warga yang ada di Bali pada Panca Wali Krama Maret 1999 ini, “… walau dalam suasana tegang,” tulis Pitana.
Bayangkan! Sebuah ritual keagamaan, sebuah peristiwa kudus penghadapan mahluk bernama manusia kepada Sang Pencipta, dalam suasana yang tegang! Yang membuat ketegangan malah bukan hal di luar lembaga ritual, seperti perang atau persengketaan antar warga, namun justru elemen dalam lembaga agama sendiri.
Konflik antara dua kubu di atas, pendukung Tri Sadaka di satu sisi dan pendukung Sarwa Sadaka di sisi lainnya, mengetengahkan beberapa wacana serta argumen yang absurd. Pitana menyebut kasus ini tidak lain adalah perang perebutan kekuasaan dan status. Tentu saja kuasa dan status ini adalah dalam lingkup sosiokultural di Bali, namun dengan menggunakan ranah parhyangan sebagai alatnya.
Sekali lagi, kasta di Bali memang telah menjadi isme tersendiri yang spesifik. Masing-masing kasta di Bali agaknya memiliki para penganut – bukan lagi sekadar pewarisan – yang fanatik, layaknya fanatisme terhadap partai politik tertentu. Para penganut fanatis ini bergerak dengan fundamentalisme pandangan terhadap kastanya.
Sejarah kemunculan kasta di Bali, yang menurut beberapa sumber diawali pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, di mana kemudian ada pembedaan antara keturunan Sri Kresna Kepakisan, Danghyang Nirartha dan Danghyang Aspataka dengan keturunan di luar ketiganya, diapresiasi dengan pengkultusan terhadap sejarah itu.
Sebagaimana isme yang lain, kasta juga punya pengaruh terhadap segi kehidupan lain, sehingga tidak menutup kemungkinan dalam berbagai segi itu tertanam – atau sengaja ditanamkan – berbagai kepentingan, baik yang bersifat individu maupun kelompok sempit. Dan perlu dicatat, kepentingan di zaman mutakhir, sebagaimana terjadi dalam dunia politik praktis, tidak jauh dari kuasa dan uang.
Kalau dirunut dari sejarah kasta di Bali, kemunculannya memang tidak jauh dari itu semua: politik kekuasaan, dengan perang sebagai salah satu aksi riilnya. Jadi sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kondisi mutakhir konflik kasta di Bali menyajikan atmosfer yang menegangkan semacam suasana dalam perang fisik. [b]
uhm..
kasta sudah menjadi fanatisme berlebih seperti halnya fanatisme terhadap agama
haruskah takluk dengan kasta?
apalagi jika harus di kaitkan dengan konsep ketuhanan.
Kasta harus di hapuskan dari peradaban manusia!!!
siapa yang mau mengubah? tentu saja kita
pemikiran kolot seperti orang tua gus Eka akan tetap ada kalau tidak ada tindak lanjut dari tulisan ini!!!
makanya buat yang membaca tulisan ini, baik bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, maupun anak2, jangan lagi mau dibodohi dengan kasta. mari kita hapuskan pencitraan diri dengan kasta!!
Kita dilahirkan bukan untuk di injak tetapi menjadi seorang manusia yang berguna bagi bangsa dan negara!!
hidup Gus Eka…
buat orang tua gus eka : hari gini masih fanatik sama kasta.., hahaha.. ke laut aje…
perlu diketahui ,
kasta adalah suku bangsa, warisan leluhur dan tepatnya lagi garis keturunan dari para leluhur.
pendek saja,
saya yakin dlm persoalan pelik ini, permusnahan kasta lebih di agungkan oleh kaum wangsa sudra !
siapakah yg mau di bodohi dgn kasta???
atau org yg ingin memusnahkan kasta adalah org yg bodoh?
kesimpulan:
hidup kemunafikan !!!
*entah kemunafikan kasta itu sendiri atau kemunafikan tidak ingin mengenal kasta.
Orang yang pernah ke luar bali, pasti lebih terbuka pemikirannya, seperti Gus Eka. :p
Saya konon berasal dari keluarga dari kasta yang cukup tinggi. Perlakuan istimewa sering saya dapatkan di tempat kelahiran bapak saya. Tapi jujur saja, saya nggak pernah mempermasalahkan kasta, karena ibu saya orang Jawa, yang selalu mengajarkan kesetaraan.
Tapi, masalah kasta memang nggak semudah itu dihapuskan dari peradaban manusia, seperti kata Mr. Anti Kasta, yang kayanya emosi banget nanggapi tulisan ini. Sebab, kasta nggak cuma ada di bali. Tapi juga di Inggris, di Arab Saudi, di Yogyakarta, dan masih banyak tempat lainnya.
Kalo saya ditanya, gimana cara menghapus sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakat kita, saya nggak tau jawabannya. Saya rasa juga, hal itu nggak usah ditanya, karena mungkin nggak ada yang tau caranya, atau mungkin susah sekali kalopun ditemukan caranya.
Mendingan, ajaran tentang kesetaraan dan persamaan hak yang lebih digalakkan. Bahwa semua orang punya hak yang sama. Saya rasa, itu lebih mudah diaplikasikan, daripada menghapuskan kasta di peradaban manusia..
aq juga pernah ditanya seperti itu ketika aq pertama kali datang ke jero pacarQ…
He…, lucu juga ya, cerita manusia
tapi jangan samapi adat dan budaya kita bisa menghancurkan diri sendiri.
kita harus fleksibel menghadapi perkembangan yang ada.
jangan terlalu kaku, enjoy aja….
sejarah kasta memang urusan politik jaman modern dan tradisi,kasta itu dari bahasa portugal caste yang artnay kalau tidak salah tingkatan dan tentu saja yang namanya penjajah sellau memamfaatkan itu semua untuk politik pecah belah,,kalau ingin tahu yang sebenarny jangan mempelajari sastra sudah cukup,kita sebagai manusia tidak lahir bawa merk seperti itu bahwa kita sama di mata beliau,yang membedakan adalah karma baik dan buruk kita,kemudian sastra menyatakan ada empat pendeta yang di sebut panca tirtha itulah titik point dari sejarah persaudaraan kita semua yang menunjuk pada sang pasupati
fuck kasta
!!!!!!!!!SAYA ANAK BALI WANGSA PASEK!!!!
Saya awalnya memeandang sebelah mata dengan masalah kasta!! dengan pola pikir dan atmospir lingkungan desa saya yang tidak begitu panatik terhadap perbedaan kasta!! saya mengasumsikan didaerah lain juga demikain seiiring dengan perkembangan jaman saat ini yang lebih mengutamakan pengetahuan!! tetapi apa boleh buat bebeding terbalik 90 darajat dikala saya dihapkan dnegan orang tua pacar saya didaerah kabauapaten paling timur bali!! rasa panatik begitu kental!! saking kentalanya saya main kesan yang di tanya GUS ANAK NAPI???? saya bingung jawabnya!! balik Nanya Nak menak apa Nak jabe WAOOOOOOOOOO kagetnya!!!Saya Jawab dengan dengan nada datar kebetulan yang nanya ibu2 dari kasta Gusti (sama dengan temen saya)Saya manusia biasa kebtulan saya dolahirkan di kasta Sudra bu!!!memang temen saya tidak masalahkan karena dia kuliah di jawa begitu juga aku!!! jadi tugas kita sebagi generasi muda untuk memandang dan memahami makna kasta yang sebenrnya karena sudah memesuki semua segi kehidupan!! yang bikin manusi yang menyelesaikan yang manusia masyrakat HIndu Bali khususnya!! hidu di jawa kagak kenal tuuuuuuuuuuu!!!!!!
NB: ini krena paktor kasta atau sosial ekonomi???? he he
Kasta hari gini masih relepankah????
Kasta, seharusnya gak perlu lagi lestari sampe jaman kayak gini..dari kecil dah baca buku sejarah, yang di dalamnya ngajarin bahwa dalam agama hindu dikenal kasta..nah sejak itulah temen2 non hindu bertanya saya kasta apa..dan saya kayaknya kalo dilihat dari keterangan buku itu, maka saya keturunan kasta sudra..dan itu tidak berarti apa2 buat saya..tapi buat temen2 yang non hindu berarti sesuatu..poetoe adalah orang rendahan dan di agamanya manusia dikelompokkan. kasta menjadi pertanyaan yang sulit dijelaskan kalo ada yang nanya.
sampe suatu saat, guru agama saya pernah mengatakan bahwa kasta tidak ada dalam agama hindu.hanya dikenal catur warna, yang berarti mengelompokan umat hindu berdasarkan pekerjaannya..jika seseorang bekerja sebagai pedagang berarti dia waisya..kalo seorang ida bagus bekerja menjadi tentara berarti dia satria, bukan brahmana..pernyataan ini lah yang saya gunakan untuk menjawab pertanyaan2 dari temen2 non hindu yang saya rasa agak memojokkan saya dengan membandingkan bahwa dalam agama mereka, semua manusia itu sama saja..
kalo di luar bali, kasta saya rasa gak jadi masalah besar..tapi kalo di bali mungkin lain cerita ya. saya gak begitu tahu, karena saya lahir, besar, dan tinggal di luar bali..sampe sekarang..tapi yang saya dengar, kalo di bali kasta itu masih merupakan sesuatu yang harus diperhatikan..kalo seandainya saya bicara sama ida bagus, bahasa balinya harus bahasa halus, karena saya katanya sudra..kenapa harus begitu ya? gimana kalo seandainya orang yang katanya kasta brahmana, satria, ato waysia itu justru bahasanya tidak se santun orang yang sudra?
kemudian, sampe pada satu pertanyaan, jaman dahulu itu, kenapa harus ada nama yang berbeda? ida bagus, anak agung, gusti ayu, dsb…kalo saya sendiri merasa,nama2 itu merupakan sebutan bagi orang2 yang pada jaman dahulu tersebut bekerja sesuai dengan catur warnanya..misalnya orang yang menjadi brahmana mendapat nama depan ida bagus..kalo sudah kayak gitu, berarti kan gak semua keturunannya itu berhak mendapat nama ida bagus..karena semua keturunannya tidak menjadi brahmana..
kesimpulannya, kasta gak perlu ditonjolkan lagi..
Persoalan kasta akan menjadi penghalang dalam hubungan antar manusia. Agama sebagai central point perilaku manusia. Agama harus punya pandangan yang egaliter, manusia itu setara gak perempuan gak laki, gak hitam gak putih, gak kaya gak miskin. Yang membedakan status manusia hanya iman dan amalnya.
“Manusia yang paling baik diantara kalian adalah yang paling bertaqwa(beriman dan taat) hanya kepada Allah.”
Status taqwa bukan manusia menentukannya, tapi Allah Swt yang Maha Mengetahui apa-apa yang dikerjakan manusia. Tak ada yang luput dari Pengetahuan Allah, walau sebesar zarrah(atom). Tidak juga yang lebih kecil dari itu maupun yang lebih besar dari itu.
Manusia hanya pantas takut dan menyembah hanya kepada Allah dan tidak menyembah apapun selainNya, walau sesuatu yang disebut sebagai manifestasi dari Tuhan itu yang berwujud benda atau sosok apapun jua.
Dengan begitulah maka manusia akan berada pada tempat yang sama dengan manusia lainnya. Egalitariansime dan kesetaraan hak dan kewajiban dalam menjalankan fungsi hidup didunia.
kasta tidak pernah ada di muka bumi!!! stupid think!!
Sekedar urun pendapat.
Kalau saya di jaman modern ini, memandang perbedaan itu lebih baik dari sisi yang netral. Maksudnya, tidak mendeskriditkan wilayah keturunan berdasarkan “pekerjaan” dulunya, maupun pemberian nama gelar kasta berdasarkan turun temurun.
Saya malah berpikiran untuk kedepannya. Berhubung hal atau nama gelar sampai saat ini kurang mendukung dengan pekerjaan yang dilakoni, maka saya lebih melihat itu sebagai nama marga.
Mengapa demikian, jawabannya simple saja. Nama atau gelar yang disandang karena di dapatkan secara turun-temurun atau secara marga.
BIsa sedikit memiliki persamaan walaupun tidak begitu mirip kalau kita lihat dari segi historinya. Yaotu dengan rekan kita di padang misalnya, ada yang bermarga sihotang, hutabarat, pasaribu dan lainnya. Tetapi mereka tetap saling menghormati dan tidak ada yang memandang bawwa mereka lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya.
Alangkah baiknya jika hal tersebut di Bali. Tidak ada yang memandang tinggi dan rendah. Sama-sama saling menghormati antara agung, ida bagus, dewa, made, ketut, wayan dan lainnya.
Saya sendiri tidak tahu apakah pendapat saya salah atau benar, just urun pendapat saja.
PS. Sekarang banyak juga yang mengubah nama karena baru ketemu kawitannya. Kalau hal itu dipakai untuk meluruskan identitas marga saya sangat setuju, but kalau untuk meninggikan derajat atau pamer status… itu salah besar.
Urun komen.
Kasta menjadi topik yg selalu ”ramai” dibicarakan karena dikaitkan dengan agama Hindu. Menjadi ”ramai” baik dikalangan umat Hindu sendiri maupun dikalangan umat lain yg melihat kasta sebagai ‘noda’ Hindu. Dalam hal ini saya ingin bertanya kepada anda semua.. Apapun agama anda atau anda mengaku tdk beragama sekalipun.. Dalam strata status sosial anda di masyarakat, apakah anda memandang kaum buruh atau pembantu rumah tangga anda sebagai manusia yg sederajat dgn anda? Dan bersediakah jika anak anda menikah dgn mereka yg dari golongan pembantu rumah tangga? Andalah yg bisa menjawab itu semua.. Dan jawaban anda akan memberikan makna tentang kasta
..met sore…
mksh sebelumnya dah di beri kesempataan dalam mengomntari ini.
oh yaw saya orang bali juga di mana saya masih blum paham tentang kasta itu.!
klo boleh saya minta arsip tetntang kasta..karna saat ini saya melakukan penelitian proposal tetntang kasta.
dengan tema
pengaruh kasta terhadap politik di bali..
suksma!
sekedar numpang. saya orang bali dari kasta sudra kasta paling rendah di Bali. kebetulan ibu saya berasal dari kasta brahman kasta paling tinggi di bali. beberapa lama saya memang memiliki kesulitan beradaptasi dengan situasi itu. yang mana terhadap adi-adik sepupu sayapun saya harus berlaku istimewa, dari sikap dan bahasa pengantarnya. namun lama-lama saya menikmatinya. maksudnya, ya itulah Bali. itulah yang membuat Bali berbeda dan menarik. iya kan? saya juga tidak setuju dengan mengait-ngaitkan agama hindu -saya seotrang hindu- dengan prilaku dan adat bali. saya sendiri belum dapat memisahkannya. tapi setahu saya agama hindu tidak membeda orang. artinya agama hindu tidak mengenal kasta. itu hanya berlaku di Bali, karena nama Ida Bagus, Gusti, Dewa dll. hanya ada di Bali. di India pun tempat asal agama hindu tidak pernah saya dengar orang bernama seperti tersebut. jadi kesimpulannya, apa yang terjadi pada Gus Eka dan keluarganya itu hal lumrah. apa yang dilakukan Gus Eka tidak salah, tapi sebaiknya tidak dihadapan orang tuanya. karena itu akan sangat memukul mereka
Y kalo mslah kasta gg usah direbetkan lah,,jng mau dicampur adukkan dengan keentingan politik,,kita sebagai umat beragama harus pintar memilah dan memilih mana kepentingan yg berkedokkan politik atau hanya sekedar kasus yg tak patut kita urusi,,,kalau bgg masalah ini tanyakan pada ahli agama misal sulinggih atau pedande yg lebih relevan dan bekometen dalam hal sepertiini,,agar tidak terjadi salah konsep nantinya akan megakibatkan miss perpsepsi,,,yg gg tahu ttng kasta mending jng ikut commentar ja,,ya gg bikin ricuh aja
Warga Bhujangga Waisnawa itu bukan jero gede tetapi merupakan keturunan langsung dari Maharsi Markandeya yang merupakan Brahmana yang pertama kali datang ke Bali sebelum Dang Hyang Nirarta / Dwijendra / Pedanda Sakti Wawu Rauh.Jadi Warga Bhujangga Waisnawa juga Brahmana yang memilki gelar Dwijati Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang ditapak oleh Ida Rsi Nabe Bhujangga Waisnawa serta memiliki derajat yang sama dengan pedanda. Ini perlu pelurusan informasi biar tidak salah Info mengenai Warga Brahmana Bhujangga Waisnawa.
Mengenai sumber dari I Gd Pitana tersebut tidaklah tepat tentang Warga Brahmana Bhujangga Waisnawa.Bila ingin sumber yang tepat dan benar tentang Brahmana Bhujangga Waisnawa silahkan cari di Griya -Griya Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang ada di Bali atau moncol pusat Warga Bhujangga Waisnawa Bali.
Kasta, hanyalah hasil konstruksi sosial karena itu sifatnya hanya kultural sama sekali bukan kodrat atau kehendak langit. Kasta hanyalah pemikiran manusia yang sesungguhnya sangat tidak stabil, sangat bisa berubah selama pengusungnya mau merubah. Kasta hadir tidak lebih sebagai sebuah mitos. Mitos lahir dari proses yang disebut metonimi, dimana terjadi generalisasi atas sebuah fakta. Generalisasi tidak lepas dari upaya reduksi total atas sebuah realitas. Misalnya begini, bahwa benar para leluhur masing-masing kasta/klan di Bali memiliki kemampuan spiritual tinggi dan kemampuan memimpin yang luar biasa di masa lalu. Tetapi itu hanya pada sosok beliau, belum tentu pada keturunan-keturunan beliau. Karena sebuah kesidhian ataupun kemampuan olah pikir jelas hadir dari proses bukan secara instan bisa diturunkan. Nah manusia memiliki banyak keterbatasan dan karakter yang berbeda-beda. Artinya meski lahir dari keluarga yang sama, belum tentu langsung bisa mewarisi kemampuan para leluhurnya. Permasalahan sangatlah kompleks dan bermain banyak sekali faktor penyebab. Kalau kemudian dianggap bahwa keturunan beliau memiliki kemampuan yang sama dengan leluhurnya, disanalah terjadi generalisasi dan reduksi atas realitas.
Jadi intinya, pembentukan kasta sesungguhnya sangat kultural, tak memiliki esensi yang kuat dan suatu saat pasti akan berubah karena memang kasta sama sekali bukan kodrat. Ia hanyalah hasil dari konstruksi atas realitas.
Begitu menurut saya. Nunas Ampura nyening wenten iwang.
Agama Hindu tidak mengenal adanya kasta, dalam agama hanya dikenal adanya pembagian tugas atau warna. Kasta akan berubah apabila tugas dan tanggungjawabnya juga berubah, misalnya si A menjadi pegawai negeri/PNS dia mendapatkan istilah sebagai ksatrya, setelah pensiunan dia mengabdi menjadi pendeta maka dia mendapatkan istilah sebagai brahmana, atau dia menjadi wirausahawan maka istilahnya menjadi waisya, atau dia menjadi petani maka dia mendapat gelar sebagai sudra. Sedangkan praktek penyalahgunaan status/derajat kalau di Bali dikenal istilah kasta, bukan hanya di Bali tapi hampir diseluruh dunia. Contoh di Jawa dikenal dengan gelar raden, bahkan dikalangan tokoh agama juga dikenal dengan istilah ulama, kyai, dll. Sadar atau tidak itulah pembagian klas dalam masyarakat. Semakin maju pendidikan akan mendorong perubahan-perubahan pembagian klas dalam masyarakat.
Saya nak de bagus.
Kok sering de bagus dipojokkan, apa salah de bagus?
Lebih baik lihat sisi positif keluarga de bagus, dari muput karya besar sampai kecil.
Kami di gria, para de bagus yang masih walaka (belum pedanda) kerap dimintai tolong warga utk ngantebang banten, melaspas, dsb.
Kalau mau lihat sistem kasta, sebenarnya bupati2x di bali juga mau membangun kasta melalui dinasti mereka. contoh adi wir anaknya bupati eka, geredeg anaknya di dprd bali, arnawa jadikan adiknya ketua dprd n maunya jadikan bupati (gagal), bagiada buleleng mau jadikan anaknya bupati (gagal), dll. Mereka toh “mengkastakan” diri diposisi tinggi dong. Apa salahnya dong?
Saya sih berharap tulisan ini jangan ada pengaruh dari agamawan tak laku. terima kasih. salam hindu jaya
Saya senang sekali tulisan (di atas) yang saya tulis pada awal 2008 (lihat: http://kalalakon.blogspot.com/2008/07/kastaisme.html) sampai sekarang banyak yang mengomentari. Ini berarti memang “kasta” masih menjadi masalah yang sensitif di Bali (sampai ada yang komentar dengan penuh emosi). Terima kasih atas semua komentar (yang mendukung maupun yang mencela). Terima kasih juga pada BaleBengong. Saya senang senang sekali dengan dialog ini. Suksma. (Ibed Surgana Yuga)