Sumber: Bali Post Online
Kembali kasus kasepekang terjadi. Seorang warga Kedungu, Kediri, Tabanan dikeluarkan (kasepekang) dari banjar gara-gara menggantung kursi plastik dekat Padmasana Balai Banjar Kedunggu. Kalau ingin mabanjar kembali, diputuskan ia harus membayar Rp 200 juta selama dua tahun. Selain itu, ia harus berhadapan dengan hukum karena dilaporkan telah menodai tempat suci. Warga lain juga dilarang untuk berkomunikasi dengan keluarganya. Jika ketahuan didenda Rp 500 ribu.
Ada apa dengan adat Bali? Haruskah krama Bali yang notabene beragama Hindu diberikan sanksi dengan nilai mencapai Rp 200 juta? Bahkan, tidak boleh berkomunikasi dengan warga di sekitarnya? Sungguh ironis. Antara adat dan budaya seharusnya semuanya berdasarkan ajaran agama Hindu, namun ternyata memang sangat banyak aturan adat yang melenceng dari ajaran Hindu sendiri, sehingga ini sangat memberatkan krama banjar.
Menghukum boleh saja asalkan hukuman tersebut mendidik, jangan sampai hukuman menjadi ajang balas dendam. Seharusnya sesama orang Bali saling menyayangi, jangan sampai jadi tontonan pendatang dan ujung-ujungnya pindah agama karena ini diyakini menjadi faktor berpindah agamanya umat ke agama lain. Padahal, dalam Hindu sendiri sudah ada aturannya siapa dan bagaimana cara memberikan sanksi.
Demikian salah satu opini yang muncul dalam acara Warung Global yang disiarkan Radio Global 96,5 FM, Selasa (25/9) kemarin. Berikut rangkuman selengkapnya.
———
Ketua Walaka PHDI Pusat I Ketut Wiana menjelaskan kasepekang artinya disingkirkan. Memang ada dalam hukum adat di Bali, namun kalau kita perhatikan dalam ajaran Hindu memang orang bersalah wajib dihukum tetapi hukuman itu harus adil dan tujuan hukum membuat orang sadar pada kebenaran, bukan membuat orang dendam. Kalau sampai dihukum Rp 200 juta tidak masuk akal. Dalam ajaran Hindu Nadya Sastra ada hal yang diterapkan untuk menghukum orang yakni: desa (aturan setempat), kala (waktunya), patra (orang yang dihukum harus dipahami betul keadaannya). Seperti halnya manak salah yang dihapuskan oleh DPD, DPRD, Gubernur mengeluarkan SK tahun 1951, juga mengenai pati wangi tidak perlu.
Mengenai kasepekang ini sebenarnya PHDI, tim pemda, Departemen Agama, hukum, sudah keliling Bali ke desa-desa. Wiana, yang sudah sekitar 20 tahun mengikuti tim ini, mengatakan dianjurkan kepada desa pakraman agar awig-awig dicatatkan ke bupati dan dipasupati. Artinya supaya awig-awig itu menjabarkan ajaran agama. Menghukum dengan denda Rp 200 juta artinya menyiksa, seharusnya menyadarkan. Kasus kasepekang ini sering terjadi. Sesungguhnya PHDI sudah mengambil langkah, bahkan sudah ada bukunya agar adat jangan sesat karena di Bali banyak adat yang bertentangan dengan ajaran agama. Ditegaskan, hukum bukan untuk balas dendam tetapi untuk mendidik.
Ketua Majelis Madya Tabanan Drs. I Gusti Made Purnayasa menjelaskan, kalaupun ada masalah harus dilihat latar belakang atau akar masalahnya. Kasus ini latar belakangnya adalah masalah perdata berlanjut dengan adanya aksi dan reaksi, berkembang menjadi masalah pidana yakni penodaan tempat suci dan masalah adat. Karena yang kasepekang ini adalah dari krama adat sehingga dalam penyelesaiannya harus dilihat, kalau masalah adat jangan semata-mata menekankan masalah desa atau banjar mawecara; segala sesuatunya diputuskan bertentangan dengan aturan-aturan yang lebih tinggi yang berlaku di negara ini. Jadi berdasarkan paruman desa mawecara bukan berarti segala sesuatunya diputuskan.
Membayar Rp 200 juta dalam awig-awig mungkin tidak ada karena berdasarkan paruman saja. Dari Majelis Madya, pertama kembalikan kepada desa pakraman bersangkutan, mari duduk bersama bicarakan secara musyawarah-mufakat. Kalaupun ada suatu pelanggaran yang jelas ditempuh dua aspek yakni pertama minta maaf, aspek niskala kalau penodaan tempat suci dibebankan kepada yang bersangkutan menaur guru piduka sesuai desa pakraman bersangkutan.
Sinda di Denpasar mengaku mengelus dada mendengar masalah ini. Desa, kala, patra lebih ekstrem adalah cek kosong, seakan terkesan ”mau diapakan toh adalah warga saya”. Adanya sanksi Rp 200 juta adalah membunuh atau membikin sengsara lahir batin, sehingga lebih baik transmigrasi atau pindah ke agama lain. Diharapkan PHDI agar membuatkan bhisama seperti mengenai manak salah yang kini sudah tidak berlaku.
Ngurah Arya di Kuta prihatin dan bertanya, kenapa orang Bali begitu? Sesama orang Bali ketat sekali peraturannya. Kalau sama pendatang dari luar tidak begitu. Mereka makin rukun, kita makin berkelahi.
Pande di Pandak Gede menilai sangat ironis sesama kita (krama Bali) saling berhadapan dan saling menjatuhkan. Kasepekang pada prinsipnya adalah sanksi yang memiliki dimensi sosial di mana suatu keluarga atau kelompok akan terkucilkan pada pergaulan pada komunitas krama banjar atau desa. Realitas ini sangat jauh atau tidak tersentuh oleh hukum positif yang berlaku. Pada kasus Kedungu yang dikatakan penyebabnya adalah menyangkut pencemaran suatu tempat maka banjar tersebut merasa benar memberi sanksi kepada warganya dengan dikeluarkan dari banjar tersebut. Masalah ini memerlukan peradilan khusus, semacam peradilan agama, sementara pada Hindu belum ada. Kasepekang adalah sanksi sosial yang amat emosional dan sangat berat.
Agung Purnawijaya di Gianyar juga menyatakan sangat ironis. Apakah ini memberi solusi atau membunuh, karena di luar perikemanusiaan. Jangan sampai hal ini membuat krama pindah agama karena hal semacam ini merupakan salah satu faktor penyebab. * panca
Adat Bali memang gitu. Saya aja yang kakek saya keturunan Jerman dikatakan ga punya kawitan oleh yang namanya kaum Brahmana, padahal saya ayah dan ibu pingin masuk Hindu. Akhirnya saya urungkan niat, dan saya masuk keyakinan kakek. Makan tuh adat ampe kelaparan ditindas globalisasi !!.
Om Swastyastu, Marilah dalam hal ini kita melihat persoalan yang lebih jelas. Setiap hukum pasti membuat orang akan sadar akan kesalahannya kalau ia mau, dan hukum yang berdasarkan acuan tak perlu membuat dendam. Soal kasepekang yang berasal dari kata ka-sepi – ikang, atau tidak diajak bicara mungkin karena alasan tertentu, walaupun dewasa ini hal itu kurang tepat. Sepanjang yang bersangkutan mau bertobat, dan minta maaf dihadapan krama, serta melakoni apa yang menjadi tuntutan hukum adat, hendaknya yang bersangkutan diterima kembali di masyarakat. Soal orang masuk Hindu dibilang tak punya kawitan itu tak tepat, kalau di bilang di Bali tak punya kawitan ya benar, orang baru saja datang ke Bali dimana kawitannya? Tapi justru dialah yang menjadi peletak dasar kawitan tersebut, makanya Ida Pedanda di Bali (Batuan?) menyatakan seseorang menjadi Hidu dengan sebutan Watek Lod. Yang mana Lod hakekatnya adalah milik semua umat yang berarti laut, tolong baca Warta Hindu Dharma terdahulu. Kalau mau masuk Hindu, ya masuk saja! jangan menyalahkan adat, atau sejenisnya, mari kita mencoba memahami bersama, setiap masalah pastilah ada pemecahannya. Om Shantih, Shantih, Shantih Om