Oleh Anton Muhajir
Hiruk pikuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Perubahan Iklim sudah berlalu pertengahan Desember lalu. Selain jadi tuan rumah yang baik, keberhasilan Bali lainnya di konferensi yang diikuti sekitar 10 ribu peserta dari 189 negara itu adalah masuknya kampanye World Silent Day sebagai salah satu upaya untuk mengurangi emisi penyebab perubahan iklim.
Pertanyaannya kemudian, setelah UNFCCC lalu apa? Bagaimana meneruskan kampanye World Silent Day, yang bersumber dari pelaksanaan Nyepi di Bali, pada tingkat lebih global?
Berangkat dari pertanyaan itu, beberapa blogger di Bali kemudian mengampanyekan World Silent Day melalui sesuatu yang biasa mereka geluti sehari-hari: blog. Lahirlah website www.worldsilentday.org sebagai upaya mengampanyekan ide agar bumi diberi waktu, meski sejenak, untuk berhenti dari aktivitasnya.
Ide kampanye Nyepi melalui website lahir dari kepala Arief Budiman, pemilik blog ayipbali.com. Ayip, panggilan akrabnya, secara spontan membuat website tersebut setelah tahu tentang adanya ide Nyepi sebagai salah upaya untuk mengurangi pemanasan global (global warming). “Ini (kampanye Nyepi) adalah ide besar. Karena itu harus didukung oleh usaha besar,” kata Ayip, yang juga praktisi periklanan dan desainer tersebut.
Tapi ide awal untuk mengampanyekan Nyepi sebagai upaya mengurangi pemanasan global itu sendiri lahir dari Kolaborasi NGO Bali untuk Perubahan Iklim. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam kolaborasi ini antara lain adalah Walhi Bali, Bali Organic Association (BOA), Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), Yayasan Wisnu, dan Third World Network (TWN).
Direktur Walhi Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanthi, mengatakan diskusi tentang Nyepi itu lahir melalui proses panjang di banyak tempat di Bali. “Kami mulai dengan seminar pada 20 September di Nari Graha, Denpasar. Kita ingin ada tindakan nyata untuk mengurangi emisi. Ada juga NGO gathering pada 8 Oktober untuk memetakan krisis terkait climate change. Kita bahas model untuk mengurangi emisi. Ada juga dengan para rohaniawan dan budayawan. Di situ sudah jelas ada kearifan lokal yang bisa diangkat. Nyepi terlihat sebagai sesuatu yang memang bisa kita lakukan,” ujar Aik, panggilan akrabnya.
Selain itu, lanjut Aik, Walhi juga melakukan sosialisasi tentang perubahan iklim melalui temu kampung. Pertemuan digelar di berbagai tempat di Bali. Mulai Seraya, Bali Barat, Petang, Kintamani, Kuta, Jembrana, Sumber Klampok, Wongaya Gede, Tenganan, dan seterusnya. “Kita sudah melakukan berbagai pertemuan menyerap aspirasi masyarakat terkait isu climate change. Narasumbernya sudah meliputi sektor pertanian, pariwisata, nelayan, dan lain-lain,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali tersebut.
“Ada juga diskusi di akademisi dan pemerintah. Mereka sangat sepakat mengangkat isu Nyepi untuk mengurangi emisi. Sayangnya pemerintah kesannya kurang mendukung ide ini,” tambahnya.
Kurangnya dukungan pemerintah itu, kata Aik, terlihat dari tidak adanya sama sekali ide Nyepi dalam sambutan gubernur Bali pada pembukaan UNFCCC 3 Desember lalu. “Padahal kami sudah melobi gubernur untuk memasukkan perkenalan tentang Nyepi dalam pidato. Sayangnya ide itu tidak direspon,” kata Aik.
Di belakang hiruk pikuk persiapan itu, justru kalangan LSM Bali yang gerilya agar ide tentan Nyepi masuk pada UNFCCC. Hira Jhamtani dan Panji Tisna adalah dua di antara sekian aktivis yang sibuk melobi berbagai pihak untuk mengenalkan Nyepi pada delegasi dan partisipan UNFCC tersebut.
Hasilnya, film Nyepi kemudian diputar setelah sambutan gubernur Bali di Nusa Indah Hall Bali International Convention Center (BICC) Nusa Dua. Ribuan orang terdiam ketika film berdurasi kurang dari dua menit itu diputar. “Itu efek yang bagus,” kata Hira.
Upaya itu tak berhenti usai pembukaan. Selama konferensi, perwakilan NGO Bali yang punya akreditasi masuk seperti Bhagawan Dwija, Made Suarnatha, Nyoman Sadra, dan Hira serta Panji sendiri terus mengenalkan Nyepi tersebut. “Kalau ada side event kami sempatkan untuk bertanya. Lalu setelah pertanyaan itu kami mengajukan pernyataan bahwa Bali punya Nyepi untuk mengurangi emisi. Kenapa negara lain tidak melakukan hal yang sama untuk menyelamatkan bumi,” kata Panji.
Sayangnya pemerintah Indonesia sendiri, menurut Hira Jhamtani, terlambat merespon ide pelaksanaan Nyepi ini sebagai usaha mengurangi emisi terkait isu perubahan iklim. Sampai saat ini belum ada sikap resmi Indonesia untuk mengadopsinya. “Padahal kalau ide ini tidak diadopsi oleh satu negara, maka susah kalau UNFCCC akan mengadopsi juga,” lanjutnya.
Cara lain agar isu Nyepi bisa diadopsi UNFCCC adalah dengan dukungan tanda tangan 10 juta masyarakat. “Meski tidak diadopsi oleh negara mana pun, asal ada 10 juta kita bisa mendesak agar dibahas. Karena itu perlu dukungan massif dari masyarakat atau satu negara,” kata Hira.
Dalam rangka menggalang dukungan itu pula, maka kampanye tentang world silent day pun dilakukan melalui website. “Menurut saya lewat website lah kita bisa bagi ide ini secara mudah dan murah,” kata Arief Budiman.
Menurut Ayip, kampanye untuk menjadikan Nyepi sebagai upaya mengurangi emisi perlu dilakukan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang universal. Salah satu bahasa yang digunakan adalah dengan menggunakan istilah World Silent Day, bukan Nyepi, untuk kampanye di tingkat nasional maupun internasional. “Harus dibedakan Nyepi yang selama ini sudah dilakukan masyarakat Bali dengan World Silent Day yang sedang kita kampanyekan. Kalau Nyepi dimaknai sebagai aspek spiritual agama Hindu, maka world silent day tidak menyinggung aspek spiritual tapi ekologi,” kata Ayip.
Website sendiri, lanjutnya, lebih pada upaya penyebarluasan ide dan kampanye untuk merebut hati. “Kita harus berstrategi untuk apa saja yang harus kita lakukan. Ide besar harus didukung dengan usaha besar. Tidak bisa hanya lobi di dalam atau minta tanda tangan. Harus ada upaya kolaboratif,” lanjutnya.
Menurut Ayip, kampanye melaui website juga bagian dari tanggung jawab profesi. “Ada teman fotografer dan copy writer asing yang sudah oke untuk mendukung kampanye ini. Ada juga seniman yang mau ikut dalam kampanye ini dengan menawarkan ide Nyepi karena bareng dengan pameran dia bertema silent,” katanya.
Di kalangan blogger Bali sendiri, ide kampanye itu sedang bergulir. Beberapa blogger kini sudah mencantumkan banner worldsilentday.org di blog mereka. Ada yang secara personal seperti Made Yanuar dan Wira Utama. Made Yanuar adalah praktisi teknologi informasi, sedangkan Wira adalah dosen. Keduanya anggota Bali Blogger Community. Selain personal ada pula pada blog komunitas seperti balebengong.net. Dari banner itu, pengunjung akan dirujuk ke website worldsilentday dan memilih dukungan pada kampanye ini.
Hingga akhir 31 Desember ini, sudah ada 112 pemilih di website tersebut. 97 persen di antaranya setuju dengan pelaksanaan world silent day sebagai upaya mengurangi emisi penyebab pemanasan global. Ini sangat kecil dibanding 10 juta tanda tangan yang harus didapat. Tapi, “Kalau tidak ada yang memulai dengan langkah kecil, sesuatu yang besar tidak akan pernah terjadi,” kata Ayip. [b]
dari kacamata oposisi, saya tebak bahwa kita dan pejabat2 yg terlibat dalam konferensi itu tidak pure menjadikan iklim sebagai tujuan utama dari konferensi tersebut tapi pariwisata dan pariwisata. jadi point2 apapun yg dihasilkan yg notabene ‘jauh’ dari pariwisata akan mubazir, yg ada hanya retorika.
betul sekali apa yang dikatan oleh Made Suardana, memang pemerintah kita sudah terbius oleh nikmatnya pariwisata massal Bali sehingga yang ada mereka hanya berpikir pragmatis. “apa yang saya dapat dari konferensi ini?” tanya mereka, tanpa mau melihat lebih dalam tentang apa yang dibicarakan akan menentukan wajah bumi kita ke depan…
Makanya perjuangan kita harus dimulai dari penyebarluaskan kampanye ini untuk bisa menembus angka 10 juta pendukung, tanpa perlu tergantung mau diadopsi oleh pemerintah kita sendiri atau tidak. setelah di akomodir oleh Malaysia, baru pemerintah kita akan sadar bahwa kearifan lokal ini punya nusantara…
Ayo kita dukung lewat web site yang sudah dibuat Kang Ayip!!
Sukses, Kang…
Agung
ide cemerlang!! indigenous
idea milik bangsa Indonesia yg sangat layak di adopsi oleh megara lain yg perduli dengan peng-henti-an global warming….
Ada Hari Bumi yg ide dasarnya mirip!