Setelah lepas dari tubuh, ruh tidak pergi begitu saja.
Tulisan ini saya buat sebagai catatan atas hasil bacaan terhadap salah satu jenis kakawin berjudul Aji Palayon. Kakawin ini umumnya ditembangkan dalam ritual kematian, khususnya di beberapa wilayah di Bali yang kebetulan saya singgahi.
Seperti berikut inilah isinya yang saya campur adukkan dengan tafsir-tafsir.
Pertama, kakawin ini mengucapkan rasa rendah hati pengarangnya yang menyebut dirinya orang yang serba kekurangan [para tucca], ibarat burung kecil yang banyak omong. Saya tidak tahu, burung jenis apa yang dimaksud. Mungkin burung kakak tua yang tidak hinggap di jendela. Atau burung hantu yang tidak seram tapi lucu.
Cerita dimulai dengan adegan ketika ruh berada di Kahyangan. Keadaan yang demikian, menyebabkan sahabat serta keluarga merasa bahagia. Bagaimanakah caranya keluarga dan sahabat tahu saat ruh berada di Kahyangan? Dalam kakawin ini tidak dijelaskan.
Ada satu petunjuk yang bisa digunakan untuk mengetahui caranya. Bait selanjutnya menjelaskan perihal orang mati yang konon telah melepaskan lima indria yang mengikat. Lima indria itu berturut-turut ialah mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit.
Kenapa kelimanya disebut mengikat? Karena dari kelima indria itulah manusia menikmati objek indrianya. Mata menikmati rupa dan warna. Hidung menikmati aroma. Telinga menikmati suara. Lidah menikmati rasa. Kulit menikmati sentuhan. Kelima objek itulah yang dinikmati oleh lima indria.
Lalu siapakah biang kerok dari segala perilaku penikmatan itu? Menurut shastranya, biang kerok itu bernama Pikiran.
Pikiranlah yang menginginkan terus menerus menikmati objek indria karena pikiran telah berhasil diikat. Kakawin Aji Palayon menjelaskan, orang yang mati dengan cara yang benar telah berhasil melebur segala racun pikiran yang mengikat itu.
Apa yang digunakan untuk melebur? Menurut pencerita Aji Palayon, peleburan itu dilakukan dengan sepuluh aksara suci dan Aji Kalepasan. Kita bicarakan nanti saja tentang kedua hal ini, sebab konon rahasia. Rahasia artinya halus, jadi untuk membicarakannya kita harus menggunakan suara yang halus. Bisik-bisik.
Bahagialah ruh yang merasa lepas dari kurungannya. Apakah kurungan ruh? Tubuh. Tubuh ini tidak lebih dari sekadar kurungan yang mengurung ruh. Lepas dari kurungan tubuh sudah sangat dinanti-nanti oleh ruh. Tentu saja, tidak ada yang lebih membahagiakan dari pada terlepas dari penantian.
Setelah lepas dari tubuh, ruh tidak pergi begitu saja. Menurut ceritanya, ruh akan bertemu dengan sosok Barong Hitam yang diselimuti oleh kabut putih. Terkejutlah ruh itu. Kemudian ia ingat kembali dengan tubuhnya. Didekati tubuhnya sambil berucap sedih.
“O, tubuhku tempatku belajar dulu. Aku tak akan melupakan kasihmu. Tapi karena telah tiba waktuku, aku harus meninggalkanmu. Semoga kelak kita bertemu kembali”
Meminjam Tubuh
Tidak hanya sampai di situ, sang ruh ingin berbicara dengan orang-orang yang datang menjenguknya. Tapi tidak bisa. Tidak akan ada manusia hidup yang bisa mendengar suara Ruh, apalagi menyentuhnya. Tetapi ada satu jalan yang bisa ia tempuh. Ia bisa meminjam tubuh orang lain, saat orang tidur dan memakai wangi-wangian.
Artinya, Ruh bisa saja masuk saat menemukan orang yang tepat. Orang yang tepat ditemukan pada saat yang tepat pula. Saat yang tepat adalah saat tidur, orang yang tepat adalah orang yang memakai wangi-wangian. Saya sangat yakin, maksudnya bukanlah parfum. Mungkin kemenyan?
Meski demikian, jika ruh berhasil bicara dengan meminjam tubuh orang lain. Mestilah yang masih hidup memilih kata-kata yang dikatakan. Maksudnya menyaring, mana ucapan Ruh yang boleh atau tidak dilakukan. Hati-hati, katanya!
Kerasukan. Tampaknya itulah yang dimaksudkan oleh Aji Palayon. Dalam konteks ini, kerasukan terjadi karena ruh menginginkan mediator untuk mengatakan sesuatu. Saya penasaran juga, bagaimana jika ruh yang merasuki itu ingin melakukan sesuatu dan tidak hanya sekadar berkata-kata. Membelai kekasih misalkan?
Di dalam tradisi Bali, kerasukan bukanlah sesuatu yang tabu. Komunikasi ruh, barangkali itulah yang dimaksudkan. Ruh orang mati ditanya tentang ini dan itu. Tetapi Aji Palayon menyebutkan dengan jelas, bahwa segala yang dikatakan saat komunikasi itu berlangsung haruslah disaring-saring. Jangan sampai terjerumus.
Aji Palayon menceritakan bahwa ruh mengatakan terimakasih kepada seluruh orang yang menjenguknya. Ruh itu juga mendoakan agar semua orang yang datang mendapatkan kebahagiaan. Tidak terkecuali Pendeta yang menyelesaikan upacara kematiannya. Pada upacara itu, Pendeta juga bertugas membersihkan ruh menjadi Dwijati. Dwijati berarti lahir dua kali. Maksudnya adalah semacam ritual penyucian ruh agar lebih suci.
Dwijati juga sebutan untuk orang yang melakukan penyucian saat masih hidup. Penyucian ini dilakukan dengan ritual tertentu. Penjelasan tentang ritual ini sangatlah panjang. Jadi saya tidak akan menerangkannya lebih lanjut dalam tulisan ini.
Ruh yang telah lepas itu kemudian terbang mengawang-awang. Diibaratkan seperti api yang meninggalkan sumbunya. Seperti burung bebas dari sangkarnya. Kemana perginya ruh itu? Menurut Aji Palayon, perginya ke Sanggar. Yang dimaksud Sanggar adalah Merajan. Di sana menghadap kepada Tri Sakti.
Siapakah Tri Sakti juga tidak dijelaskan secara detail dalam teks. Tapi kita bisa menelusurinya tidak dalam teks, tapi dalam kontek. Sangat mungkin yang dimaksudkan sebagai Tri Sakti adalah Dewa-dewa yang berada di Rong Tiga. Kehadapan Rong Tiga, sang Ruh mengucapkan selamat tinggal.
Kemudian Ruh menghadap ke Pura Dalem. Di kuburan didengarnya suara menjerit. Ternyata Dewi Durga sedang dihadap oleh para punggawanya. Ada beberapa nama yang disebutkan: Anja-anja, Kumangmang, Raregek, Papengka, Kalika, Keteg-keteg, dan Bragala. Semua makhluk itu mendekat hendak memakan sang ruh.
Sang Ruh ketakutan dan hendak lari. Saat itu Dewi Durga menahannya, dan mengatakan agar jangan takut. Sang Ruh kemudian memuja Dewi Durga. Ada beberapa nama Dewi Durga yang disebutkan oleh sang Ruh.
Nama-nama itu sesuai dengan keberadaannya: Sang Hyang Bhagawati saat berada di Bale Agung. Sang Hyang Durga saat ada di kuburan. Sang Hyang Bherawi saat ada di Patunon. Dewi Putri saat berada di Gunung Agung. Dewi Danu saat ada di puncak Gunung Batur. Dewi Gayatri jika berada di pancuran dan telaga. Sang Hyang Gangga saat berada di segala sungai. Dewi Sri saat berada di sawah.
Setelah pujaan itu dilakukan, Dewi Durga mempersilahkan sang Ruh untuk melanjutkan perjalanan. Ada suatu ciri yang diberikan oleh pencerita Aji Palayon tentang kapan mestinya ruh itu pergi dari Pura Dalem. Cirinya bernama Bintang Siang. Bintang Siang konon juga menjadi ciri kalau matahari akan segera terbit.
Bagaimanakah wujudnya? Sebaiknya kita lihat dengan mata kepala sendiri. Bintang jenis apa yang berada di antara peralihan gelap dan terang itu. Peralihan atau perbatasan selalu saja mistis, dan jika perbatasan itu dicirikan oleh Bintang Siang. Artinya Bintang Siang juga mistis. Setidaknya begitulah menurut Aji Palayon.
Lalu kemanakah perginya Ruh setelah selesai menghadap Durga di Pura Dalem? Mari kita lanjutkan nanti. [b]
Comments 0