Oleh Ryandhana dan Iin Valentine
Saat ini, Kadapat adalah duo elektronik tradisi Jegog dan Gender. Berikutnya, bisa jadi instrumen lain untuk menuju saudara ruh di jalan transenden yang mereka pilih.
Gemuruh nan menenangkan musik Jegog dan Gender berpadu sampling elektronik. Penampilan Kadapat memberi pengalaman baru dalam melihat pertunjukan musik dipadu tarian kotemporer oleh KabelJack yang menambah dramatisasi. Sesekali kesan mistik terasa kental dalam komposisinya. Musik surealis yang terbentuk dari instrumen tradisi dan musik era baru disatukan dalam sebuah harmoni.
Sebuah grup duo musik bernama Kadapat yang memulai karya mereka secara imajinatif untuk keluar dari pakem-pakem populer. Musik pada dasarnya terbangun dari nada-nada yang menjadi kesatuan harmoni. Berbeda halnya dengan Kadapat. Bebunyian yang dihasilkan terkadang terkesan off-beat namun dalam perjalanan menikmati, pendengar akan menemukan harmoni unik.
Walau mengeksplorasi instrumen-instrumen tradisi tapi Kadapat berusaha terlepas dari ikatan pakem-pakem musik tradisi.
Melalui Instagram mereka @kadapat.zip ada satu cuplikan IGTV yang berjudul “Serial Killer” di mana mereka menampilkan sebuah instrumen musik dengan visualisasi yang penuh mistik dan thriller. Terlihat dari visual yang mencekam dari tarian kotemporer, musik jegog, dan balutan musik elektronik semakin memberikan kesan horor. Namun penampilan tersebut seiras dengan musik yang disajikan apik.
Apa sebenarnya yang menjadi dasar ide musik yang unik ini? Bagaimana duo musisi kadapat, Yogi (Jembrana) dan Barga (Karangasem) menciptakan transisi unik pada musik tradisonal dan electronic musik, menjadikan suatu persilangan musik atraktif?
Berikut perjalanan kami dalam menyimak cerita Duo Kadapat memulai langkah mereka.
Awal pertemuan
Yogi awalnya bertemu dengan Barga saat semester akhir kuliah seusai pertukaran mahasiswa. Saat KKN bersama mereka mulai saling mengenal meski belum saling berinteraksi satu sama lain.
Mereka berdua mulai akrab satu sama lain seusai mereka dipertemukan kembali oleh teman mereka di Bandung. Mereka mulai saling mengenal dan akrab satu sama lain. Bahkan dalam prosesnya mereka membuat sebuah grup musik berjumlah 7 orang. Meski tak pernah manggung bersama. “Kadang berlima, Kadang bertiga dan tiap pentas itu formatnya terus berubah. Kadang instrumennya berubah, lagunya berubah. Memang gak punya lagu yang tetap dan gak serius ngelakuin. Cuma kayak bercanda-bercanda gitu,” cerita Yogi.
Karena sudah cukup jenuh dan sebentar lagi akan lulus, mereka mulai meninggalkan grup tersebut dan fokus pada tugas akhir (TA) mereka. Pada saat mulai mengerjakan TA, mereka mulai semakin akrab.
Sering sharing bersama mengenai tugas akhir, mereka juga memiliki pembimbing yang sama dan tema ujian yang sama. Mereka saling mendukung menghadapi tantangan selama menjalani proses akhir perkuliahan. Mulai dari mengerjakan proposal hingga subuh, jatuh bangun gagal ujian, saling tunggu menunggu bimbingan hingga dimarah dosen sampai akhirnya lulus bersama.
Terbentuknya Kadapat
Pada awal tahun 2020, disaat Pandemi Covid-19 merebak, mereka berdua disibukkan dengan kegiatan bermusik dan membuat konten musik untuk orang lain. “Aku lagi sibuk buat musik lomba gitu bareng bli Wendra, nyoba nge-record lagu juga buka tempat recording gitu. Tapi cuma di sekitar Negara aja, lokal di sana,” lanjut Yogi yang mukim di Negara, Jembrana.
Selain Yogi, Barga juga disibukkan dengan membuat musik konten di Universitas Udayana. “Aku juga ngerjain musik kontemporer untuk lomba-lomba juga,” tambah Barga.
Karena mengerjakan konten musik orang lain terus menerus, mereka bosan. Namun belum pernah menghasilkan karya musik sendiri. Yogi mengatakan saat mencoba menciptakan karya sendiri, ia masih menyusun secara konseptual dan memerlukan formula.
Ia jarang memiliki kesempatan untuk membuat karya yang bersifat intuitif atau sesuka mereka. Yogi menambahkan kalau ia membutuhkan sebuah wadah untuk menciptakan sebuah karya yang bebas sesuai dengan harmoni yang disukainya.
Kadapat awalnya diinisiasi 3 orang, Yogi, Barga, dan Gus Man. Gus Man juga kuliah di ISI Denpasar. Awalnya mereka menetapkan format menggunakan musik tradisonal digabungkan dengan music elektronik dan vokal.
Namun, masih belum menentukan jenis instrumen yang cocok. Karena jarak jauh, mereka menciptakan komposisi mereka sendiri terlebih dahulu dengan instrumen yang ada. Untuk tema, mulanya ingin menggunakan tema Calonarang dan sempat melakukan riset bersama Gus Man mengenai Rangda dan seperti apa Calonarang tersebut.
Mereka berencana tampil pada Desember 2020 dengan karya yang sudah rampung. Namun, belum menentukan tempat untuk pentas. “Pokoknya bikin-bikin aja dulu. Nanti kita pentas dimana je, kalau gak ada ya kita buat sendiri,” ujar Barga sambil nyengir.
Bahkan belum menentukan nama untuk grup musik mereka. Mereka pun memulai zoom meeting untuk menentukan nama. Dari situlah muncul nama Kadapat dari akar kata Kandapat yang dalam Agama Hindu memiliki arti saudara halus (ruh) yang mengiringi kita saat dilahirkan.
“Kandapat itu dipilih sesuai dengan tema kita, yaitu Calonarang. Kandapat ini memiliki arti sakral,” lanjut Yogi.
“Kandapat itu artinya ruh yang lahir berbarengan bersama kita,” tambah Barga. Kandapat diyakini jadi nama yang sesuai saat itu. Namun, konsonan “n” pada nama Kandapat memiliki kesan yang serius, terkesan angker dan juga sudah lumrah didengar masyarakat. Dengan menghilangkan konsonan “n”, akhirnya nama Kadapat pun tercipta. “Kita gak tau sama sekali arti Kadapat itu apa. Kalau pikiranku ini… Wah kata balung nih. Sunda banget,” ujar Yogi.
Panggung Perdana Kadapat
Saat Kadapat memulai penampilan perdana mereka di Plataran Canggu. Gus Man berhalangan hadir menemani Kadapat saat tampil. Mereka pun harus membuat konsep baru tanpa vokal, posisi yang diisi Gus Man.
Yogi pun memasukkan unsur Jegog dan Gender dalam penampilan mereka sesuai dengan visi misi Yogi yang ingin membawa musik rakyat. Format musik ini dirasa cocok bagi mereka, dan Kas (Produser Kadapat sekaligus member Gabber Modus Operandi/GMO) tertarik dengan format mereka.
GMO berkontribusi pada malam AJW 2020 lalu yang ditayangkan sepenuhnya online. Bersama Kalego, penyanyi dengan lagu-lagu bahasa khas Nusa Penida.
“Aku sama Barga kan ekpetasinya nol. Gak ada ekpetasi apa-apa. Artinya, ini cuma buat menunaikan apa yang selama ini kita harapkan. Desember ini kita pentas dan terwujud buat hura-hura aja, horee gitu,” selorohnya.
Tetapi hal tersebut mendapatkan perhatian Kas. Membuat mereka berpikir bahwa hal yang mereka lakukan sekarang ini tak sekadar “buang air”.
Ketika Fauzi, salah satu pengelola acara di Plataran membuat acara, mereka pun kembali tampil dan berkolaborasi dengan salah satu DJ asal Korea. Panggung berikut adalah studio milik teman saat malam tahun baru.
Dari pengalaman tampil inilah mereka mendapat sebuah pengetahuan mengenai skena musik. Merujuk suatu lingkungan atau tempat di mana terjadinya interaksi antara penikmat musik dan musisi sebagai suatu komunitas. Hal baru bagi mereka berdua. Musik bukan lagi sekadar hura-hura tapi suatu interaksi antar sesama pemikir musik.
Kesempatan untuk tampil pun semakin terbuka. Dimanajeri oleh Fauzi aka Mamen atas permintaan mereka. Karena mereka sadar tak bisa berjalan sendiri. Hal yang membuat mereka terkejut lagi saat salah satu rekan mengenali mereka melalui Anime Akira (Film Anime tahun 1988 mengenai kehidupan Apocalystick Cyberpunk) dimana ada soundtrack jegog pada anime tersebut.
Dari sinilah karakter Kadapat mulai terbentuk. Menciptakan musik dengan mendesain suara dari berbagai macam instrumental namun tidak bertujuan khusus untuk mengangkat kebudayaan musik tersebut. Namun untuk mencari keselarasan harmoni yang sesuai. Gamelan gender dan jegog dinilai sangat cocok untuk menghasilkan harmoni, suasana, dan visualisasi dari suara itu sendiri.
Ke depannya jika menemukan susunan instrumental yang cocok selain Gender dan Jegog, mereka bisa menggunakan instrumental tersebut selama selaras dengan harmoni musik mereka. Dengan kata lain ada ratusan bahkan ribuan musik tradisional dari seluruh Indonesia yang bisa dijelajahi keunikan suaranya yang nanti bisa menghasilkan musik kotemperer yang apik dan belum pernah didengar sebelumnya.
Karya-karya Kadapat belum bisa dinikmati secara online, perilisan sedang direncanakan. Selama menunggu itu hadir, mari saksikan eksplorasi duo elektro tradisi ini di malam apresiasi Anugerah Jurnalisme Warga 2021. Siapa tahu bisa merasakan aura pesugihan salah satu nomor instrumentalia untuk bangkit bersama selama pandemi ini.