Bali kembali menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi.
World Ocean Summit (WOS) akan diadakan di Nusa Dua, Bali pada 22 – 24 Februari 2017. Warga adat Bali menyambut pertemuan tingkat tinggi itu dengan baliho dan mengajak peserta WOS untuk menolak reklamasi Teluk Benoa.
Beberapa desa adat mendirikan baliho tolak reklamasi secara serentak Selasa kemarin. Mereka adalah Desa Adat Kesiman (Denpasar), Desa Adat Seminyak (Badung), serta Forum Masyarakat Singapadu dan Forum Pemuda Batubulan (Gianyar).
Selain dalam bahasa Indonesia, penolakan juga ditulis dalam bahasa Inggris, seperti Reject the reclamation project of benoa bay, Benoa bay for people not for profit.
Pendirian baliho itu tak hanya sebagai respon penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa dan bentuk perlawanan terhadap upaya pemberangusan baliho Bali Tolak Reklamasi. Dia juga untuk mendesakkan pesan kepada pemerintah dan para delegasi yang hadir di WOS untuk sama-sama menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
“Kawasan perairan Teluk Benoa adalah milik rakyat. Segala bentuk investasi sudah seharusnya mengutamakan kehidupan dan kebutuhan rakyat, bukan dikelola untuk kepentingan dan investor semata,” ujar I Gusti Ngurah Bagus Chandra Prabanatha dari Forum Masyarakat Singapadu (Formasi).
Ketua FORMASI itu menegaskan, untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari laut dan menjaga keberlangsungan laut bukan dengan cara mereklamasi karena reklamasi justru akan menyababkan kerusakan laut secara permanen. “Kami meminta kepada pemerintah dan para delagasi yang hadir di dalam World Ocean Summit untuk bersama-sama menghentikan model pembangunan seperti rencana reklamasi Teluk Benoa yang justru akan merusak laut,” tegas Jung Candra, panggilannya.
Jung Candra menegaskan jika pemasangan baliho kali ini juga untuk menunjukkan ketegasan masyarakat Singapadu yang tak pernah takut dengan pengrusakan baliho Bali Tolak Reklamasi. Pemasangan baliho dilanjutkan dengan konser untuk menunjukkan bahwa rakyat rakyat Bali tetap tolak reklamasi.
Pada saat bersamaan Forum Pemuda Batubulan (FPB) juga mendirikan baliho di wantilan Pura Puseh dekat lokasi pertunjukan barong. I Ketut Mustika menjelaskan bahwa pendirian baliho memang ditujukan agar para wisatawan asing memahami tentang perjuangan rakyat Bali.
“Reklamasi 700 HA di Teluk Benoa hanya akan menghancurkan kehidupan pariwisata Bali ke depannya”, ujarnya.
Di tempat berbeda, I Nyoman Astawa, warga yang terlibat dalam pendirian baliho Desa Adat Kesiman menyebut pendirian baliho adalah salah satu bentuk perlawanan rakyat terhadap pemberangusan aspirasi yang terjadi di desanya.
Beberapa waktu lalu baliho Desa Adat Kesiman juga dirusak oleh orang tidak bertanggung jawab. Pemberangusan baliho menurutnya bentuk sikap antipati terhadap aspirasi rakyat yang menolak reklamasi teluk benoa.
“Negara seharusnya memperhatikan aspirasi rakyat dalam mengelola kawasan perairan, bukan malah mengabaikannya,” ujarnya.
Sementara di Desa Adat Seminyak, terdapat tiga organisasi di bawah naungan Desa Adat Seminyak yakni STT Bakti Yowana Mandala, STT Eka Bhuana Tunggal Budi dan Forum Aksi Nyata (FAN) Seminyak mendirikan serentak tiga baliho. Lokasinya di depan Balai Banjar Tagtag, pertigaan Jalan Kunti dan perempatan Jalan Kunti dengan Sunset Road.
I Made Ludra Santika, Ketua FAN Seminyak menyampaikan pendirian baliho-baliho ini sebagai simbol perlawanan terhadap baliho-baliho yang dirusak sebelumnya. “Kami juga selalu siap bergerak dan tidak pernah berhenti memperjuangkan kesucian Teluk Benoa, tumbang satu tumbuh seribu”, pungkasnya seraya mengepalkan tangan kiri. [b]