Hasil Kongres Bahasa Bali ke-6 selama dua hari di Denpasar merekomendasikan sejumlah tindakan untuk menyelamatkan Bahasa Bali dari marjinalitas. Salah satunya bekerja sama dengan industri pariwisata agar semua aspek kepariwisataan menggunakan bahasa dan aksara Bali di samping bahasa Indonesia dan asing.
Kerjasama ini diharapkan dimulai oleh pemerintah kabupaten dan kota di Bali menggunakan akses Corporate Social Responsibility(CSR). Skema ini dinilai menjadi bagian kewajiban lembaga negara dan swasta untuk berkontribusi dalam revitalisasi dan restorasi pada lembaga, komunitas, dan kreativitas lokal.
”Banyak bidang yang bisa disasar CSR, seperti pendidikan bahasa dan sastra Bali, media berbahasa Bali, beasiswa, atau perawatan dan pengembangan pustaka lontar,” ujar I Wayan Geriya, antropolog dan budayawan Bali yang mengusulkan gagasan ini, pada hari terakhir Kongres, Kamis (13/10).
Menurutnya harus ada langkah nyata yang diputuskan Kongres untuk menngurangi kerapuhan dan menjawab tantangan ke arah kepunahan Bahasa Bali. Menurutnya aplikasi untuk mendukung pengembangan bahasa dan sastra Bali ini di bidang perhotelan, misalnya One Hotel, One Balinese Expert. Artinya ada satu ahli bahasa dan budaya Bali di satu hotel.
Mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana ini mengatakan eksistensi pohon kebahasaan Bahasa Bali ada yang tumbuh subur ada yang gersang dan rapuh. Bencana yang Ia sebut kasat mata adalah dinamika demografi penduduk yang makin tinggi, kompetisi multi lingual, revolusi digital, dan lainnya.
”Ada ruang potensial untuk membuatnya terawat dan berkembang, seperti komunitas kreatif seperti musisi dan lagu Bali, lembaga tradisional, pendidikan, dan media,” jelas Geriya. Ia berharap di era globalisasi dan keterbukaan kebudayaan, Bahasa Bali bisa menjadi living languange di Indonesia dan luar negeri.
Bahasa Bali sebagai bahasa ibu menurutnya mampu mengurangi ekslusifitas kultural dan sosial serta menjadi amunisi bagi sejumlah bentuk kekerasan yang terjadi. Sebagai penggagas Kongre Bahasa Bali I, Ia mengakui dari kongres ke kongres, belum banyak terobosan nyata untuk menguatkan kerapuhan Bahasa Bali kini.
I Gede Ardika, mantan Menteri Kebudayaan yang menjadi pembicara juga mempresentasikan bagaimana bahasa Bali bisa diaplikasikan ke semua kegiatan pariwisata. Misalnya dalam list menu, pengumuman, dan produk-produk kerajinan. ”Bahasa Bali tidak tumbuh karena tak digunakan. Padahal bisa digunakan di seluruh aspek kehidupan di sini,” katanya.
Terlebih dengan menggunakan di sejumlah bidang, Ardika menambahkan Bahasa Bali bisa beradtasi dan berkembang menjadi basa Bali for special purposes seperti dalam bahasa Inggris.
Rekomendasi kongres lainnya adalah mewajibkan pemda mengalokasikan anggaran (APBD) untuk melakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam melestarikan, memajukan, dan mengembangkan bahasa, aksara, dan sastra Bali. Selain itu pemerintah wajib memberikan penghargaan yang layak seperti beasiswa bagi masyarakat terutama generasi muda yang menekuni bidang bahasa, aksara, dan sastra Bali.
Kongres yang dihadiri tokoh-tokoh masyarakat, lembaga desa pakraman, pemerintah, budayawan, akademisi, dan lainnya ini menyetujui langkah-langkah pelestarian dan pengembangan bahasa, aksara, dan sastra Bali bersifat kreatif dan dinamis. Diperlukan langkah-langkah yang terukur dan pasti untuk memajukan bahasa dalam perkembangan dan perubahan zaman yang cepat dan berbasis teknologi.
Perkembangann dan kemajuan keparwiwisataan di Bali harus seharusnya dapat memajukan potensi bahasa, aksara dan sastra Bali.
” Jika bahasa Bali punah, maka punah pula identitas orang Bali, mengingat bahasa Bali dipergunakan dalam tata istilah kehidupan beragama, petanian, arsitektur dan sendi-sendi kehidupan lainnya,” kata Kadis Kebudayaan I Putu Suastika.
Sebelumnya Ia mengatakan jumlah penutur Basa Bali aktif sekitar satu juta orang dari lebih dari tiga juta penduduk Bali. Karena itu diperkirakan bahasa ini bisa punah 30 tahun mendatang, seperti ratusan bahasa ibu lainnya di Indonesia.
Kongres juga minta peningkatan status mata pelajaran bahasa Bali yang tidak hanya berstatus sebagai kurikulum muatan lokal. Tetapi menjadi mata pelajaran inti, ikut diujikan, dan menentukan tingkat kenaikan dan kelulusan siswa. Kongres berikutnya akan dilaksanakan pada 2016.
Lestarikan budaya bahasa bali sejak dini, jika tak ingin tergeserkan dengan bahasa asing!!!